
Minggu, 24/02/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.
Pendidikan
Dasar
(6)
Swasta vs. Negeri
Beberapa
blok dari Pacific School of Religion terdapat Sekolah Dasar dan
Sekolah Menengah Pertama Montessory. Saya tidak tahu pasti apakah nama
“Montessory” itu sudah dipatenkan, yang pasti saya pernah melihat
nama ini juga digunakan oleh sebuah sekolah di bilangan Cipinang
Muara.
Sekolah
“Montessory” di Berkeley ini adalah sekolah swasta, dan karena itu
siswanya harus membayar uang sekolah, tidak seperti sekolah-sekolah
pemerintah yang gratis. Entah apa kelebihan sekolah “Montessory”
yang ada di Berkeley ini, namun saya dengar dari teman saya yang
anaknya bersekolah di situ, uang sekolahnya per bulan sekitar $1.000.
Wah, ini tentu jumlah yang luar biasa besarnya, mengingat upah kerja
per jam hanyalah sekitar $8.00. Ini berarti orang harus bekerja 125
jam per bulan untuk bisa menyekolahkan anak di sekolah seperti itu.
Kalau
1 minggu orang bekerja hanya 5 hari atau 40 jam, maka sisa upah yang
diperoleh $280. Dengan uang sewa apartemen 1 kamar yang rata-rata
$400, jelas pendidikan swasta sungguh di luar jangkauan kebanyakan
orang Amerika. Kecuali kalau mereka benar-benar beruang (punya uang,
bukan menjadi binatang yang bernama “beruang”), barulah mereka
mampu menyekolahkan anaknya di sekolah swasta. Untunglah sekolah
negeri cukup banyak jumlahnya, dan jumlah siswa yang belajar di kelas
pun biasanya tidak begitu banyak – sekitar 18-22 orang saja.
Keadaan
ini sungguh berbeda dengan di Indonesia. Tidak banyak orangtua yang
memasukkan anaknya ke sekolah negeri, karena mutu pendidikan di
sekolah swasta seringkali lebih baik daripada sekolah negeri. Mereka
yang masuk ke sekolah negeri pun umumnya memilih-milih di antara
segelintir yang memang sudah terkenal baik mutunya. Lain dari itu,
juga ada keyakinan di kalangan sebagian orang bahwa lulusan sekolah
negeri (SMU khususnya), lebih mudah untuk masuk ke perguruan tinggi
negeri. Entah betul, entah salah pendapat ini, saya tidak tahu dengan
pasti. Mungkin kita bisa mengadakan pertemuan dan mendiskusikan
masalah ini lebih jauh.
Beberapa
waktu yang lalu saya menyebutkan tentang berbagai fasilitas yang
disediakan oleh sekolah-sekolah negeri di sini. Semua itu sudah tentu
membutuhkan dukungan keuangan yang besar dari pemerintah. Namun dalam
pemerintahan sekarang ini, yang kelihatannya lebih tertarik untuk
membangun mesin perang daripada mengembangkan kecerdasan masyarakatnya
(mungkin karena presidennya juga cuma mendapat nilai rata-rata C),
pendidikan di California khususnya dan di seluruh Amerika pada umumnya
sedang mengalami ancaman pengurangan anggaran.
Dalam
Pertemuan Orangtua Murid minggu lalu, kepala sekolah John Muir
membagikan keprihatinannya dengan pengurangan anggaran tersebut.
“Sebagian guru sudah memutuskan untuk pindah. Ada kemungkinan juga
tugas kepala sekolah akan ditambah hingga menangani dua sekolah
sekaligus,” katanya. Bagi saya, hal ini tentu membingungkan. Saya
tidak tahu, bagaimana hal itu bisa dilakukan. “Beberapa program sore
(After school programme) juga akan dikurangi,” tambah Nancy Waters,
kepala sekolah itu. Yang belakangan ini tentu menjadi keprihatinan
besar keluarga yang ditopang oleh suami-istri yang bekerja. Selama ini
program sore itu menolong mereka, karena dengan demikian mereka tidak
perlu khawatir dengan keberadaan anak-anak mereka yang sudah pulang
sekolah pk. 15.00, sementara mungkin mereka baru tiba di rumah pk.
18.00 atau malah lebih larut lagi.
Kendati
demikian, sekolah juga masih mempunyai dana dan sumber dukungan untuk
program-program lainnya. Contoh: setiap akhir tahun, kelas terakhir
akan menerbitkan sebuah buku peringatan. Salah satu orangtua murid
kebetulan adalah manajer toko fotokopi “Kinko” – sebuah chainstore
yang cukup besar di AS. Nah, menurut rencana, penerbitan buku itu
akan disponsori oleh sang manajer itu, sehingga biayanya bisa sedikit
ditekan.
Motivasi
lain yang menyebabkan orangtua murid di Indonesia memasukkan anaknya
ke sekolah swasta, ialah pertimbangan karena disiplin di sekolah
swasta seringkali lebih baik. Hal ini mengingatkan saya akan upaya
pendidikan disiplin di sekolah negeri di daerah Berkeley ini. Kata
“disiplin” seringkali mengingatkan kita akan hukuman dan sikap
tegas sekolah terhadap murid yang dianggap bandel, nakal, atau yang
berperilaku menyimpang lainnya. Apa yang saya temukan di sini justru
agak berbeda. Guru tidak terlalu menekankan tindakan terhadap perilaku
yang negatif, melainkan lebih pada penghargaan kepada perilaku yang
positif. Murid-murid di kelas Gita, misalnya, akan mendapatkan sehelai
kertas yang memuat berjenis-jenis perlaku positif dengan tulisan “I
am appreciated” di tengahnya. “Saya dihargai” untuk perilaku
positif yang digambarkan di kertas itu, misalnya: menolong orang lain,
bertenggang rasa, membuang sampah pada tempatnya, menjaga ketenangan
kelas, dll. Setelah mengumpulkan lima helai kertas seperti itu, guru
akan memberikan hadiah tertentu kepada murid tersebut.
Di
sini sekali lagi saya melihat perbedaan yang besar dengan situasi di
Indonesia. Kita lebih cenderung memperhatikan tindakan-tindakan yang
negatif, sementara tindakan positif tidak mendapatkan penghargaan
apa-apa. Akibatnya, murid yang ingin mencari perhatian dari orang lain
cenderung bertindak negatif. Sementara di AS murid justru didorong
untuk bertindak positif agar mereka mendapatkan perhatian dari teman
dan gurunya. ***
|