:: home :: index ::

 

Minggu, 25/08/2002
Oleh: Tim Warta

Di Mana Posisi Gereja?

Lima puluh tujuh tahun Indonesia merdeka, gereja ternyata masih (atau bahkan semakin?) gamang dan bingung dalam menentukan posisinya di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada sesuatu yang membuatnya terus-menerus diam dan hanya menonton kehidupan bangsa ini.

Pdt. Em. Dr. Eka Darmaputera pernah menulis sebuah esay di harian Sinar Harapan (8 Maret 1975), judulnya: “Gereja Berpolitik?” Dua puluh tujuh tahun yang lalu itu, dia sudah berseru bahwa gereja (baca: GKI SW Jabar)perlu melakukan tugas panggilan sosialnya. Eka—di awal era Orde Baru yang menang mutlak pada Pemilu 1971 itu—sudah melihat potensi bahaya dari sikap gereja yang enggan memainkan peran sosial-politiknya di tengah kehidupan real masyarakat, dan—yang menurut istilahnya—hanya mencari “keamanan” bagi diri sendiri. Gereja, jadinya, kehilangan paradigma “positif, kritis, kreatif, dan realistis” (yang dicetuskan oleh sosok yang ia sebut sebagai gurunya: Alm. TB. Simatupang), dalam hubungannya dengan pihak penguasa. Gereja lebih senang “bermesra-mesra” dengan pe-nguasa, ketimbang menjalankan fungsi profetis (kenabian)-nya.

Di tahun 1999, dua puluh empat tahun kemudian, Eka dengan sedih mengatakan bahwa gereja telah tiba pada kondisi yang paling parah sepanjang sejarah. Yaitu, gereja kini sudah kehilangan kepercayaan dan respek terhadap diri sendiri; di samping, tentu saja, kehilangan respek dari rakyat, dan juga penguasa. Hal itu dikatakannya dalam “Mengevaluasi Kehadiran Gereja di Tengah-tengah Tuntutan Reformasi: Anno 1999” yang diterbitkan oleh Yakoma-PGI.

Hal yang sangat memprihatinkan itu timbul tidak lain karena sikap gereja yang tidak melayani kebutuhan rakyat, dan, sekali lagi, lebih senang “berhubungan baik” dengan penguasa. Padahal, dalam konteks politik saat ini, apa yang mau ditawarkan oleh gereja kepada penguasa? Penguasa tentu saja lebih senang menjalin “hubungan baik” dengan kelompok lain yang jelas-jelas lebih besar jumlahnya dan lebih kuat pengaruhnya. Itulah dunia politik. Tidak ada “sahabat abadi” di sana. Satu-satunya yang abadi adalah kepentingan. Karena itu dengan amat pahit, Eka berkata, dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, kekristenan telah menjadi sekedar “pemantas dan asesori semata”. Kehadiran gereja semakin dilecehkan dan diremehkan,” ujarnya pahit.

Berdasarkan pengamatan panjang itu, menurut Eka, satu-satunya jalan bagi gereja—apabila gereja mau ba-ngun dan mau mendapatkan makna dari kehadirannya di tengah bangsa dan negara ini—adalah melakukan koreksi total! Koreksi menyeluruh, yang tidak tanggung-tanggung, yang tidak setengah-setengah. Harus terjadi paradigm switch, dari berorientasi kepada kekuasaan ke orientasi kepada kepentingan rakyat kecil.

Namun begitu Eka juga berkata bahwa pemihakan kepada rakyat kecil itu tidak serta-merta memposisikan diri sebagai kekuatan oposan. Tapi kesadaran itu menjadikan gereja tahu pada kepentingan siapa gereja harus berpihak. Lebih lanjut, ia pun menegaskan bahwa peran sosial-politik gereja tentu tidak sama dengan partai politik. Dasar panggilan gereja sama sekali berbeda dengan partai politik. Namun gereja hanya menjadi gereja, apabila dalam seluruh eksistensinya ia menjadi saksi-saksi hidup dari Kristus. Dan itu, menurutnya, mencakup segala aspek: manusia baru dan dunia baru.

Kini di tahun 2002, ketika Indonesia secara de jure menjadi negara yang “baru”—setelah 57 tahun terlepas dari kuasa negara asing—, apa yang, sekali lagi, akan diperbuat gereja? Tetap menjadi penonton, atau menjadi pemain. Semakin terpuruk, atau mampu bangkit kembali?

Tim Warta


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814