
Minggu, 07/04/2002
Apa
Arti Paskah bagi Mereka?
Setelah
perayaan Paskah berlalu, Tim Warta sengaja menemui dua orang pemuda
GKI Gading Indah untuk menanyakan apa makna Paskah yang mereka
rasakan. Hasilnya ternyata menarik, karena boleh jadi sangat berbeda.
Michael
“Abo” Indra, misalnya, mengaku sempat berefleksi pada saat
perayaan kemarin. “Saya sempat berefleksi terhadap narasi dan lagu
yang dibawakan sepanjang acara, dan merasakan betapa besar kasih
Tuhan.” ujarnya. Lebih lanjut, bagi Michael, Paskah adalah moment
yang khusus, yang mampu mengingatkan dirinya akan kebaikan Tuhan yang
telah mengampuni dosa-dosanya.
Sementara
itu lain lagi bagi Yulias Wahyudi. Menurutnya, perayaan Paskah itu
sendiri tidak memiliki makna yang khusus. “Jujur saja, yang ada cuman
kesan. Tapi bukan makna. Kalau tidak dirayakan pasti tidak ada
apa-apanya,” tutur Yulias, yang biasa disapa Iyul ini.
Mengapa
bisa begitu? Sebab menurut pengakuannya, kehadiran dan penyertaan
Tuhan lebih ia rasakan secara konkret di dalam kehidupan sehari-hari.
“Misalnya, kalau gua lagi ada masalah,” ujarnya, “Dalam
pergumulan itu, gua bisa merasakan kekuatan dan penyertaan Tuhan. Tapi
perayaan Paskah, dan juga perayaan-perayaan yang lain, lebih sekedar
hari raya doang.”
Ternyata,
lain orang, lain juga maknanya. Padahal peristiwanya sama, dan acara
yang diikuti juga acara yang sama. Itulah yang disebut penghayatan dan
pemaknaan. Sangat pribadi, sangat subyektif.
Harus Dimaknakan
Sendiri
Bagaimana suatu
peristiwa itu bisa bermakna? Untuk mendapatkan jawabannya, Tim Warta
sengaja menghubungi TK. Esther Solichin.
Menurut
Tenaga Kategorial Komisi Anak GKI Gading Indah ini, suatau peristiwa
itu memang harus dimaknakan sendiri oleh kita. Paskah tak akan
mempunyai arti apabila kita tidak memberi makna kepadanya. “Hanya
dengan cara itu, Paskah yang berulang setiap tahun bisa terus-menerus
memberikan sesuatu yang baru,” jelasnya lagi.
Lebih
jauh, ia juga menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang selalu
belajar. Dan dalam proses belajar itu, selalu terdapat interaksi
antara teks dan konteks—antara pesan firman dan kehidupan nyata yang
dialami manusia. Karena kenyataan itu bersifat dinamis, maka pasti,
selalu, akan keluar hal-hal yang baru dari teks untuk menyikapinya.
Begitu penjelasan Ibu Esther Solicin secara panjang lebar.
Selain
itu, ia juga sangat setuju bahwa untuk bisa menghayati suatu peristiwa
dengan baik, identifikasi diri dengan peristiwa itu sangat perlu.
“Misalnya, kita perlu menghayati via dolorosa, supaya Paskah
menjadi bermakna,” katanya. “Jangan sampai kita hanya tahu
menangnya, tanpa ikut dalam proses menuju kemenangan itu.” (HAR)
|