
Minggu, 25/08/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.
Agama
dan Identitas Diri
(4)
Ketika Mereka Mencari Identitas
N ama-nama
seperti Lewis Alcindor, Louis Eugene Walcott, dan Malcolm Little,
mungkin agak asing bagi kita. Namun setidak-tidaknya Kareem Abdul
Jabbar mestinya cukup dikenal oleh para penggemar permainan bola
basket di Indonesia. Ia berganti nama ketika ia menjadi Muslim pada
tahun 1970-an. Louis Eugene Walcott sekarang menjadi Louis Farrakhan,
pemimpin The Nation of Islam, yang dulunya disebut Black Muslims.
Sementara Malcolm Little kemudian berganti nama menjadi Malcolm X, dan
belakangan mengambil nama El-Hajj Malik El-Shabazz setelah naik haji
di Mekkah.
Salah satu fenomenon
yang menonjol di lanskap kehidupan keagamaan di AS selama sekitar
sepuluh tahun belakangan ini adalah perkembangan Islam yang sangat
pesat. Saat ini jumlah pemeluk agama Islam telah menggantikan
kedudukan umat Yahudi sebagai agama kedua terbesar setelah Kekristenan
(termasuk Katolik Roma dan Protestan). Jumlah umat Islam di AS saat
ini sudah lebih dari 6 juta orang. Selain itu, yang sangat menonjol
adalah jumlah orang kulit hitam yang beralih menjadi Muslim, termasuk
sejumlah nama besar yang saya sebutkan tadi.
Yang menjadi pertanyaan
ialah, mengapa mereka beralih menjadi Muslim? Sudah tentu ada banyak
penjelasan yang bisa diberikan terhadap pertanyaan ini, namun pada
umumnya dapat dikatakan bahwa motivasi orang-orang kulit hitam yang
beralih menjadi Muslim adalah masalah identitas diri. Black Muslim
terbentuk karena pengalaman orang kulit hitam yang diperlakukan
rasialis oleh orang-orang kulit putih, yang notabene kebanyakan
beragama Kristen. Akibatnya, muncullah citra yang negatif tentang
Kekristenan, sementara di pihak lain berkembang keyakinan bahwa agama
asli orang-orang kulit hitam ketika mereka datang ke Amerika adalah
Islam. Film “Roots” yang saya sebutkan pada kesempatan yang lalu
memang menunjukkan kenyataan ini. Walaupun di pihak lain, orang-orang
yang menangkapi dan menjual orang-orang kulit hitam kepada para
saudagar budak kulit putih itu kebanyakan adalah orang-orang Arab.
Kriminalitas memang tidak memandang suku, ras, ataupun agama. Siapapun
bisa berbuat kejahatan, apapun agamanya.
Perlakuan rasialis ini
belum juga hilang, meskipun Martin Luther King, Jr., telah berjuang
dengan sekuat tenaga untuk menghapuskan rasialisme di AS. Baru-baru
ini, misalnya, seorang remaja belasan tahun kulit hitam dipukuli
polisi – yang kebetulan berkulit putih – di Inglewood, California
Selatan, dengan alasan bahwa anak itu melawan ketika polisi berusaha
menangkapnya. Namun, dari video yang terekam oleh saksi mata yang
membuat masalahnya terbuka kepada masyarakat luas, sama sekali tidak
kelihatan bahwa remaja itu berusaha melawan.
Seorang teman saya
berkata baru-baru ini, “Kecepatan maksimal lalu lintas di sini 65
mil per jam. Kalau kamu melampauinya sampai 75 mil, masih tidak
apa-apa. Kecuali kamu berkulit hitam atau orang Hispanik.” Artinya,
memang ada kecenderungan di kalangan polisi untuk lebih mengincar
orang-orang berkulit hitam atau coklat. Akibatnya, penjara di seluruh
AS penuh dengan orang-orang kulit hitam, jauh melampaui persentase
mereka di masyarakat luas.
Dalam keadaan seperti
itu, tidak mengherankan kalau banyak pemuda dan remaja kulit hitam
merasa frustasi dan berputus asa. Banyak dari mereka yang lahir di
tengah keluarga yang kekurangan, dan ketika bertumbuh menjadi dewasa,
banyak yang tidak mendapatkan pekerjaan dan malah berakhir di penjara.
Dan dalam menjalani masa tahanan inilah, banyak di antara mereka yang
mendapatkan teman dan penghiburan dari sejumlah da’i yang
amat rajin melakukan pelayanan dan dakwahnya. Mereka inilah yang rajin
meyakinkan para tahanan itu, bahwa mereka masih mempunyai harga diri,
bahwa mereka masih bisa menjadi sesuatu, dan bahwa agama yang mereka
ajarkan itu akan memberikan perubahan ke dalam hidup mereka, karena
agama itu tidak mengajarkan diskriminasi.
Tidak mengherankan
kalau banyak dari para tahanan ini akhirnya berganti agama ketika
mereka keluar dari tahanan. Tentu banyak dari kita yang ingat akan
pengalaman Mike Tyson yang juga berganti agama setelah keluar dari
penjara.
Jadi, bagaimanakah
reaksi kita terhadap masalah ini? Apakah tujuan saya menulis tulisan
ini? Apakah saya bermaksud membesar-besarkan atau memuji-muji
pelayanan saudara-saudara kita yang berbeda agama di berbagai penjara
di AS ini? Sudah tentu, di satu pihak kita harus memuji pelayanan para
da’i yang bekerja keras dan dalam berbagai hal harus kita
akui prestasinya dalam menolong mengembalikan harga diri dan martabat
begitu banyak orang kulit hitam. Namun di pihak lain, kita harus
menyesali masyarakat AS yang konon didirikan di atas prinsip-prinsip
kekristenan, namun pada kenyataannya toh masih kuat mempraktekkan
rasialisme. Juga kita harus menyayangkan kenyataan bahwa pelayanan
penjara belum menjadi prioritas banyak gereja sehingga harus diakui
bahwa kita memang “kalah” dalam melaksanakan apa yang Yesus
sendiri pernah katakan, bahwa kita bisa menemukan dia dalam keadaan
kelaparan, kehausan, telanjang, dan bahkan terpenjara.
Dalam hal ini, saya pun
teringat kembali akan pelayanan GKI Gading Indah di LP Bekasi. Ah,
betapa banyak yang bisa kita lakukan dalam pelayanan kita, kalau kita
memang mau bersungguh-sungguh. www |