
Minggu, 27/10/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.
Awan
Peperangan
(1)
Tak Sebesar Daun Kelor
Pada minggu-minggu
terakhir ini awan peperangan terasa mulai menyelimuti negara besar ini,
Amerika Serikat. Beberapa minggu lalu, George W. Bush, Jr., si koboi
Texas yang tidak pernah mempunyai pengalaman perang, bersikeras
meminta kepada Kongres AS agar ia diberikan wewenang penuh untuk –
“kalau dianggapnya perlu” – menggunakan segala kekuatan Angkatan
Bersenjata AS dan segala perlengkapannya untuk menghadapi Saddam
Hussein. Anehnya, para jenderal yang punya pengalaman terjun langsung
di medan perang – entah di Vietnam, Amerika Latin, Teluk Persia –
malah wanti-wanti memperingatkan betapa perang dengan Irak kali ini
bisa menjadi sangat panjang dan mahal. Sejumlah anggota Kongres dan
Senat AS mengingatkan bahwa pendekatan diplomasi belum benar-benar
diusahakan oleh negara adidaya ini.
Selama beberapa minggu
ini perdebatan sengit berlangsung di Capitol Hill, Washington, D.C.,
di kantor Kongres dan Senat AS. Namun suara-suara yang lebih suka
menempuh jalan damai akhirnya dikalahkan dalam pemungutan suara akhir
minggu lalu. Tampaknya makin banyak orang yang yakin bahwa terorisme
Al Qaeda dan Sadam Hussein hanya bisa ditumpas lewat peperangan.
Apalagi setelah banyak orang mendengar berita ledakan bom di “Sari
Pub” di Kuta, Bali, akhir minggu lalu. Bom yang menelan korban 4
orang AS di antara hampir 200 orang korban lainnya, membuat orang
banyak semakin yakin akan ancaman teror dari pihak ekstremis yang
tersebar di seluruh dunia.
* * *
Inilah konteks
pertemuan yang baru saja saya ikuti di Stony Point, New York, tanggal
10-13 Oktober lalu. Program ini diselenggarakan oleh Bi-National
Servants yang dinaungi oleh Presbyterian Church (USA). BNS adalah
wadah bagi sejumlah anggota PC(USA) dan beberapa warga asing yang
sedang atau pernah melayani PC(USA) yang berpengalaman hidup di dua
atau lebih negara atau kebudayaan. Ini adalah orang-orang yang –
berbeda dengan kebanyakan orang Amerika lainnya – tahu bahwa dunia
tidak selebar daun kelor, bukan cuma sebatas tanah yang membentang
sekitar 5000 km dari San Francisco sampai ke New York.
Karena itu orang-orang
ini mestinya tahu bahwa ada cara lain dalam memandang dan memahami
dunia, bahwa bahasa Inggris bukanlah satu-satunya cara berkomunikasi
di dunia, bahwa “McDonald” bukanlah makanan utama manusia di dunia.
Oleh karena itu, ada banyak alternatif untuk memecahkan masalah.
Dengan pengalaman mereka ini BNS diharapkan akan mampu menolong Gereja
untuk lebih memahami dunia dan pergumulannya. Masalah ini menjadi
semakin serius khususnya dengan semakin kuatnya arus globalisasi yang
dialami bukan hanya oleh negara-negara Dunia Ketiga, tetapi juga oleh
negara-negara maju seperti AS.
Dengan semakin
menebalnya awan peperangan di AS belakangan ini, pertemuan BNS kali
ini mengambil tema “Menjumpai Islam”. Mengapa Islam? Apakah
urgensinya memahami Islam? Supaya lebih paham situasi konflik di Timur
Tengah? Semua itu penting, tetapi yang lebih penting lagi ialah
kenyataan bahwa Islam tidak hanya hadir di seberang lautan sana,
tetapi juga di tengah-tengah masyarakat AS sendiri. Jumlah pemeluk
Islam merentang antara 5 juta orang (versi pemerintah) dan 6-7 juta (angka
yang lebih realistik). Setiap tahun rata-rata 20.000 tahanan di
penjara masuk Islam karena pelayanan para da’i dan imam.
Di kota New York
sendiri terdapat sekitar 100 masjid dengan 600.000 pemeluk Islam –
sekitar 10% dari jumlah seluruh orang Islam di AS, sementara di
seluruh negara bagian New York terdapat 1 juta orang Islam. Sejumlah
64% dari mereka adalah imigran, sementara 36% kelahiran Amerika.
Sebagian terbesar dari orang Islam di Amerika Serikat adalah
orang-orang kulit hitam (44%), dari Asia Selatan (India, Pakistan,
Banglades) sekitar 26%, dari negara-negara Arab sekitar 13%. Dari
angka-angka ini jelas kelihatan bahwa Islam bukanlah agama orang asing.
Semua ini semakin menunjukkan betapa Gereja harus memperhitungkan
kehadiran Islam dan para pemeluknya dengan sangat serius. Mereka bukan
hanya sekadar orang-orang yang tinggal di negara-negara jauh di Timur
Tengah. Bukan pula orang-orang asing yang berimigrasi ke AS. Bukan
mustahil mereka ada di sekitar kita, tetangga kita. Oleh karena itu,
kita tidak perlu bertanya-tanya, “Siapakah sesamaku?” Pertanyaan
yang seharusnya kita lontarkan adalah pertanyaan yang dilontarkan oleh
Yesus pada akhir perumpamaan “Orang Samaria” itu, “Apakah kita
telah menjadi sesama kepada orang lain?”
* * *
Minggu lalu, PBS
(Public Broadcasting System), salah satu pemancar TV terbaik di AS (begitu
pendapat saya), memutar ulang seri “Civil War” buatan Ken Burns
yang sudah pernah saya lihat pada tahun 1991. Film seri dokumenter “Perang
Saudara” ini dibuka dengan musik yang bernada sendu. Sungguh tepat
bahwa film ini diputar kembali pada saat awan peperangan mulai
merundung bangsa ini. Film ini mengingatkan kembali bahwa peperangan
bukanlah sekadar permainan seperti yang biasa dilakukan oleh anak-anak
kecil. Peperangan hanya menimbulkan bencana dan korban lebih jauh yang
seringkali sebetulnya tidak perlu dan oleh karenanya bisa dihindari.
Peperangan lebih sering menghasilkan kantong-kantong mayat serdadu
yang hanya menjalankan perintah para jenderal dan penguasa yang hanya
memandang mereka sebagai angka-angka. Peperangan lebih sering
mengantarkan berita duka kepada para istri dan orangtua yang
sehari-hari menantikan berita kepulangan suami dan anak tercinta dari
medan laga. Dan, terlebih sering lagi, peperangan menghasilkan
kehancuran dan kematian di antara rakyat yang tidak bersalah.
Karena itulah Mikha
menubuatkan suatu pemerintahan damai di mana Allah akan menjadi hakim
bagi segala bangsa, “dan akan menjadi wasit bagi suku-suku bangsa
yang besar sampai ke tempat yang jauh; mereka akan menempa
pedang-pedangnya menjadi mata bajak, dan tombak-tombaknya menjadi
pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap
bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang.”
www |