Pdt. Em. Dr. Eka Darmaputera pernah menulis
sebuah esay di harian Sinar Harapan (8 Maret 1975), judulnya: “Gereja
Berpolitik?” Dua puluh tujuh tahun yang lalu itu, dia sudah berseru
bahwa gereja (baca: GKI SW Jabar)perlu melakukan tugas panggilan
sosialnya. Eka—di awal era Orde Baru yang menang mutlak pada Pemilu
1971 itu—sudah melihat potensi bahaya dari sikap gereja yang enggan
memainkan peran sosial-politiknya di tengah kehidupan real
masyarakat, dan—yang menurut istilahnya—hanya mencari “keamanan”
bagi diri sendiri. Gereja, jadinya, kehilangan paradigma “positif,
kritis, kreatif, dan realistis” (yang dicetuskan oleh sosok yang ia
sebut sebagai gurunya: Alm. TB. Simatupang), dalam hubungannya dengan
pihak penguasa. Gereja lebih senang “bermesra-mesra” dengan
pe-nguasa, ketimbang menjalankan fungsi profetis (kenabian)-nya.
Di tahun 1999, dua puluh empat tahun kemudian,
Eka dengan sedih mengatakan bahwa gereja telah tiba pada kondisi yang
paling parah sepanjang sejarah. Yaitu, gereja kini sudah kehilangan
kepercayaan dan respek terhadap diri sendiri; di samping, tentu saja,
kehilangan respek dari rakyat, dan juga penguasa. Hal itu dikatakannya
dalam “Mengevaluasi Kehadiran Gereja di Tengah-tengah Tuntutan
Reformasi: Anno 1999” yang diterbitkan oleh Yakoma-PGI.
Hal yang sangat memprihatinkan itu timbul tidak
lain karena sikap gereja yang tidak melayani kebutuhan rakyat, dan,
sekali lagi, lebih senang “berhubungan baik” dengan penguasa.
Padahal, dalam konteks politik saat ini, apa yang mau ditawarkan oleh
gereja kepada penguasa? Penguasa tentu saja lebih senang menjalin “hubungan
baik” dengan kelompok lain yang jelas-jelas lebih besar jumlahnya
dan lebih kuat pengaruhnya. Itulah dunia politik. Tidak ada “sahabat
abadi” di sana. Satu-satunya yang abadi adalah kepentingan. Karena
itu dengan amat pahit, Eka berkata, dalam kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat, kekristenan telah menjadi sekedar “pemantas
dan asesori semata”. Kehadiran gereja semakin dilecehkan dan
diremehkan,” ujarnya pahit.
Berdasarkan pengamatan panjang itu, menurut Eka,
satu-satunya jalan bagi gereja—apabila gereja mau ba-ngun dan mau
mendapatkan makna dari kehadirannya di tengah bangsa dan negara ini—adalah
melakukan koreksi total! Koreksi menyeluruh, yang tidak
tanggung-tanggung, yang tidak setengah-setengah. Harus terjadi paradigm
switch, dari berorientasi kepada kekuasaan ke orientasi
kepada kepentingan rakyat kecil.
Namun begitu Eka juga berkata bahwa pemihakan
kepada rakyat kecil itu tidak serta-merta memposisikan diri sebagai
kekuatan oposan. Tapi kesadaran itu menjadikan gereja tahu pada
kepentingan siapa gereja harus berpihak. Lebih lanjut, ia pun
menegaskan bahwa peran sosial-politik gereja tentu tidak sama dengan
partai politik. Dasar panggilan gereja sama sekali berbeda dengan
partai politik. Namun gereja hanya menjadi gereja, apabila dalam
seluruh eksistensinya ia menjadi saksi-saksi hidup dari Kristus. Dan
itu, menurutnya, mencakup segala aspek: manusia baru dan dunia baru.
Kini di tahun 2002, ketika Indonesia secara de
jure menjadi negara yang “baru”—setelah 57 tahun terlepas
dari kuasa negara asing—, apa yang, sekali lagi, akan diperbuat
gereja? Tetap menjadi penonton, atau menjadi pemain. Semakin terpuruk,
atau mampu bangkit kembali?