
Minggu, 10/11/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.
Awan
Peperangan
(3)
Stereotip
“Apa arti kata ‘stereotip’?”
begitu tiba-tiba Gita bertanya kepada saya ketika ia menemukan kata
yang baru itu di dalam buku Sejarahnya. Tidak begitu mudah menerangkan
konsep ini kepada seorang anak berusia 11 tahun. Padahal secara tidak
sadar kita sering menggunakannya, ketika kita menganggap bahwa
seseorang atau sekelompok orang tertentu berperilaku sesuai dengan
anggapan umum masyarakat. Misalnya, orang Jawa bia-sanya dianggap
halus dan lemah lembut, orang Tionghoa itu hemat, dll. Gambaran
stereotip biasanya merupakan generalisasi yang bisa bersifat positif
atau negatif. Sudah tentu, gambaran ini tidak selalu benar, tetapi
orang toh sering menggunakannya.
“San Francisco
Chronicle” hari Rabu ini memberitakan upaya pemerintah AS untuk
menciptakan gambaran positif tentang orang-orang Muslim Amerika, bahwa
mereka mencintai negeri ini dan bahwa mereka hidup bahagia di sini.
Citra ini disajikan dalam serangkaian program video yang diedarkan di
negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti
Indonesia, Malaysia, Pakistan, dll.
Mengapa harus membuat
program seperti ini? Apa manfaatnya? Tampaknya pemerintah AS agak
kuatir dengan citranya di kalangan masyarakat Muslim di dunia. Tentang
insiden bom di Bali baru-baru ini, misalnya, sempat dihembuskan
analisis kedai kopi bahwa CIA-lah dalang di belakangnya. Bahwa lembaga
intelijen pemerintah AS itu se-ngaja meledakkan bom itu untuk menodai
citra Indonesia dan umat Islam di negeri itu. Dengan program video
yang saya sebutkan di atas, diharapkan bahwa masyarakat Muslim di luar
AS tahu bahwa di AS juga terdapat orang Islam dalam jumlah yang cukup
besar, dan bahwa mereka hidup bahagia di sini.
Namun dengan semakin
menebalnya awan peperangan melawan Irak di angkasa negeri ini, saya
kuatir harapan yang ingin dicapai itu tidak akan terwujud. Sementara
di dalam negeri sendiri harus diakui bahwa kehidupan masyarakat Muslim
di sini tidaklah “seindah warna aslinya.” Rawia Ismail, seorang
perempuan asal Libanon yang menjadi guru di Toledo, Ohio, menjadi
salah satu “pemeran” dalam program video itu, bisa saja mengatakan,
“Saya tidak melihat prasangka apapun di lingkungan saya setelah 11
September lalu.” Namun pada kenyataannya cukup banyak orang Islam
yang khawatir akan keselamatan dirinya. Beberapa orang – untungnya
tidak banyak – malah sempat dicurigai, dicaci-maki, dan bahkan
dibunuh, hanya karena mereka tampak berbeda dengan orang kulit putih
umumnya.
* * *
Pertengahan minggu lalu
John Allen Muhammad bersama John Lee Marvo, anak asuhnya, ditangkap
dan diduga keras sebagai pelaku penembakan berantai selama sekitar
tiga minggu di pantai timur AS. John Allen Williams, begitu namanya
dahulu, kebetulan adalah seorang anggota Nation of Islam yang dipimpin
oleh Louis Farrakhan. Ia menjadi Muslim sekitar 7 tahun yang lalu.
Dalam pemberitaan pers di sini, identitas agama Muhammad menjadi
sorotan tajam. Berulang-ulang berita di TV menyebutkan bahwa si pelaku
“is a convert to Islam” – seorang mualaf Muslim.
Mengapa identitas ini
begitu disoroti oleh pers? Sadar atau tidak tampaknya pers di sini
menyimpan stereotip bahwa seorang Muslim adalah penganut kekerasan.
“Karenanya kita tidak usah heran…” mungkin begitu kesimpulan
yang mau disampaikan kepada penonton.
Saya merasa pemberitaan
TV tidak menolong bahkan sebaliknya semakin memperkuat pandangan
stereotip yang sudah tertanam di sebagian orang di AS ini. Seorang
teman saya bahkan mengeluarkan komentar agak sinis bila mendengar
orang mengatakan bahwa “Islam berarti damai”. Sikap yang sama juga
keluar dari seorang teman lain, seorang Betawi yang secara tradisional
beragama Islam.
Saya berkeberatan
terhadap pemberitaan pers AS ini karena stereotip ini sama saja dengan
pemberitaan pers Indonesia terhadap seorang Tionghoa yang kebetulan
dituduh melakukan kejahatan. “Si pelaku yang biasa dipanggil A Liong...”
begitu yang seringkali kita baca. Anehnya, hal ini tidak pernah
terjadi ketika seorang Rudy Hartono menjadi juara All England berkali-kali.
Tidak pernah disebutkan bahwa namanya dahulu adalah Rudy Nio. Tidak
pernah juga disebutkan bahwa Liem Swie King atau Angelique Wijaya
adalah keturunan Cina.
Pada dasarnya setiap
orang memang mempunyai pandangan stereotip untuk menyederhanakan
dunianya. Namun selama kita me-nyadari akibat negatifnya, tentu kita
dapat menghindar dari sikap diskriminatif dan kecenderungan
menyamaratakan semua orang. Yesus, misalnya, tidak mau terjebak dengan
pandangan stereotip tentang perempuan dan orang Samaria, sehingga ia
dengan bebas berdialog dengan salah seorang dari mereka di sumur Yakub.
Gereja Kristen tidak mau terjebak dalam pandangan stereotip tentang ethne,
tentang bangsa-bangsa non-Yahudi, sehingga Gereja malah keluar dari
kungkungan keyahudian dan menerobos dinding-dinding pemisah yang ketat
dari dunianya. Oleh karena itulah Paulus bisa berkata bahwa di dalam
Kristus tidak ada lagi orang Yahudi atau Yunani, tidak ada hamba atau
orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan (Gal. 3:28).
* * *
Hari Minggu 27 Oktober
lalu, Montclair Presbyterian Church merayakan “Harvest Festival”
dengan makan siang bersama sambil memperbarui komitmen untuk
melestarikan ciptaan Allah. Dan seperti pada perayaan tahun lalu, kali
ini hadir pula sejumlah sahabat Muslim dari Islamic Community Center
of Northern California, baik dalam kebaktian maupun dalam makan siang
bersama itu. Tahun lalu, pada saat Perjamuan Kudus sedunia di minggu
pertama Oktober, dua orang perempuan dari ICCNC – seorang ibu dan
anaknya – hadir di dalam kebaktian. Mereka mengatakan bahwa mereka
diutus oleh ICCNC untuk menjajaki hubungan dengan MPC yang letaknya
tidak jauh dari rumah mereka. Sejak itu ICCNC menjalin hubungan baik
dengan MPC dan menjadi anggota Oakland Coalition of Congregations dan
aktif dalam dialog antar-iman dengan gereja, sinagoga, kuil Buddhis
dan gurdwara Sikh di Oakland.
“Yang dunia perlukan
sekarang adalah cinta-kasih, inilah yang masih sangat kurang. Bukan
hanya untuk seseorang, tetapi untuk setiap orang. Tuhan, kami tidak
memerlukan gunung baru, sebab masih cukup banyak gunung dan sungai
yang harus didaki dan diseberangi, sampai akhir zaman kelak,” begitu
kata Burt Bacharach dalam lagu ciptaannya “What the World Needs
Now”. Propaganda tentang kehidupan umat Muslim di AS memang
bagus. Tapi kalau tidak didukung dengan sikap nyata pemerintah AS
sendiri terhadap dunia Islam dan bangsa-bangsa lainnya, khususnya di
Dunia Ketiga, propaganda seperti itu mungkin tidak akan menyelesaikan
masalah. |