
Minggu, 28/04/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.
Tentang
Perpustakaan
(3)
Investasi dalam Bidang
Perpustakaan
Awal bulan Maret lalu
saya menerima sebuah kuesioner dari Perpustakaan GTU (Graduate School
of Theology). Daftar pertanyaan itu diedarkan kepada semua pemakai
perpustakaan GTU untuk mengetahui kebiasaan pemakaian perpustakaan dan
semua segi pelayanannya. Mengapa? Ternyata GTU merasa bahwa
perpustakaan itu sudah tidak memadai lagi. Ruangan yang tersedia tidak
lagi memadai untuk pengembangannya lebih lanjut.
Hal itu cukup
mengejutkan bagi saya. Memang, di satu pihak terasa bahwa ruangan yang
tersedia sekarang agak terlalu sempit. Perpustakaan GTU terdiri atas
tiga lantai: lantai bawah tanah, lantai satu dan dua. Lantai dua
dipergunakan untuk kantor keuangan, kantor Presiden (atau rektor) GTU,
dan berbagai urusan lainnya. Ada pula sebuah ruangan pertemuan yang
biasa digunakan sebagai ruang rapat, kuliah terbuka, dll.
Di lantai pertama
terdapat lima buah komputer yang dapat dipergunakan untuk internet.
Orang juga dapat memanfaatkannya untuk mengakses berbagai informasi
dari luar, baik tentang buku, tulisan, maupun informasi umum lainnya.
Lain dari itu, masih ada 4 komputer lainnya untuk mencari buku dan
koleksi lainnya di dalam perpustakaan GTU. Ada pula ruangan khusus
untuk lokakarya pemanfaatan komputer untuk perpustakaan dan
kuliah-kuliah yang membutuhkan komputer. Di ruangan tengah
perpustakaan ada display area, sementara di dinding di ujung
ruangan selalu dipasang lukisan. Display area dan lukisan yang
digantung di dinding adalah bagian dari pameran tetap GTU yang
biasanya berlangsung sekitar beberapa bulan. Pada bulan-bulan ini,
misalnya, di display area dipamerkan berbagai sisi kehidupan
Yesus yang ditampilkan dalam bentuk keramik dari Meksiko. Sementara di
dinding dipasang berbagai lukisan yang menggambarkan kuasa jahat. Di
lantai pertama ini pula terdapat koleksi buku-buku referensi.
Di lantai bawah tanah
terdapat koleksi buku, majalah, jurnal, mikrofilm, video, dll.
Buku-buku disimpan dalam rak-rak yang khusus. Meskipun rak-rak itu
sangat besar dan tinggi, kita dapat menggeser-gesernya dengan jalan
memutar pendorong yang menggerakkan rantai yang menghubungkan
pendorong itu dengan roda di bawaah rak-rak itu. Dengan demikian,
ruangan itu dapat memuat jauh lebih banyak rak daripada model
konvensional yang mati.
Lain dari itu, di
ruang bawah tanah ini ada beberapa
carrel atau ruang belajar yang dapat dipinjam, khususnya oleh
mereka yang sudah berada pada tahap-tahap terakhir studinya. Ada juga
dua ruangan kecil untuk diskusi yang dibuat dengan kedap suara,
sehingga suara orang yang berbicara di dalamnya tidak akan terdengar
keluar. Dua buah mesin fotokopi tersedia untuk mahasiswa yang ingin
mengkopi buku, sehingga mereka tidak usah repot-repot membawa buku itu
keluar. Fotokopi pun bisa dilakukan sendiri, karena setiap mahasiswa
bisa membeli kartu fotokopi yang diisi dengan sejumlah uang tertentu.
Kartu bermagnet itu akan habis dengan sendirinya apabila jumlah uang
yang dimasukkan ke dalam kartu itu semakin berkurang dengan pemakaian
mesin itu. Persis dengan kartu telepon, namun kartu fotokopi ini bisa
diisi ulang. Cuma sayangnya, biaya fotokopi di Perpustakaan GTU jauh
lebih mahal daripada biaya di luar. Setiap lembar fotokopi di
perpustakaan itu berharga 10 sen, sementara di luar kita bisa membuat
fotokopi dengan biaya hanya 5 sen atau bahkan 3 sen per lembar,
meskipun ada jumlah biaya minimum yang biasanya dikenakan.
Dengan ruangan yang
agak terbatas, namun dengan sistem penyimpanan buku yang efisien,
tidak mengherankan apabila GTU mempunyai koleksi buku sebanyak 350.000
buah. Belum lagi ratusan jurnal dan koleksi lainnya. Jumlah ini sangat
besar bila dibandingkan dengan koleksi STT Jakarta, yang mungkin belum
mencapai 45.000. Saya ingat ketika sebagai Pembantu Ketua I Bidang
Akademik di STT Jakarta, saya berusaha mengembangkan koleksi
perpustakaan STT Jakarta. Ketika kami mendapatkan kunjungan Tim
Akreditasi dari ATESEA (Association of Theological Education in South
East Asia), salah satu butir negatif yang kami peroleh adalah tidak
sebandingnya jumlah buku-buku dalam bahasa asing dengan yang berbahasa
Indonesia. Saya sempat mencetuskan bahwa dalam waktu 4 tahun kami akan
menambah koleksi buku berbahasa Indonesia sampai 5.000 buah. Namun
setelah 2 tahun berlalu, bahkan mendapatkan 1.500 buku saja susahnya
setengah mati. Sudah tentu, kalau mau sembarang menambahkan koleksi
tidak sulit, namun tentu bukan itu yang kami cari. Memang, salah satu
masalah terbesar yang dihadapi oleh pendidikan teologi di Indonesia
adalah mendapatkan buku-buku teologi yang baik dalam bahasa Indonesia.
Situasinya sangat berbeda dengan di Amerika Serikat. Di sini ada
banyak sekali penerbit buku teologi yang berbobot, meskipun para
penerbit itu datang dari berbagai denominasi. Sementara di Indonesia
jumlah penerbit yang berbobot terhitung dengan jari sebelah tangan.
Itupun dengan jumlah penerbitan yang juga sangat terbatas.
Perpustakaan dan
komputer tampaknya tidak bisa dipisahkan lagi. Kehadiran buku-buku dan
berbagai macam tulisan di internet mungkin suatu kali akan
menggantikan fungsi dan kedudukan perpustakaan. Namun untuk saat ini,
kedua-duanya tampaknya masih perlu dikembangkan. Oleh karena itulah,
meskipun penggunaan komputer telah makin berkembang, dan Perpustakaan
GTU mungkin akan menambah stasiun komputernya, kebutuhan akan ruangan
yang semakin luas agaknya tidak bisa dihindari lagi.
Kebutuhan komputer
ini tidak hanya terkait dengan penyimpanan data, sebab perkuliahan pun
bisa dilangsungkan lewat internet. Kebetulan saya baru saja membaca
katalog mata kuliah yang ditawarkan untuk Musim Gugur dan Musim Semi
mendatang, dan dalam salah satu kelasnya disebutkan bahwa untuk
sejumlah perkuliahan mahasiswa tidak perlu hadir di GTU. Mereka hanya
perlu mengakses ruang diskusi maya yang terdapat di internet. Oleh
karena itulah, GTU merencanakan perluasan gedung perpustakaannya.
Berapa besar dananya? Wah, saya sungguh tidak tahu akan hal itu.
Namun, dengan pengalaman di STT Jakarta yang baru saja merenovasi
perpustakaannya beberapa tahun lalu, jelas dana yang kami keluarkan
jauh di bawah dana yang dibutuhkan GTU untuk rencana renovasi
perpustakaannya. Saya hanya bisa bermimpi, kapan kita juga akan mampu
melakukan investasi yang demikian besar untuk pengembangan pelayanan
Gereja? ***
|