
Minggu, 03/11/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.
Awan
Peperangan
(2)
Bahasa Senjata
Di tengah-tengah kejutan ledakan bom di
Bali, masyarakat Amerika dihantui oleh ketakutan luar biasa oleh
serangkaian penembakan misterius di daerah Washington, D.C., Maryland,
dan Virginia. Si pembunuh berkeliaran di tiga negara bagian yang
kebetulan saling berbatasan di pantai timur AS. Sejak tiga minggu lalu
13 orang telah menjadi korban penembakan secara acak. Korbannya
tua-muda, laki-laki dan perempuan, kulit putih dan hitam. Pendeknya
siapa saja bisa menjadi korban. Hal ini menimbulkan rasa cemas yang
luar biasa. Hari Senin dan Selasa lalu sekolah-sekolah di Virginia
diliburkan, karena si penembak misterius kabarnya mengancam anak-anak
sekolah.
Pagi
ini saya mendengar berita di televisi bahwa pihak polisi telah
menangkap dua orang yang dicurigai sebagai pelaku penembakan misterius
itu. Ini memberikan sedikit kelegaan, asalkan kedua orang itu memang
ternyata adalah pelaku sebenarnya. Andaikan bukan, tentu penangkapan
ini belum menyelesaikan masalah.
Sementara itu, tadi
malam di Oakland, kota tetangga Berkeley, terjadi penembakan yang
ke-101 selama tahun ini. East Oakland, salah satu bagian kumuh kota
ini, telah lama menjadi sarang kemiskinan, jual-beli obat-obat
terlarang, kriminalitas, dsb. Pengangguran, perang antar gang
yang memperebutkan lahan kekuasaan dan berbagai masalah sosial lainnya
telah menyebabkan jatuhnya sekian banyak korban.
Dengan jumlah korban
101 orang sampai hari ini, kota ini telah memecahkan rekor penembakan
tahun lalu. Bahkan bukan mustahil bahwa Oakland telah menjadi kota
dengan tingkat pembunuhan tertinggi tahun ini di antara kota-kota
seukurannya. Mungkin bukan kebetulan kalau penduduk East Oakland
kebanyakan berkulit hitam. Agaknya itulah sebabnya kasus penembakan di
Oakland yang sampai kini belum terpecahkan dan tidak ditemukan
pelakunya, tidak mendapatkan perhatian sehebat kasus di Washignton,
D.C. Atau barangkali orang sudah mulai terbiasa mendengar masalah
penembakan di Oakland, sehingga hal itu sudah diterima sebagai sesuatu
yang wajar.
Seorang anggota gereja
yang saya jumpai kemarin menceritakan kisah tentang seorang murid TK
yang minta izin absen kepada gurunya karena kakeknya meninggal dunia.
Salah seorang temannya langsung bertanya, “Apakah mereka sudah
mengetahui siapa penembaknya?” Sebuah pertanyaan lugu yang keluar
dari mulut seorang anak kecil yang mengira bahwa mati tertembak adalah
satu-satunya cara orang meninggal di Oakland.
* * *
Hari Rabu 23 Oktober
kemarin George W. Bush baru saja menandatangani peningkatan anggaran
belanja militer AS menjadi sekitar US$ 355 miliar. Konon ini berarti
penambahan 11% dari anggaran sebelumnya. Barangkali tidak ada negara
yang lebih sibuk berperang daripada Amerika Serikat. Bayangkan, dari
penempatan pasukan di Yugoslavia dan Afganistan, pengejaran terhadap
Osama bin Laden dan Al-Qaeda, membantu peperangan melawan perdagangan
narkotika di Kolumbia, membantu peperangan melawan gerilya Abu Sayaff
di Mindanao, Filipina Selatan, dan mungkin sebentar lagi di Irak,
Indonesia, Malaysia, dan Korea Utara.
Inilah yang sedang
terjadi saat ini di AS. Di satu pihak pemerintah AS sibuk menjadi
polisi dunia. Bahkan Bush bersikeras ingin mengganti Saddam Hussein
dengan orang lain yang mungkin akan lebih bersahabat dan bersikap
lunak terhadap AS dan negara-negara barat lainnya. Saya tidak bisa
membayangkan andaikata seorang presiden Dunia Ketiga yang menuntut
agar rakyat AS mengganti George Bush dengan orang lain. Sementara di
pihak lain rakyat AS sendiri dirundung berbagai persoalan sosial dan
ekonomi. Ekonomi dalam negeri sedang melesu akibat matinya sekian
banyak perusahaan e-commerce. Skandal perusahaan-perusahaan
raksasa seperti Enron, WorldComm, Arthur Andersen, Martha Steward, dll.
semakin memperlemah kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan ekonomi
negara ini. Satu demi satu perusahaan terpaksa mengurangi jumlah
pegawainya atau malah gulung tikar sama sekali. Namun, apa boleh
dikata, sampai hari ini baru segelintir orang yang berhasil diseret ke
hadapan pengadilan. Proses hukum yang ketat dikhawatirkan akan
menyeret sejumlah pejabat penting negara.
Minggu lalu
pekerja-pekerja pelabuhan di pantai barat AS mulai kembali bekerja dan
membongkar barang-barang yang sempat tertumpuk selama mereka mogok 10
hari. Berpuluh-puluh kapal terdampar dengan muatan yang harus segera
disalurkan ke toko-toko di seluruh AS untuk penjualan menyambut Natal
kelak. Mengapa para buruh pelabuhan ini mogok? Mereka menuntut agar
diadakan kontrak baru antara buruh dengan para pengusaha kapal, karena
kontrak lama mereka telah berakhir. Namun dengan mengandalkan
kekuasaan pemerintah, para pengusaha kapal berhasil memaksa para buruh
itu kembali bekerja. Namun tampaknya hal ini tidak akan berlangsung
lama. Selama para buruh merasa bahwa kontrak itu tidak adil, mereka
akan kembali mogok dan menuntut perbaikan upah dan kondisi kerja.
Apakah peperangan
dengan Irak akan memacu pertumbuhan ekonomi AS? Apakah kemiskinan yang
dibiarkan merajalela di Oakland akan berakhir dengan sendirinya?
Apakah rasa aman akan otomatis pulih dengan tindakan militer terhadap
kaum teroris dan ekstremis dunia? Saya kuatir masalahnya jauh lebih
dalam untuk bisa diselesaikan dengan bahasa senjata saja.
Yesus pernah berkata,
“Manusia tidak dapat hidup dengan roti saja.” Sudah tentu itu
tidak berarti lalu manusia harus hidup dengan mengembangkan
persenjataan dan menggembungkan anggaran belanja negaranya hanya untuk
kepentingan militer. Tidak! Manusia hidup dengan firman yang keluar
dari mulut Allah. Manusia harus hidup di dalam ketaatan kepada
kehendak Allah. Salah satu kehendak Allah bagi manusia adalah keadilan
dan hidup yang adil. Selama keadilan tidak menjadi prioritas utama,
rakyat akan terus menderita, meskipun mereka hidup dalam kecukupan.
Mungkin persoalan yang dihadapi oleh pemerintah AS saat ini adalah
menentukan apa yang seharusnya dijadikan prioritasnya.
www |