
Minggu, 21/04/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.
Tentang
Perpustakaan
(2)
Membaca Sebagai Kebutuhan
Masyarakat
Hari
Sabtu 6 April lalu, Central Public Library di Berkeley dibuka kembali
setelah beberapa tahun direnovasi. Acara pembukaan berlangsung dari
tengah hari sampai pk. 5 sore dengan berbagai acara: nyanyian, tarian,
barongsai, dll. Singkatnya, acara itu seolah-olah ingin menampilkan
kepelbagaian yang ada di Berkeley, sekaligus juga untuk menarik
sebanyak mungkin pengunjung untuk menyambut hadirnya kembali
perpustakaan umum terbesar di kota ini. Pada hari pembukaan itu juga
dilayani peminjaman koleksi perpustakaan bahkan juga pendaftaran
anggota baru. Bisa dibayangkan, betapa ramainya gedung perpustakaan
itu walaupun luasnya sesungguhnya tidak seberapa, karena tanah tempat
gedung itu berdiri memang tidak bisa ditambah lagi.
Pembukaan
kembali Central Public Library ini terlambat 6 bulan lebih dari
rencana semula. Kelesuan ekonomi dan krisis politik, keamanan dan
sosial umumnya yang melanda masyarakat Amerika Serikat sejak
penyerangan ke gedung WTC bulan September lalu telah menghambat
rencana pembukaan kembali perpustakaan ini. Namun dengan bantuan
pemerintah dan dukungan yang besar dari pihak swasta – para
pengusaha dan filantropis umumnya – maka renovasi perpustakaan ini
akhirnya selesai dan masyarakat pun dapat kembali menikmati
pelayanannya.
Tampaknya
masyarakat Berkeley merasakan sekali kehadiran sebuah perpustakaan
sebagai suatu kebutuhan yang tidak bisa tidak harus ada. Karena itu,
betapapun juga mahalnya suatu fasilitas perpustakaan, mereka tetap
mengusahakannya, meskipun di luar Central Public Library ini Berkeley
masih mempunyai 4 buah perpustakaan umum lainnya. Inilah bedanya
dengan masyarakat kita di Indonesia pada umumnya, yang tidak merasakan
perpustakaan sebagai suatu kebutuhan yang utama. Buku dan
perpustakaan belum menjadi kebutuhan mendasar. Bayangkan, bahkan
sampai sekarang pemerintah Indonesia masih mengenakan pajak untuk buku
yang diproduksi maupun yang diimpor dari luar negeri, sehingga harga
buku menjadi mahal. Sebagai akibat selanjutnya, sudah tentu orang akan
lebih mengutamakan makanan dan pakaian, ketimbang mengeluarkan uang
untuk membeli buku.
Sementara
itu, setiap kali saya pergi ke perpustakaan di Benvenue, saya selalu
menemukan banyak orang yang membaca buku atau koran atau majalah di
ruang baca. Orang muda – remaja dan anak-anak, biasanya lebih banyak
ditemukan di sore hari atau pada hari Sabtu, sementara orang-orang
setengah baya atau lanjut usia selalu ada di sana dan tidak mengenal
waktu. Maklumlah, banyak di antara mereka yang sudah pensiun, sehingga
membaca menjadi kegiatan utama mereka. Tanpa buku tampaknya hidup
mereka akan menjadi sepi sekali.
*
* *
Saya
jadi teringat akan sebuah percakapan singkat dengan seorang teman dari
Indonesia yang sedang belajar pada program doktoral di UC Berkeley.
Dia – seorang Islam – mengaku bahwa kecintaannya akan buku dan
pengetahuan muncul karena pengenalannya akan buku yang dipinjamnya
dari sebuah perpustakaan milik gereja di Bandung. “Di dekat rumah
kami ada sebuah gereja yang mempunyai perpustakaan, dan saya selalu
meminjam buku di sana,” katanya. Buku-buku yang dipinjamnya,
seingat dia, adalah buku-buku umum. Ia sangat bersyukur akan kehadiran
perpustakaan milik gereja di dekat rumahnya itu, yang telah merangsang
pemikirannya untuk menjadi seorang intelektual.
Pertanyaan
yang melintas di pikiran saya, apakah gereja itu telah gagal dengan
program perpustakaannya, karena tidak berhasil menjadikan teman saya
itu seorang Kristen? Boleh jadi banyak orang yang berpendapat
demikian. Namun di pihak lain saya membayangkan bahwa gereja itu telah
menjadi berkat bagi teman saya itu. Pertama, ia sungguh bersyukur akan
kehadiran perpustakaan gereja yang telah mengubah jalan hidupnya
hingga menjadi seorang intelektual. Ia tidak pernah melupakan bahwa
karena kehadiran perpustakaan gereja itulah, ia berkenalan dengan
dunia di luar lingkungannya yang sempit di kota Bandung. Kedua, seumur
hidup ia tidak akan pernah melupakan bahwa melalui orang-orang Kristen
di gereja itulah pikirannya menjadi terbuka. Ia telah merasakan berkat
yang telah disalurkan oleh gereja itu. Gereja itu telah menjadi garam
di dalam dirinya, yang mengubah jalan hidupnya secara radikal. Saya
pikir, tanpa sungguh-sungguh menyadari akan hal itu, gereja itu
sungguh-sungguh telah mewujudkan misinya kepada orang-orang lain di
sekitarnya. Inilah yang diharapkan oleh Yesus ketika Ia berkata bahwa
sebagai gereja, kita harus menjadi garam dan terang bagi dunia di
sekeliling kita.
Dalam
tahun ini atau tahun depan kemungkinan teman saya itu akan kembali ke
Indonesia dan melanjutkan pekerjaannya sebagai aktivis di sebuah
LSM. Namun ia bercita-cita untuk membuka perpustakaan di
lingkungannya.
Saya
jadi teringat akan perpustakaan di GKI Gading Indah yang sudah lama
kurang mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Paling tidak,
itulah yang terjadi selama saya berada di tengah-tengah jemaat GKI
Gading Indah. Pengalaman saya di Berkeley, dan pengalaman teman saya
yang memperoleh banyak berkat lewat perpustakaan gereja, mestinya menggugah
kita untuk lebih bersungguh-sungguh mengembangkan pelayanan lewat
perpustakaan. ***
|