
Minggu, 29/09/2002
Oleh: TK Anny Gosana
Liturgi
Sebagai Perjumpaan
TAHUKAH Anda bahwa Liturgi bukan
lembaran kertas yang digunakan dalam kebaktian? Liturgi adalah ibadah,
baik dalam bentuk seremonial maupun praksis. Seringkali terjadi
kesalahpahaman bahwa liturgi (GKI) dimaksudkan sekedar urut-urutan
acara kebaktian atau tata ibadah yang memberi kesan formal—malahan
ada yang menyebut kaku (saya tidak setuju!). Liturgi atau Ibadah tidak
bertujuan untuk dirinya sendiri, melainkan pada pembentukan hidup
spiritual jemaat.
Liturgi dapat dibedakan atas yang komunal
yaitu ibadah jemaat, seperti kebaktian hari Minggu, dan yang personal
yang dilakukan seorang diri dalam bentuk sangat pribadi. Orang sering
membandingkan liturgi GKI dengan ibadah di gereja lain yang dipandang
lebih menarik dan menyenangkan. Memang benar bahwa dalam ibadah
suasana menarik dan menyenangkan perlu ada. Bagaimana mungkin jemaat
dapat menghayati ibadahnya dengan baik bila tidak diciptakan suasana
yang menyenangkan—sekalipun hal ini tidak bisa dijadikan tujuan
utama ibadah? Suatu liturgi yang formalistis, ritualis, dengan bahasa
protokoler, akan sulit dihayati oleh jemaat apabila tidak dimengerti
peran dan fungsinya. Dalam ibadah perlu dihadirkan suasana yang
komunikatif untuk memberi ruang afektif kepada jemaat dalam
mengekspresikan perasaannya. Namun sebaliknya bila ekspresi yang
dimaksud hanya berupa kebebasan atau spontanitas umat dalam ibadah
tanpa pemahaman dan arah tertentu, maka ibadah akan menjadi hampa dan
kehilangan makna. Sebab banyak hal-hal berharga dalam liturgi akan
terbuang. Kadang-kadang unsur kebersamaan sebagai jemaat tergeser oleh
ekspresi individu. Ekspresi iman bukan pencurahan hati atau emosi
romantis seseorang secara pribadi saja, tetapi ekspresi iman jemaat
atas Kerajaan Allah dan Karya Penebusan Kristus yang patut mendapat
tempat dalam ibadah. Tanpa pemahaman liturgi maka ibadah kita akan
menjadi kering dan akan kehilangan makna.
Ibadah adalah suatu pertemuan antara
Allah dengan Jemaat. Dalam pertemuan ini terjadi “dialog”, namun
dalam praktek yang sering terjadi adalah monolog. Pemimpin ibadah (biasanya
oleh Pendeta atau pengkotbah) yang lebih banyak mengambil peran dalam
ibadah dan jemaat seakan penonton saja. Dari sini muncul kesan yang
keliru seakan-akan, kotbahlah yang terpenting atau pusat ibadah.
Jemaat datang dan berkumpul untuk merayakan karya agung Allah, inilah
ibadah umat.
Tim Liturgi GKI telah menyusun liturgi
bersama menuju Gereja yang Esa. Mulai hari Minggu 13 Oktober 2002,
selama 3 hari Minggu berturut-turut GKI Gading Indah akan menggunakan
Liturgi Minggu GKI yang sedang dalam proses sosialisasi di
jemaat-jemaat. Kita perlu memahami adanya beberapa karakteristik yang
menentukan susunan ordo (kerangka dasar) liturgi GKI ini, yaitu:
1.
Liturgi merupakan aliran dinamis. Jemaat datang dan berhimpun,
mengikuti Pelayanan Firman dan Pelayanan Meja, dan mereka kembali
diutus. Suatu aliran yang menghubungkan kehidupan sehari-hari dengan
kebaktian hari Minggu. Ada suatu kisah yang dialami jemaat dalam
beribadah. Kisah keselamatan yang dimulai dari awal kejadian hingga
akhir jaman.
2. Liturgi hari Minggu adalah ibadah
komunal – pertemuan
berjemaah – maka perlu dirancang sebagai pertemuan yang
memungkinkan semua anggota berpartisipasi lahir-batin.
3. Liturgi hari Minggu bersifat
dialogis. Dimensi vertikalnya
berupa dua arah: antara Allah dengan umat (katabatis) dan
dari umat kepada Allah (anabatis). Liturgi ini berorientasi
trinitarian, dalam bentuk pujian, ungkapan syukur, permohonan. Pada
dimensi vertikal ini ditambahkan dimensi horizontal yaitu komunikasi
antar anggota jemaat (diabatis). Semua ini dapat dicerminkan
dalam teks bacaan, nyanyian bersahutan. Komunikasi juga dapat
diekspresikan dalam gerakan seperti duduk, berdiri, berlutut,
menunduk, bersalaman dst. Komunikasi horizontal dapat diucapkan
antara lain: pelayan mengucapkan votum dan jemaat mengaminkan,
pelayan menyampaikan salam, jemaat membalas salam.
4. Liturgi adalah anamnesis
(“pengenangan”) yang menghadirkan peristiwa tertentu. Setiap
hari Minggu, orang Kristen menghadirkan peristiwa keselamatan
Kristus yang berlaku dulu, sekarang dan di masa depan. Inilah “rahasia”
(Yun. mysterion atau perkara yang sulit dipahami) atau “misteri”
yang diekspresikan secara simbolis. Supaya simbol tidak menjadi
miskin karena hanya menjadi tanda saja, maka liturgi harus
berlangsung dalam iman dan oleh pertolongan Roh Kudus, agar kita
bisa mengalaminya.
5. Liturgi adalah simbolis. Perjumpaan
manusia dengan Allah sesungguhnya berlangsung dalam kehidupan
sehari-hari. Perjumpaan itu diungkapkan dalam simbol yang menjadi
tanda bagi realitas. Pada simbol ada ruang untuk memperluas makna.
Kesatuan gereja segala abad dan tempat dalam Kerajaan Allah dapat
diungkapkan dan diimani melalui simbol.
Proses sosialisasi Liturgi GKI ini
perlu terjadi mengingat kondisi jemaat GKI yang bermacam-macam. Jemaat
GKI dianugerahi potensi kultural yang kaya, yang perlu terus digali
dan dikembangkan. Tidak dapat dihindari adanya perbedaan dengan
liturgi gereja lain. Dalam hal ini dapat dilakukan pendekatan
oikumenis, yaitu mengakui adanya perbedaan namun berpangkal pada
persekutuan gereja-gereja. Setelah uji coba liturgi GKI, kepada jemaat
akan dibagikan kuesioner untuk memberikan input bagi Liturgi
GKI ini. Agar kita bisa menggunakan Liturgi sesuai dengan maksud
baiknya, penting masukan dari Jemaat sebagai pelaku liturgi.
Selamat berjumpa dengan Tuhan dan
bersama jemaat, selamat beribadah. www |