
Minggu, 16/06/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.
Manusia
dan Lingkungannya
(6)
Sekali Lagi, Peri Kebinatangan
Dalam soal peri
kebinatangan, rasanya sulit kita mengalahkan orang Amerika. Perhatian
mereka terhadap binatang sangat besar. Di toko-toko, misalnya, kita
bisa menemukan berjenis-jenis mainan dan makanan binatang. Ada makanan
untuk anjing yang masih kecil. Ada pula yang dimaksudkan untuk anjing
yang dewasa dan lanjut usia, alias “binala” - binatang usia lanjut.
Untuk anjing-anjing dalam kategori lanjut usia, mereka memroduksi
makanan yang khusus untuk menjaga kadar kolesterol konsumennya.
Ada pula makanan yang
memperhatikan tar gigi anjing. Maklumlah, anjing tidak suka menggosok
gigi, baik setelah bangun pagi, maupun sebelum tidur.
Lebih dari itu, di sini orang juga mendirikan salon binantang, rumah
sakit binatang, kuburan binatang, krematorium binatang. Seorang
kenalan dari Indonesia belajar desain interior di Jerman sekitar tahun
1970-an, tetapi kemudian ia pindah ke AS dan bekerja sebagai groomer,
penata kecantikan binatang, khususnya anjing dan kucing.
Kini ia mempunyai salon
sendiri dan tampaknya usahanya cukup berhasil. Setiap hari mungkin
minimal ia bisa memperoleh 10 klien. Dan itu berarti minimal sekitar
$300, belum lagi tip yang diterima dari para pemilik binatang itu. Oh
ya, mungkin sebagian pembaca mengira uang $300 itu besar. Sebetulnya
tidak. Itu cuma pas-pasan untuk membayar sewa ruangan, pajak, dan
biaya seorang groomer lainnya. Tapi, untuk sekadar bisa hidup
di San Francisco yang terkenal mahal, yah... lumayan juga.
Saya pernah mendengar
bahwa salon dan kuburan binatang memang sudah ada di Indonesia,
walaupun mungkin belum begitu populer. Tetapi, inilah kesempatan
bisnis yang bagus, sebab saya selalu yakin, bahwa bisnis apapun yang
melibatkan emosi konsumen, akan selalu berhasil. Saya jadi teringat
akan salah seorang anggota GKI Gading Indah yang mempunyai latar
belakang pendidikan kedokteran hewan. Mungkin dia akan hidup makmur,
andai saja dia tinggal dan berpraktek di sini.
Ooops... tunggu
sebentar. Menjadi dokter hewan di sini mungkin tidak begitu mudah.
Tidak lebih mudah daripada menjadi dokter manusia. Seorang mahasiswa
teologi di Louisville Presbyterian Theological Seminary mempunyai
istri seorang dokter hewan. Saya katakan kepadanya, karena Kentucky
terkenal di seluruh dunia akan produksi kudanya, tentu istrinya bisa
kaya-raya dengan menjadi dokter kuda di sana. "Eh, jangan salah,"
katanya. "Memang orang bisa kaya-raya, tetapi juga bisa jatuh
miskin kalau salah-salah mengobati kuda-kuda yang sakit."
Maklumlah, kuda-kuda pacuan itu bisa selangit harganya, apalagi kalau
pernah memenangi salah satu pacuan terkemuka, seperti Kentucky Derby.
Selain menjadi dokter
hewan, orang juga bisa meraih sukses dengan menjadi pengacara untuk
para pemilik atau peternak kuda pacuan itu. Mahasiswa itu melanjutkan
ceritanya, konon pernah sebuah pemilik kuda pacu ingin membeli “mantu"
atas salah seekor kuda yang terkenal handal. Sebagaimana biasa, kuda
pacu itu dibawa dengan sebuah kendaraan khusus. Kendaraan itu kemudian
ditarik dengan mobil - biasanya pick-up. Namun, untung tak
dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kendaraan itu mengalami
kecelakaan, dan yang lebih parah lagi, kuda itu mengalami retak tulang
di kepalanya. Si penjual berlagak pilon dan, karena tidak mau rugi,
tetap mengantarkan kuda itu setelah diberikan pengobatan sekadarnya.
Namun itu tidak menyelesaikan masalah. Kuda itu mati setelah beberapa
waktu, dan masalah ini menjadi masalah hukum. Pengacara-pengacara yang
paling mahal pun disewa. Yah.... masalah sayang binatang memang bisa
berkembang ke soal hukum, pidana maupun perdata.
Persoalan serupa
terjadi beberapa bulan lalu, ketika anggota juri di pengadilan Los
Angeles menyatakan Marjorie Knoller bersama suaminya bersalah karena
lalai sehingga anjingnya, seekor Presario Canary, menggigit dan
mengoyak-ngoyak sampai mati Diane Whipple, tetangganya dalam apartemen
yang sama. Sharon Smith, pasangan Whipple, tidak berhenti dengan hukum
pidana. Kini ia sedang memproses masalahnya dengan kasus perdata yang,
kalau dimenangkannya, akan menyebabkan Marjorie Knoller, yang juga
pengacara bersama suaminya, bukan hanya melewatkan 14 tahun hidupnya
di penjara, tetapi juga bangkrut. Bukan cuma itu, si pemilik apartemen
juga dituntut karena membiarkan penghuninya memelihara binatang yang
berbahaya.
Sejak peristiwa itu,
California melarang orang membawa anjing ke taman-taman kota apabila
mulut anjing itu tidak dibungkus (saya tidak tahu apa istilahnya...).
Ini khususnya berlaku untuk anjing-anjing berukuran besar dan sedang,
sementara anjing-anjing mini, seperti chihuahua tentu bisa bebas
berkeliaran.
Sebuah mania baru,
kalau boleh dibilang demikian, adalah kloning binatang kesayangan.
Saya pikir kita semua sudah cukup banyak tahu tentang kloning,
sehingga saya tidak usah menjelaskannya dengan panjang lebar. Secara
singkat, kloning adalah menggandakan suatu makhluk hidup dengan
menciptakan tiruannya. Caranya, salah satu sel makhluk itu - entah
binatang ataupun manusia - diambil, lalu dihidupi dengan cara demikian
rupa sehingga sel itu berkembang melipat ganda, menjadi makhluk yang
serupa dengan master-nya. Binatang yang sudah berkembang sebagai hasil
kloning ini adalah Dolly, seekor domba di Inggris, dan CopyCat,
seekor kucing. Nah, kalau anda memang begitu cinta dengan binatang
kesayangan anda yang sudah hampir pasti umurnya lebih pendek daripada
umur anda sendiri, kenapa tidak mencoba memikirkan kemungkinan kloning
ini? Meskipun biayanya sudah tentu akan mahal sekali, jauh lebih mahal
daripada sekadar membeli seekor anjing atau kucing baru, yang memang
tidak akan sama dengan apa yang sudah anda miliki.
Seberapa jauh
kloning ini bisa dipertanggungjawabkan secara teologis? Itulah
pertanyaan yang menuntut pergumulan baru. Sampai di mana batas-batas
inisiatif yang boleh dilakukan oleh manusia? Sampai di mana upaya
manusia bisa disebut sebagai pelanggaran atas kedaulatan Allah? Apakah
segala sesuatu yang secara ilmiah bisa terjadi, boleh dilakukan? www |