
Minggu, 28/04/2002Barat
vs. Timur?
WARTA JEMAAT
- Pepatah bilang, lain
ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Ungkapan itu rasanya
tepat digunakan untuk menggambarkan urusan penyembuhan alternatif yang
menjadi Liputan Utama Warta Jemaat kita kali ini.
Dunia Barat yang
sangat kuat ciri rasionalitasnya, khususnya setelah zaman Pencerahan
pada abad pertengahan, mengembangkan suatu pola pengobatan yang
berciri ilmiah. Suatu metode yang sekarang dikenal sebagai metode
kedokteran modern, atau yang biasa juga disebut “pengobatan arus
utama”.
Pengaruh metode
pengobatan Barat ini harus diakui sangat besar, khususnya bagi
masyarakat modern, sampai-sampai metode pengobatan lain yang tidak
bisa dibuktikan secara ilmiah—tidak rasional dan tidak dapat
dirasakan oleh panca indera manusia—dianggap tidak berlaku.
Yang menjadi
“korban” perkembangan tersebut, tidak lain adalah pengobatan a
la dunia Timur—yang walaupun tidak semuanya, kebanyakan tidak
mementingkan unsur keilmiahan, melainkan lebih menekankan pada hasil.
Selain itu, harus diakui, banyak cara pengobatan dunia Timur yang
sepanjang sejarahnya, dibungkus dengan berbagai ritus-ritus keagamaan;
bahkan tidak jarang yang berbau klenik dan perdukunan. Akibatnya,
metode tertentu hanya berlaku untuk komunitas tertentu pula. Komunitas
yang berbeda, tidak mengenal atau tidak mau memanfaatkan cara-cara
pengobatan komunitas yang lain. Kondisi seperti itu tentu saja membuat
pamor metode pengobatan Timur semakin terpuruk. Sementara dengan
keilmiahannya, pamor metode Barat semakin berjaya. Sampai-sampai
metode pengobatan Barat kerap dimutlakkan sebagai satu-satunya cara
penyembuhan yang benar.
Namun pendapat
seperti itu belakangan mulai memudar. Pasalnya, banyak praktisi dunia
kedokteran modern kini melihat bahwa pasien bukan lagi sekedar jasad
yang perlu dibebaskan dari bakteri atau penyakit fisik lainnya. Metode
pendekatan holistik, misalnya, tidak melihat manusia hanya secara
ragawi semata, melainkan juga terdiri dari jiwa dan lingkungan sosial
alam semesta (Intisari, Agustus 2001). Kesemuanya itu diyakini saling
berkaitan. Karenanya, kalau mau hidup sehat, ketiga aspek tersebut
harus dirawat secara baik dan benar.
Tentu saja, metode
pengobatan holistik bukan merupakan satu-satunya metode pengobatan
alternatif. Belakangan ini semakin marak metode pengobatan yang
memanfaatkan “energi alam semesta”, selain berbagai metode
pengobatan (yang lebih) “tradisional” dan sarat muatan mistiknya.
Seperti beberapa waktu lalu, misalnya, sebuah stasiun televisi swasta
menayangkan pengobatan alternatif dengan cara memotong ayam. Seakan
tak mau ketinggalan, metode pengobatan dengan bungkus agama juga tak
kalah seru memperkenalkan diri. Agama yang turut serta juga bukan
hanya satu, tapi hampir semuanya menawarkan alternatif.
Terlepas dari metode
yang jelas-jelas berbau klenik macam perdukunan, metode dengan
memanfaatkan “energi alam semesta”—seperti Prana dan
Reiki—rupanya cukup mendapat perhatian dari masyarakat. Tidak heran,
sosialisasi metode ini boleh dibilang cukup gencar. Kalau kita pergi
ke toko buku, dengan mudah kita bisa menemukan berbagai buku mengenai
metode pengobatan ini. Atau, kita membuka internet, dan ketik
“pengobatan alternatif” pada search engine, maka segera
akan tampil sederet alamat situs yang membahas hal ini.
Seiring dengan
perkembangan dunia global, maka kelihatannya metode peng-obatan Timur
semakin menemukan tempatnya dalam masyarakat modern. Masyarakat tidak
lagi melihat metode pengobatan dan kedokteran Barat sebagai
satu-satunya pilihan. Selain itu, semangat keterbukaan dunia global
agaknya juga telah mendorong para praktisi pengobatan Timur untuk
mensosialisasikan metode mereka. Tidak lagi seperti zaman dahulu, di
mana keahlian dan ketrampilan justru disembunyikan baik-baik—sebagai
“aset” yang tidak boleh jatuh ke tangan orang lain.
Namun apakah benar
bahwa urusan pengobatan atau penyembuhan alternatif ini memang
semata-mata perbedaan metode Barat dan Timur? Metode Barat yang ilmiah
tentunya membuat posisi kedokteran modern (relatif) “netral” dan
“terbebas” dari unsur agama. Lain halnya dengan metode Timur, yang
seperti telah disinggung di atas, cenderung diwarnai dengan berbagai
unsur keagamaan. Akibatnya, banyak orang yang mempertanyakan, apakah
sebagai orang Kristen, misalnya, kita boleh memanfaatkan metode
tertentu, yang diyakini berlatar belakang agama lain?
Ambil contoh Pdt.
Yahya Sunarya, MTh, Sekretaris Umum Badan Pekerja Majelis Sinode
(BPMS) GKI. Dalam pertemuan diskusi teologi belum lama ini, ia
menentang pengobatan dengan “tenaga alam semesta” ini. Menurutnya,
hal itu tidak bisa dibuktikan secara rasional dan inderawi. Karena itu
harus ditolak. Lagi pula, katanya, kita tak tahu asal-usul “energi
alam semesta” itu.
Namun, tidak semua
setuju dengan pendapat Pdt. Yahya. Pasalnya, apakah yang tidak
rasional itu pasti salah? Bukankah rasio manusia itu juga terbatas,
dan yang tidak mampu dijelaskan secara rasional tidak otomatis berarti
irrasional?
Seorang peserta
diskusi bahkan sempat mempertanyakan, yang disebut alternatif itu yang
mana? Buat orang Cina, ujarnya, mungkin pengobatan modern itu yang
alternatif. Pengobatan utamanya adalah dengan akupunktur atau cikung!
Dr. Samuel, anggota
jemaat GKI Agus Salim, Bekasi, yang sengaja hadir dalam pertemuan
tersebut, jelas-jelas mendukung praktek pengobatan alternatif. Ia
mengaku, selain mempelajari metode kedokteran modern, ia juga
mempelajari akupunktur dan Reiki. Menurutnya, kedua metode tersebut
dapat dibuktikan secara medis mampu menolong pasien.
Kelihatannya diskusi
mengenai pengobatan alternatif ini masih akan memakan waktu yang
panjang. Setiap pendapat pasti akan membawa counter-opinion.
Tidak ada pandangan yang benar-benar bisa memuaskan semua pihak. Yang
penting semuanya dilakukan untuk mencapai kemajuan dalam dunia
pengobatan. Bukan debat kusir, siapa benar dan siapa salah. (TIM
WARTA)
|