
Minggu, 03/03/2002Mengenal
Lebih Dekat:
Sistem Presbiterial Sinodal
WARTA JEMAAT
- Banyak
orang bilang, bekerja di GKI itu lamban. Tidak efisien. Segala sesuatu
harus diomong dulu dalam rapat. Kapan pelaksanaannya?
Pada
satu sisi, hal itu memang ada benarnya. Namun pada sisi lain, hal itu
adalah akibat dari bentuk kepemimpinan bersama (kolektif) yang
merupakan salah satu ciri sistem presbiterial-sinodal—yang
dianut oleh GKI. Seluruh kehidupan bergereja, jadinya punya
sangkut-paut yang erat dengan sistem ini.
Nah,
apa itu sistem presbiterial-sinodal? Dari namanya saja kita sudah bisa
langsung tahu bahwa sistem ini merupakan gabungan antara sistem presbiterial
murni dan sinodal murni. Jadinya adalah presbiterial dan
sinodal yang tidak murni lagi. Tapi bagi GKI — khususnya, Sinode
Wilayah Jawa Barat — “perkawinan” itu dianggap yang paling pas.
Soalnya,
dalam sistem presbiterial murni, kekuasaan cenderung terpusat pada
para presbiter (penatua) di jemaat lokal/setempat. Sementara peran
sinode terkesan kurang mendapat tempat. Sebaliknya, pada sistem
sinodal murni pemusatan kekuasaan justru cenderung berada di tangan
sinode. Majelis Jemaat jadinya cenderung hanya sebagai perpanjangan
tangan sinode semata. Karena pertimbangan itulah, untuk mencapai suatu
kondisi yang tidak timpang, kedua sistem tersebut “dikawinkan”
menjadi presbiterial-sinodal.
Namun
begitu, penyebutan pesbiterial-sinodal juga mempunyai makna sendiri.
Mengapa bukan sinodal-presbiterial, misalnya? Hal itu didasarkan pada
kesadaran bahwa, walaupun telah diupayakan suatu kondisi yang relatif balance
antara jemaat setempat dan sinode, namun pusat kehidupan jemaat berada
di lingkup jemaat, bukan sinode.
Dalam
prakteknya, gereja-gereja yang menganut sistem presbiterial-sinodal
dipimpin oleh para presbiter (penatua) yang diangkat dari kalangan
anggota jemaat setempat. Para penatua ini memimpin jemaat dalam suatu board
yang disebut Majelis Jemaat, ditambah dengan pendeta/pengerja yang ada
di situ. Tapi para penatua juga bukan pengambil keputusan tertinggi.
Keputusan tertingi ada di tangan Persidangan Majelis Jemaat (PMJ).
Sengaja diatur demikian, agar kekuasaan tidak terpusat pada satu-dua
orang saja.
Gabungan
dari beberapa jemaat, dalam perkembangannya, membentuk suatu sinode.
Kata sinode sendiri berarti berjalan bersama (Yun.: Sunhodos. Sun:
bersama. Hodos: berjalan). Ada keterikatan tertentu di antara
jemaat-jemaat yang tergabung dalam satu sinode. Yang paling jelas
adalah keterikatan pemahaman ajaran dan pengaturan gereja yang sama.
Lebih
lanjut, ketika jumlah jemaat dalam satu sinode itu menjadi semakin
banyak, dibentuklah klasis-klasis, yang melingkupi wilayah tertentu,
sebagai penyelia antara jemaat dan sinode. Pada prinsipnya, Majelis
Jemaat adalah juga Majelis Klasis dan Majelis Sinode. Pengambilan
keputusan tertinggi untuk masing-masing lingkup adalah Persidangan
Majelis Klasis (PMK) dan Persidangan Majelis Sinode (PMS). Karena
ketiga sinode GKI (Jabar, Jateng, Jatim) bergabung menjadi satu sinode
GKI yang utuh, maka masing-masing Sinode berganti nama menjadi Sinode
Wilayah. Sedangkan lingkup sinodenya “naik pangkat” meliputi
seluruh Sinode Wilayah.
Itulah
kepemimpin kolektif presbiterial-sinodal, yang pada satu sisi mencegah
pemusatan kekuasaan pada satu orang, namun pada sisi lain jadi bikin
banyak rapat. Memang ada plus dan ada minus-nya. (Tim
Warta)
|