
Minggu, 27/10/2002
Refleksi Peristiwa - oleh: Pnt. Liem Sien Kie, STh.
AADB
- Ada Apa Dengan Bali?
J udul
tulisan ini tidak ada kaitannya dengan AADC (Ada Apa dengan Cinta? —
judul sebuah sinetron), tetapi merupakan keprihatinan yang terdalam
terhadap masalah kemanusiaan di masyarakat kita. Apa yang salah dalam
bangsa kita sehingga terjadi tragedi kemanusiaan yang mengerikan ini?
Mungkin sekarang jawabnya adalah: “Semuanya salah kaprah, hampir tidak
ada yang benar di negara ini.” Bahkan peristiwa yang menyedihkan
itupun masih dipolitisasi sesuai dengan kepentingan kelompok-kelompok
tertentu. Sama halnya dengan peristiwa WTC setahun silam. Tampaknya
tidak ada refleksi yang didasarkan atas keprihatinan kristiani mengenai
peristiwa tersebut. Semua analisis adalah “politis”, baik dengan
kadar mutu yang cukup berbobot (misalnya yang mengaitkan ke masalah
keadilan global) sampai ke sumpah serapah yang lebih merupakan luapan
emosi belaka.
Mengenai semuanya itu, beranikah kita
bertanya, “Ada apa dengan Allah terhadap bangsa kita?” Jelas saya
bukanlah seorang nabi yang akan bernubuat tentang masa depan bangsa ini.
Tetapi saya merasa perlu untuk mengajak warga jemaat agar berani
merenungkan dan berani berdoa (baca: berdialog dengan Allah) tentang
masalah ini. Mungkin ini yang sedang ditunggu Tuhan dari umatNya di
Indonesia.
Abraham, ketika memandang peristiwa kota
Sodom dan Gomora, berdoa untuk para penduduknya. Berdoa untuk apa?
Keselamatan kota itu. Doa Abraham adalah perjuangan untuk kehidupan,
sampai ia memberanikan diri melakukan tawar-menawar dengan Tuhan (Kej.
18:16-33). Ia melihat dengan sudut pandang lain: “Apa yang harus saya
lakukan untuk membantu penduduk kota itu?” Pertanyaan ini tentu saja
tidak dapat dilepaskand ari pertanyaan yang mendasar, “Apakah rencana
atau kehendak Allah melalui peristiwa tersebut?”
Berdoa untuk hal yang tidak secara
langsung mengena pada kepentingan diri sendiri memang sulit (semoga ini
tidak menjadi ciri dari jemaat di lingkungan GKI). Sebab kalau semua hal
dalam kehidupan ini dikaji dengan perhitungan laba-rugi, bagaimanakah
bentuk dunia kita? Kalau keadilan dam kewajiban menolong pihak yang
lemah telah menjadi bahasa asing, bagaimanakah orang akan hidup
bermasyarakat?
Kata-kata sandi dalam dunia modern adalah
persaingan, pertumbuhan, teknologi, dan sejenisnya. Namun ternyata
dampaknya yang negatif antara lain adalah ketidakadilan dan —
konsekuensinya — teror. (Karena itu tema utama dari purna-modernisme
dalam mengkritisi modernitas adalah “matinya manusia”). Contoh
tipikal dalam Kitab Suci tentang orang yang tidak mampu berempati dengan
kemanusiaan adalah Firaun—yang dalam Kitab Keluaran disaksikan tidak
rela melepaskan bani Israel karena hal itu akan merugikan pembangunan
negara Mesir. Bani Israel adalah tenaga kerja yang sangat murah.
Analisis laba-rugi juga; akibatnya tulah-tulah ditafsirkan sebagai
bencana alam semata. Sedangkan bagi Musa dan bangsa Israel, hal-hal itu
adalah tindakan penyelamatan Allah. Peristiwa yang sama ditafsirkan
berbeda. Firaun tidak mampu melihat suatu peristiwa sebagai tanda
kehendak Tuhan. Analisisnya adalah ekonomis, politis, dan saintifis.
Bahkan Kitab Keluaran sampai menyatakannya dengan ayat yang paling sulit
dimengerti yang terdapat dalam Kitab Suci: “Tuhan mengeraskan hati
Firaun…” (7:3).
Kembali ke doa Abraham. Mengapa Tuhan mau
melakukan tawar-menawar dengan Abraham? Ya, karena Abraham dengan
sungguh-sungguh memperjuangkan keselamatan orang lain. Tuhan memberikan
kesempatan kepada setiap setiap orang untuk mendialogkan
persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan bersama dengan tulus hati.
Memang sampai titik tertentu kesempatan itu habis. (Dan kita tidak perlu
berspekulasi atau menghitung kapan kesempatan untuk berdoa itu masih
diberikan kepada kita). Akhir kata—karena keterbatasan ruang— benang
merah dialog itu terus berlanjut ke Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, dan
nabi-nabi lain. Mereka menyingkapkan bahwa Tuhan memakai bangsa-bangsa
asing untuk menyadarkan, menginsyafkan, dan menobatkan umatNya yang
keras hati itu.
AADB, semoga kita tidak membacanya
sebagai akronim dari sebuah sinetron, melainkan teguran Tuhan terhadap
manusia. Bagaimana umat Kristen di Indonesia menanggapinya? www |