
Minggu, 25/08/2002
Oleh: Tim Warta
Hambatan
Bagi Peran Gereja
KALAU memang gereja harus berperan
dalam kehidupan sosial-politik, rasanya terlalu naif, kalau kita
mengira bahwa para pemimpin gereja kita tidak tahu akan hal itu. Tapi
mengapa hingga saat ini peran gereja (baca: GKI SW Jabar) masih begitu
minim?
Untuk menjawab persoalan itu, Tim Warta
sengaja menemui Trisno S. Sutanto—salah satu dari sedikit anggota
GKI yang mengabdikan diri dalam kehidupan sosial-politik. Pada
percakapan santai di rumahnya di bilangan Pulo Asem, Rawamangun, ia
mengungkapkan bahwa ia sangat setuju dengan pemikiran Pdt. Eka. “Tapi
itu semua orang sudah tahu,” ujarnya.
Yang perlu dicermati, menurut Trisno,
adalah pemikiran bahwa gereja tidak boleh berpolitik. Ia mensinyalir
pemikiran ini banyak terdapat di kalangan anggota jemaat, bahkan juga
di kalangan para pemimpin gereja. Ia setuju bahwa gereja tidak
berpolitik seperti partai-partai politik, tapi sikap politis itu harus.
“Saya tidak tahu dari mana asal pemikiran ini. Mungkin dari
pemikiran pietisme, atau bisa juga dari penafsiran yang kurang pas
dari pemikiran Luther tentang pemerintahan Allah dan pemerintahan
dunia,” ujarnya. “Tapi implikasinya bagi peran gereja di Indonesia
sangat tidak baik.” Menurutnya, gereja jadi meninggalkan tugas-tugas
sosial-politiknya, seperti pendidikan masyarakat, pembelaan hak-hak
kelompok tertindas dan kaum marjinal, seruan-seruan moral dalam
kehidupan politik, dst. Peran-peran itu, yang seharusnya menjadi
bagian dari kehidupan gereja, akhirnya diambil alih oleh LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat—red.). “Padahal LSM tertua di dunia itu kan
gereja,” ujarnya. Karena itu sebenarnya tidak ada alasan bagi gereja
untuk tidak memainkan peran sosial-politisnya secara aktif.
Lantas kenapa gereja tidak melakukannya?
Menjawab persoalan itu, Trisno menganalisa bahwa ada perbedaan antara
gereja Katolik Roma dan gereja-gereja Protestan, termasuk GKI di
dalamnya. “Di gereja Katolik, para Romo itu sudah diarahkan sejak
awal mereka masuk seminari, bidang pelayanan apa yang hendak mereka
tekuni, termasuk pelayanan masyarakat secara konkret,” tutur Trisno
menjelaskan proses pendi-dikan yang memakan waktu sekitar 14 tahun itu.
“Sementara di gereja-gereja Protestan,
pendidikan Pendeta hanya 5 tahun. Itu pun hanya yang bersifat akademis.
Bukan pendidikan kehidupan langsung,” katanya. Akibat dari itu, ia
melanjutkan, para Pendeta jadi kurang peka terhadap masalah-masalah
sosial, atau tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
Kelemahan lain yang dilihatnya adalah
ketiadaan wadah dalam gereja-gereja Protestan. Kalaupun ada Pendeta
yang mau terjun ke dalam pelayanan sosial-politik, tidak ada wadah
bagi mereka. Sementara gereja Katolik Roma dengan KWI-nya punya
jaringan yang sangat memadai. Di sini sebenarnya Sinode harus berperan.
Harus ada semacam badan pembantu yang dengan sengaja ditujukan untuk
pelayanan masyarakat, yang tidak saja bersifat karitatif tapi juga
strategis.
“Tapi untuk itu kita harus rela
menyalurkan dana,” ujarnya. Hal itu rasanya benar, banyak gereja
yang enggan me-nyalurkan dana bagi kepentingan sosial. Mereka “tidak
rela” kalau Pendetanya melayani kepentingan kelompok lain,
kepentingan sosial yang lebih luas. Karena JHP (Jaminan Hidup Pengerja)
keluar dari kantong gereja, maka Pendeta harus melayani gereja secara
langsung, dong, mungkin begitu pikir mereka.
Ya, repot kalau begitu...
(mhs) |