
Minggu, 07/04/2002
Oleh: TK. Martin Hartono
Kuncinya
adalah Identifikasi
Apa
yang membuat suatu peristiwa bisa bermakna bagi satu orang, namun bagi
orang lain biasa saja? Paskah bagi sebagian orang bisa punya makna
yang sangat mendalam, sementara bagi sebagian yang lain, terasa hanya
sebagai “tradisi” (baca: kebiasaan) semata — tanpa makna
apa-apa.
Mungkin
jawabannya adalah identifikasi. Bagaimana kita menidentifikasi diri
dengan seluruh peristiwa salib dan kebangkitan, rasanya akan sangat
mempengaruhi penghayatan kita akan makna Paskah itu sendiri.
Alkisah
ada seorang bernama Chary Chowdurry. Untuk mendoakan orang-orang yang
menderita di sekitarnya, ia mempunyai cara yang unik. Setiap hari
selama lima belas menit, ia selalu menyisihkan waktu untuk memintal
benang dengan alat tenun yang sangat sederhana. Apakah ia mempunyai
industri tekstil? Tidak! Kalau begitu untuk apa ia melakukannya?
Dengan melakukan itu, Chowdurry — setidaknya selama lima belas menit
setiap hari — mau merasakan sendiri, betapa melelahkan dan
sengsaranya wanita-wanita India sebangsanya yang menenun seharian
untuk upah yang teramat sangat sedikit.
Menurut
Pdt. Dr. Eka Darmaputera dalam salah satu tulisannya, Solidaritas
Sosial, yang dibutuhkan oleh kita dalam rangka hidup beriman
adalah daya identifikasi. Seperti Chowdurry yang mengidentifikasi diri
terhadap penderitaan sesamanya dengan meluangkan lima belas menit
sehari duduk di depan mesin tenun, kitapun hanya bisa merasakan makna
Paskah apabila kita menidentifikasi diri dengan seluruh proses salib
dan kematian Kristus. Hanya dengan cara itulah, maka kegembiraan
Paskah dapat kita rasakan. Dan hanya dengan cara yang sama jugalah,
seluruh hidup kita bisa merasakan perubahan melalui peristiwa
kebangkitan itu.
Dalam
rangka upaya identifikasi itulah, sebenarnya, gereja selalu menjalani
masa pra-Paskah selama tujuh minggu berturut-turut. Bahkan menurut
Pdt. Rasid Rachman, MTh, ada tradisi di mana gereja selama dua hari
penuh, sejak Jumat Agung hingga Sabtu Sunyi, sengaja dibuat sunyi,
senyap,gelap, tanpa taplak, lilin, dan salib di atas altar. “Umat
bersama para rahib bermeditasi, berpuasa, dan berpantang bersama para
calon baptis,” jelasnya.
Karena
itu, masih menurut Pdt. Rasid, tidak ada sakramen Perjamuan Kudus di
hari Jumat Agung seperti yang kita lakukan saat ini. Sakramen
Perjamuan Kudus baru dilangsungkan pada saat Paskah, menyusul sakramen
Baptis Kudus yang dilangsungkan sesaat sebelumnya. Para anggota Baptis
langsung mengikuti Perjamuan Kudus setelah mereka menerima sakramen
Baptis Kudus — yang melambangkan hidup baru bersama Kristus yang
bangkit. Acara seperti itu, tentunya memiliki makna yang mendalam bagi
mereka yang menjalaninya. Sakramen Perjamuan Kudus pun menjadi lebih
bermakna setelah berpuasa dan berpantang selama dua hari penuh.
Identifikasi,
mungkin hal yang satu ini yang kurang dilakukan dalam kehidupan
bergereja di zaman modern ini. Kita (mungkin) terlalu ingin praktis,
gampang, dan serba mudah. Serta mereduksi segala sesuatunya hanya
menjadi urusan kognitif semata? (MHS)
|