Kembali ke topik kita
selama beberapa minggu ini, Agama dan Identitas Diri, kita
bertanya, dalam arti apakah agama memainkan peranan dalam hidup kita?
Dalam cara apakah agama membentuk identitas diri kita? Atau,
sebaliknya, mengapa agama justru gagal dalam mengisi hidup kita dan
mempengaruhi perilaku kita sehari-hari?
Paul Tillich, seorang
teolog Jerman terkenal abad XX lalu, tidak suka menggunakan kata
agama, keyakinan ataupun iman. Ia merasa bahwa kata-kata itu tidak
cukup menggambarkan apa yang ingin dijelaskan. Karena itulah Tillich
menggunakan kata “Ultimate Concern,” atau “Kepedulian
Tertinggi”. Bagi Tillich, apa yang menjadi Kepedulian Tertinggi
seseorang, itulah iman atau keyakinannya.
Sebagai seorang
Lutheran, tampaknya Tillich sangat dipengaruhi oleh teologi Martin
Luther yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang kepadanya hati kita
melekat, itulah yang menjadi Allah kita. Dengan demikian, kita bisa
mengatakan bahwa ada agama yang formal, yaitu agama yang dicantumkan
dalam KTP kita. Tetapi juga ada agama yang non-formal, yang tidak
cukup dan tidak bisa digambarkan dengan deskripsi dalam KTP kita.
Agama ini pun tidak dapat digambarkan dengan frekuensi atau tingkat
keseringan seseorang berbakti di gereja dalam sebulan, atau berapa
besar jumlah persembahannya. Tidak! Iman yang sesungguhnya hanya bisa
dijelaskan dengan kepedulian yang tertinggi. Atau bisa kita katakan,
untuk sesuatu yang seseorang bersedia korbankan, atau sesuatu yang
berani kita pertaruhkan, maka itulah yang menjadi kepedulian tertinggi
kita, iman kita. Jadi, iman bisa jadi berupa masa depan anak kita,
sebab untuk mereka itulah kita bekerja mati-matian. Untuk sekolah
mereka kita bersedia mengeluarkan uang, berapapun juga besarnya. Iman
bisa jadi juga berupa jabatan yang untuknya kita berani mempertaruhkan
uang dan kehormatan kita. Atau, dalam kasus para teroris di WTC dan
Pentagon, iman mereka adalah keyakinan bahwa perjuangan mereka atau
ideologi yang menjadi pedoman perjuangan mereka itu adalah benar.
Jadi, tidak
mengherankan apabila ada orang Kristen yang rutin setiap hari Minggu
beribadah di gereja, tetapi ibadahnya itu tidak menghasilkan perubahan
apapun di dalam dirinya. Tidak mengherankan pula bila ada agama yang
mengajarkan belas kasih kepada umatnya, tetapi ada pemeluk agama itu
yang justru mempraktekkan terorisme. Sudah tentu saya tidak perlu
menyebutkan nama agama tersebut, sebab hal itu bisa terjadi dalam
agama manapun.
Kita bisa menyebutkan
orang-orang atau kelompok-kelompok yang menafsirkan dan menerapkan
ajaran agamanya dalam cara yang dianggap salah oleh masyarakat yang
lebih luas. Contohnya, orang Hindu fanatik yang membunuh Mahatma
Gandhi. Atau anggota Ku Klux Klan yang merasa yakin bahwa hanya orang
kulit putih Protestan sajalah yang berhak menikmati kasih Allah dan
masuk ke surga. Atau seorang Baruch Goldstein, seorang Yahudi yang
menembakkan senapan mesinnya kepada sejumlah jemaah Muslim yang sedang
bersembahyang Jumat di Kuburan para Leluhur dan membunuh banyak dari
mereka beberapa tahun lalu. Atau para pelaku teror di WTC dan Pentagon
yang merasa bahwa mereka sedang menjalankan misi Allah. Dan seterusnya.
Daftar ini bisa dibuat sangat panjang dan meliputi berbagai pemeluk
agama yang ada di seluruh dunia.
Dengan kata lain,
apapun agamanya, dalam kasus-kasus seperti di atas, tampaknya ada
sesuatu yang tidak beres entah di dalam penyam-paian ajaran agama
tersebut, atau di dalam pemahaman dan penghayatan-nya. Sudah tentu,
kita tidak perlu menggambarkan penyimpangan itu dengan cara yang se-ekstrem
di atas. Pasti ada berbagai ekspresi lain yang bisa diambil sebagai
contoh “kegagalan” agama dalam membentuk identitas diri ideal
seperti yang diharapkan. Misalnya, keluhan yang biasa muncul dari
mereka yang biasa bergelut di dunia bisnis: “Dunia bisnis kan lain.
Tak mungkin kita terus-menerus jujur.”
* * *
Beberapa waktu lalu
saya mendapat kiriman e-mail dari seorang teman yang bertanya, apakah
orang Kristen boleh menyimpan patung atau ukiran-ukiran? Katanya, ada
pendeta yang menyuruhnya membuang dan membakar semua patung dan
lukisan miliknya, karena semua itu adalah berhala. Seringkali yang
kita pahami sebagai berhala adalah patung-patung atau ukiran berupa
dewa-dewa atau binatang-binatang tertentu dari suatu agama tertentu.
Padahal, bila kita kembali kepada Alkitab, maka yang disebut “berhala”
tidak lain daripada kekeliruan kita tentang Kepedulian Tertinggi kita.
Bukannya Allah dan kehendak-Nya yang menjadi Kepedulian Tertinggi kita,
melainkan sesuatu yang lain. Ketika kita memutlakkan apa yang relatif
dan merelatifkan apa yang mutlak, maka di situlah kita menyembah
berhala. Ketika suatu kepedulian lain menggantikan Kepedulian
Tertinggi kita, sehingga apa yang Allah kehendaki dari hidup kita
tidak terwujud, maka itulah penyembahan berhala. Ketika iman yang kita
pahami bersama tidak menjelma dalam tindakan sehari-hari kita, bukan
mustahil kita telah menyembah berhala.