
Selasa, 05/02/2002
Oleh: Pdt. Ioanes Rakhmat, MTh.
Konflik
Interpretasi Kitab Suci Kristen
Sebagian umat Kristen memandang Kitab
Suci mereka, Alkitab, sebagai kitab yang langsung diturunkan dari
surga, wahyu ilahi yang kekal. Pandangan ini disebut teori mantik;
dianut oleh kekristenan fundamentalis literalis. Variasi-variasi minor
atas pandangan ini dirangkul oleh kekristenan konservatif yang
menyebut diri sebagai kekristenan injili.
Menurut pandangan mantis, apa pun yang
literal tertulis diturunkan secara mekanis dari Allah kepada si
penerima yang tidak punya kewenangan mengutak-atik wahyu itu. Dus,
semua yang sudah tertulis dalam Kitab Suci tidak bisa salah, tidak
bisa meleset, tidak bisa menyesatkan sebagai Kebenaran menyeluruh dari
Allah sebagai sang "Arsitek Agung." Kebenaran ini berlaku
abadi untuk segala bidang kehidupan di segala tempat-kebenaran Ilahi
mutlak yang meliputi sejarah, sains, iman, moralitas, yang semuanya
tercatat pada teks suci.
Pandangan literalistik menjadi model
baku dalam kalangan Kristen fundamentalis injili. Dengan model ini,
oleh mereka Alkitab diklaim dapat dengan mudah dan benar dipahami.
"Allah tidak memberi Kitab Suci untuk susah-susah dipahami",
itu kata mereka. Jelas ini adalah suatu penyederhanaan persoalan yang
sebenarnya rumit.
Setiap model memang dirancang untuk
dapat memudahkan orang memahami realitas, termasuk juga dalam
menafsirkan teks sebagai bagian dari realitas. Tetapi,
"memudahkan orang memahami realitas" tidak sama dengan
"menyederhanakan realitas itu sendiri". Kesalahan
epistemologis menyamakan keduanya semacam inilah yang menjadi utang
besar model literalistik. Utang ini bertambah berat lagi, ketika model
literalistik telah diideologisasi, menjadi sebuah doktrin pokok
tentang Kitab Suci. Doktrin ini menjadi sebuah tradisi doktrinal suci
mengenai Kitab Suci yang mengendalikan setiap jengkal usaha memahami
teks Kitab Suci di kalangan Kristen literalis.
"Back to the Bible"
Fundamentalisme Protestan dan
doktrin religiusnya tentang Kitab Suci muncul pada awal abad ke-20 di
USA sebagai reaksi atas modernisme pemikiran Kristen yang sudah
berlangsung sejak dua abad sebelumnya di Eropa. Modernisme adalah buah
kandung semangat pencerahan, di Eropa abad 18. Ketika lahir,
fundamentalisme Prostestan mengafirmasi kembali apa yang mereka sebut
sebagai "fundamen-fundamen injili" dari iman Kristen yang
telah berkembang dalam sejarah yang panjang. Fundamen-fundamen ini
sebetulnya dirumuskan dari model pemahaman literalistik terhadap Kitab
Suci. Ketika diperhadapkan dengan penafsiran dengan model kritis,
fundamen-fundamen injili itu pun berguguran.
Untuk melawan modernisme, kekristenan
fundamentalis literalistik menekankan dengan sangat kuat bahwa setiap
orang Kristen harus "kembali ke Alkitab". Tetapi,
sebenarnya, seruan ini pada dasarnya adalah seruan untuk "kembali
ke doktrin pokok" mereka tentang apa itu Alkitab. Dus, bukan
Alkitabnya yang diutamakan, tetapi doktrin religius mereka tentang
Alkitab itu dan, serentak dengan itu, dogma-dogma kekristenan
konservatif mereka.
Tentu saja, pendekatan modern juga
memakai model tertentu. Setiap usaha memahami teks, selalu hanya bisa
dilakukan dengan sebuah model, diakui ataupun tidak. Selalu ada
"kaca mata", ada presuppositional standpoints,
pandangan-pandangan yang dipegang sebelumnya,
"prapaham-prapaham", yang akan berpengaruh besar pada setiap
usaha memahami sebuah teks. Prapaham-prapaham dimasukkan ke dalam
dirinya oleh masyarakat dan pengalamannya; dan ini membentuk visi dan
persepsi si penafsir tentang bagaimana dunia ini telah dan seharusnya
ditata; dan juga membuatnya mengembangkan kesan dan
penilaian-penilaian tertentu atas teks-teks suci.
Teks sebagai "obyek", dan si
penafsir sebagai "subyek", akan selalu berinteraksi ketika
suatu pemahaman atas teks itu mau dihasilkan. Karena akan selalu ada
segi subyektifnya, maka pemahaman itu sebenarnya penafsiran. Model
kritis sendiri muncul tidak value-free, melainkan suatu produk
intelektual yang dilahirkan dari rahim pandangan-pandangan dunia
Aufklaerung. Begitu juga, model literalistik muncul dari rahim ibu
yang sama, sebagai anak kandung dengan postur tubuh dan isi jiwa yang
kontras dengan anak kandung model kritis.
Ada konflik mendalam antara kedua model
itu. Model kritis ingin bekerja dengan seimbang, balanced, even,
antara obyek dan subyek, untuk melahirkan suatu pemahaman atas teks
yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebaliknya, model literalistik berat
sebelah dengan hanya menekankan segi subyek si penafsir yang mutlak
menentukan apa maksud teks, dengan mengabaikan sama sekali maksud teks
menurut si penulis teks kuno itu sendiri.
Subyektivitas si penafsir literalistik,
yakni kepentingannya untuk membela mati-matian dogma-dogma ortodoksnya
dan dogma sucinya tentang Alkitab, kapan pun dan di mana pun,
menentukan apa yang harus teks sebagai obyek katakan. Kita dapat
menyebutnya, ia melakukan eisegese, yakni membawa masuk pikiran atau
dogma atau ideologinya sendiri ke dalam teks lalu menariknya kembali
ke luar dan mengkleimnya sebagai maksud teks itu sendiri.
Eisegese dan exegese
Orang sering menuding bahwa kaum
fundamentalis itu tidak rasional. Kenyataannya tak demikian. Eisegese
kalangan literalistik ini sangat rasional. Mereka mengembangkan suatu
sistem pemikiran rasionalistik sendiri untuk membentengi dogma-dogma
konservatif mereka yang ditumpukan pada teks-teks suci yang
disusun-susun dan ditafsir dengan sangat sistematik dan rasionalistik
sedemikian rupa, sehingga semua teks suci tampak mendukung dogma-dogma
mereka itu. Praktik eisegetis rasionalistik semacam ini menempatkan
kalangan literalistik juga sebagai anak kandung rasionalisme
Aufklaerung.
Sebaliknya, yang diupayakan oleh model
kritis adalah menarik maksud teks ke luar, menemukan apa yang ingin
disampaikan teks sendiri, dengan tidak membiarkan presuppositions
si penafsir menentukan dengan absolut maksud teks. Proses ini,
dinamakan exegese. Ini adalah suatu proses yang rumit. Ia memerlukan
kemampuan analisis ilmiah yang tajam, sikap kritis pada diri sendiri,
dan sekaligus melibatkan seni menafsir, the art of interpretation.
Dengan exegese, si penafsir kritis
berusaha semaksimal mungkin untuk menempatkan teks sebagai
"obyek" dan dirinya sebagai "subyek" dalam suatu
dialektika yang seimbang. Ini memang bisa jadi hanya sebagai ideal;
tetapi bagaimana pun juga keseimbangan ini harus dipertahankan.
Dialektika ini membuka kemungkinan luas untuk subyektivitas dirinya, presuppositions
atau "dogma-dogma"-nya, diubah oleh teks sendiri; atau
sebaliknya, ia bisa mempertanyakan relevansi teks-teks kuno itu
sendiri untuk zamannya sendiri.
Kesimbangan antara obyek teks dan
subyek si penafsir hanya bisa diperoleh jika ia memakai metode
penafsiran yang dapat dipertanggungjawabkan. Bayangkanlah seorang
penafsir Kristen yang hidup dalam dunia modern yang multikultural,
multireligius, dan saintifik. Ia mencermati bahwa klaim-klaim Kristen
tradisional tentang "superiorisme" dan
"triumfalisme" kekristenan sudah semakin kehilangan
relevansinya dalam dunia semacam itu. Lebih-lebih lagi, klaim-klaim
semacam itu telah terbukti tidak memberikan sumbangan positif dalam
usaha-usaha membangun kehidupan bersama yang toleran dalam masyarakat
majemuk. Selain itu, klaim-klaim semacam itu telah membuat komunitas
Kristen makin menjadi eksklusif. Ini membuat mereka makin tidak bisa
berperan positif, kecuali jika mereka cukup berpuas diri sebagai
sub-sub kultur saja yang teralienasi dari kultur global.
Sementara itu, perkembangan sains yang
berdampak intensif dan ekstensif, positif maupun negatif, pada semua
kehidupan manusia memaksanya melihat bahwa klaim-klaim Alkitab tentang
hal-hal yang bisa dikaitkan dengan sains makin tidak relevan lagi.
Alkitab sudah bukan sebuah "Kitab-serba-tahu" lagi, tetapi
sebuah Kitab Suci "dari atas" yang tidak tahu-menahu tentang
banyak hal yang telah dan sedang berlangsung dalam dunia ini "di
bawah sini".
Diterima olehnya sebagai fakta yang
tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa Kitab Suci bukanlah kitab
sejarah. Bukan juga kitab sains. Sekalipun juga bukan kitab dongeng,
meskipun tentu saja berisi banyak kisah dongeng yang dipakai sebagai literary
device untuk menyampaikan pesan-pesan moral religius. Kitab Suci
itu Kitab Suci-sebuah kitab keagamaan dengan wilayah otoritatif yang
bisa menyempit di dalam dunia modern jika dipahami literalistik.
Subyek dan obyek
Life-setting modern semacam
ini telah memberi masukan konseptual pada si penafsir. Masukan ini
menjadi bagian dari prapaham yang dipegangnya. Inilah segi subyektif
yang akan pasti berperan dalam setiap proses penafsiran, proses
hermeneutis, terhadap Kitab Suci sebagai obyek. Prapaham
sosio-kultural yang diberikan dunia modern membuatnya tidak bisa lagi
mempertahankan pengertian-pengertian lama atas teks-teks Kitab Suci,
khususnya atas teks-teks yang ketika dipahami harfiah justru
berbenturan dengan kehidupan dunia modern, dan dengan modern
worldview yang telah melahirkan sains modern.
Kalau pendekatan literalistik ini tetap
dijalankannya, maka yang akan dihasilkan bukan lagi kebaikan, tetapi
bencana sosial yang bisa ditimbulkan oleh kiprah-kiprah keimanan
komunitas Kristen yang diklaim diilhami oleh amanat-amanat Kitab Suci
yang ditafsirkan literalistik. Atau, ketika literalisme ini dipaksakan
diterima, maka orang harus menolak sains modern dan merangkul
pandangan kuno zaman Kitab Suci yang diklaim (dengan sangat keliru!)
sebagai pandangan ilmiah (padahal sebenarnya bukan sama sekali!).
Kesesatan dan kebinasaan budaya dan peradaban selalu membayangi setiap
literalist, seperti bayang-bayang gelap dari malam-malam tanpa
rembulan.
Prapaham-prapaham subyektif ini
membawanya pada pertanyaan mengenai motivasi yang ada dalam diri para
penulis teks suci kuno itu. Misalnya, apakah gambaran Kitab Suci
tentang penciptaan langit dan bumi selama 6 x 24 jam itu suatu
perspektif sains ataukah suatu kredo religius, syahadat, tentang
kedaulatan Allah atas semua segi kehidupan? Mengapa si penulis
mengetengahkan sebuah pandangan yang sangat radikal, eksklusif, dan
mau benar sendiri? Apakah memang Yesus sendiri berpandangan demikian
eksklusif dan triumfalistik? Ataukah, si penulis meminjam mulut Yesus
untuk ia menyampaikan propaganda-propagandanya? Sekian pertanyaan lain
bisa diajukan.
Pendek kata, pertanyaan-pertanyaan yang
bermunculan mendorongnya tiba pada suatu keputusan untuk memakai suatu
model lain, sebagai ganti model literalistik. Prapaham-prapaham
sosial-kultural dari zamannya ini menjadi landasan-landasan logis
rasional mengapa ia mengambil model lain dan memakai metode yang
berbeda.
Model yang tepat, metode penafsiran
yang jitu, akan membawa si penafsir makin dekat pada dunia obyektif
teks Kitab Suci, pada si penulis teks suci di zamannya, dan dengan
demikian ia bisa memahami mengapa si penulis kuno itu telah menulis
pesan atau amanat semacam itu. Sekaligus ia bisa menilai tingkat
relevansi dan kegunaan teks kuno itu untuk zamannya sendiri sekarang
di dunia modern. Ia dan komunitasnya bisa diubah oleh teks. Tetapi, ia
bisa juga menyatakan bahwa teks itu sudah tidak relevan lagi, atau
harus dipahami-kembali dari sudut pandang baru.
Inilah keseimbangan antara subyek dan
obyek yang ingin dipertahankan dalam pendekatan modern atas teks-teks
Kitab Suci. Metode tafsir yang dapat diandalkan adalah metode yang
melahirkan suatu pemahaman atas teks sebagai hasil interaksi kreatif
subyek dan obyek. Proses ini rumit. Pendekatan literalistik tidak mau
tahu dengan kerumitan hermeneutis semacam ini, karena bagi para
penganutnya, "Percaya saja sudah cukup!". Padahal,
"percaya saja" itu sering menjadi masalah besar bagi
kehidupan beriman, yang memerosotkan kemanusiaan manusia beriman itu
sendiri sampai menjadi manusia tidak berakal-budi lagi.
Diakronik dan sinkronik
Perspektif historis yang menjadi
salah satu ciri kuat pendekatan rasional modern terhadap realitas,
masuk juga ke dalam studi-studi terhadap Kitab Suci. Pada awal
studi-studi modern atas Kitab Suci, perspektif kesejarahan ini, di
samping banyak faktor lain, telah menimbulkan banyak pertanyaan kritis
terhadap sifat kesejarahan Kitab Suci yang sebelumnya tak pernah
dipersoalkan.
Dampak pendekatan historis terhadap
Kitab Suci ini memang sangat menakutkan bagi kalangan Kristen
litertalistik fundamentalis, sehingga mereka bereaksi balik dengan
menekankan "inerrancy" ("ketidaksalahan") Alkitab
dalam segala hal, khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan
sejarah di dalamnya. Sejarah memang selalu menakutkan bagi setiap
skripturalis literalis fundamentalis. Mereka ingin menolak sejarah,
yang sama artinya dengan menolak kehidupan, menolak hari kelahiran di
masa lalu, dan menolak kehidupan nyata di masa kini.
Dengan pendekatan kritis historis, teks
suci memainkan fungsi sebagai sebuah "jendela" yang
melaluinya si penafsir melongok jauh ke belakang, ke dunia zaman si
penulis teks kuno, dunia di balik teks. Pendekatan ini disebut
pendekatan "diakronik"-seolah-olah si penafsir masa kini
"melintasi waktu", masuk ke dunia dan zaman kuno, zaman di
mana teks suci ditulis, dan "bertemu langsung" dengan si
penulisnya.
Ketika usaha-usaha penelitian historis
kritis ini dilakukan, dan teks-teks suci didekati dengan lebih teliti
lagi, ditemukanlah pelbagai fenomena tekstual literer yang
memperlihatkan bahwa suatu teks itu mempunyai sejarahnya juga, sejarah
transmisinya, mulai dari awalnya sampai pada kondisinya sekarang di
dalam kanon Kitab Suci. Kanon adalah kumpulan tulisan yang dinyatakan
sebagai "ukuran", norma, yang berwibawa bagi kehidupan iman
komunitas yang memegangnya.
Suatu teks suci kanonik merupakan
produk akhir dari suatu proses panjang penyuntingan, peredaksian,
penambahan, perluasan, bahkan penyusutan, dan pendistorsian, atas
bahan-bahan yang berasal dari generasi-generasi terdahulu.
Tradisi-tradisi sebelumnya bisa diserap sehingga melahirkan tradisi
gabungan yang lebih luas; atau bisa juga disingkirkan dari gabungan
tradisi lainnya sehingga yang terjadi di sini adalah penyusutan.
Ketika penurunalihan, penerusan,
penyebaran, tradisi-tradisi dalam Kitab Suci dirunut ke belakang, maka
pendekatan diakronik bisa membawa si peneliti kepada "bentuk
tertua" dari suatu teks suci sebelum mengambil bentuk kanoniknya.
Bentuk tertua, atau tradisi "paling dini" ini, bisa suatu
tradisi tulisan, bisa juga lisan. Melalui analisis kritis sastra,
dapat juga diperlihatkan bahwa sebuah teks kanonik bisa berupa bentuk
gabungan tradisi lisan dan tulisan. Ucapan-ucapan Yesus dalam
Injil-injil Perjanjian Baru, misalnya, bisa dianalisis diakronik ke
belakang, sampai pada tradisi paling awalnya yang "struktur
asali"-nya berasal dari Yesus sendiri yang menyampaikan semua
ajarannya dengan lisan berulang-ulang. Yesus itu seorang oral
parabler!
Selain diakronik, diterapkan juga
pendekatan sinkronik (bersamaan waktu). Di sini, teks Kitab Suci tidak
diperlakukan sebagai sebuah jendela, melainkan sebagai sebuah
"cermin" yang menampilkan gagasan atau gambaran-gambaran
umum lainnya yang ada di dunia sekitarnya pada zaman teks suci itu
ditulis. Pada cermin kita tidak melihat apa yang ada di baliknya,
melainkan segala hal yang ada di sekitarnya.
Ketika sastra-sastra sezaman dari
kawasan-kawasan sekitar tempat munculnya Kitab Suci ditemukan dan
diperhatikan, dijumpai banyak tulisan yang sejajar dengan yang dapat
dibaca dalam Kitab Suci. Ini menimbulkan pertanyaan di sekitar
hubungan yang mungkin terjadi antara bagian-bagian Kitab Suci dan
tulisan-tulisan lain yang paralel itu. Apakah tulisan-tulisan lain
yang sezaman itu telah dipakai sebagai sumber-sumber penulisan Kitab
Suci? Kalau iya, apakah ada petunjuk pada kedua teks yang
dibandingkan? Apakah isi berita Kitab Suci akan makin dapat dimengerti
ketika dibaca dengan latarbelakang teks-teks paralel itu? Ataukah
adanya tulisan-tulisan lain yang paralel itu menunjukkan bahwa
gagasan-gagasan keagamaan yang disampaikan Kitab Suci itu bukanlah
gagasan-gagasan yang unik, melainkan gagasan-gagasan yang umum dikenal
pada zaman Kitab Suci ditulis?
Tentu saja kalangan literalis tidak
akan pernah mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ketika
pertanyaan yang terakhir di atas dapat dibuktikan dengan meyakinkan,
maka klaim orang atas keunikan berita Kitab Sucinya pun rontok; dan
penemuan ini sering sangat tidak menyenangkan kalangan konservatif
fundamentalis yang selalu ingin mengabsolutkan supremasi Kitab Suci
mereka.
Interaksi antara "subyek" (si
penafsir dan semua prapahamnya) dan "obyek" (Kitab Suci yang
mau dipahami) yang berlangsung dalam dunia modern telah menghasilkan
model historis kritis. Model ini, ketika dipakai dan dikembangkan,
melibatkan banyak disiplin ilmu. Di antaranya, studi bahasa-bahasa
kuno (Ibrani kuno, Yunani koine, Aram, tulisan hieroglif, bahasa
Koptik Mesir, Arab, Latin); linguistik, kritik sastra sekuler dan
semiotik; studi-studi antropologis tentang "orality and
literacy"; sejarah ekonomi dan politik; arkeologi dengan
situs-situs galian di kawasan-kawasan Palestina/Israel dan di Mesir;
ilmu agama-agama, dan lain-lain.
Didorong motivasi untuk makin bisa
menyelami dinamika sosio-kultural dan antropologis dunia zaman Kitab
Suci ditulis, dikembangkanlah pendekatan yang dinamakan social
scientific criticism. Pendekatan ini memakai model-model yang
telah dikembangkan banyak antropolog dan sosiolog serta pemikir
kebudayaan ternama. Ketika teks suci dianalisis dengan model-model
ilmu sosial, maka makin terkuaklah bahwa semua wahyu yang tertulis
dalam Kitab Suci itu socially and historically conditioned.
Relevansi dan kekuatan normatifnya selalu terbuka untuk dipertanyakan
kembali. Inilah juga yang sangat menakutkan bagi kalangan literalis
skripturalis yang meyakini bahwa "blueprint" seluruh
sejarah dan masa depan dunia sudah ditetapkan sekali untuk selamanya
di sorga.
Kritik Alkitab
Kajian modern atas Alkitab, dikenal
sebagai biblical criticism, sering juga disebut Kritik Alkitab.
Sebutan ini telah menimbulkan konotasi negatif di pandangan kaum
Kristen konservatif literalis. Mereka berkomentar: "Firman Tuhan,
kok,dikritik-kritik segala! Angkuh amat!" Tetapi, sebetulnya, biblical
criticism sama sekali tidak bertujuan menempatkan si penafsir di
atas firman Allah, apalagi bersikap angkuh pada firman Allah atau
bahkan (ini absurd!) pada Allah sendiri. Seperti model
literalistik, model kritis juga memusatkan perhatian pada teks suci,
dan sangat menghormatinya.
Oleh karena bertujuan memahami teks
sebagaimana si penulis teks maksudkan, model kritis mengembangkan
sekian disiplin kritik Alkitab untuk dapat memahami teks dengan
landasan-landasan pertimbangan yang teliti, melibatkan banyak segi,
dan menghasilkan kesimpulan yang dapat diandalkan. "Sound,
considerate and balanced judgment"-segi-segi ketelitian
inilah yang terkandung dalam kata criticism yang dipakai dalam
terminologi biblical criticism. Dengan pendekatan kritis
semacam ini, amanat teks dapat didengar dengan jauh lebih bertanggung
jawab daripada yang dilakukan para literalis yang sebenarnya tidak
pernah mendengarkan apa yang ingin teks sampaikan.
Kontras dengan praktik di kalangan
Kristen literalis fundamentalis, pendekatan modern tidak melepaskan
teks dari konteks sejarah yang melahirkan teks, yang membentuk, dan
sekaligus dilahirkan dari, suatu sistem sosial dan sistem nilai
tertentu. Konteks sastra juga dilihat, yakni posisi suatu bagian teks
di dalam keseluruhan dokumen yang memuatnya, kaitan-kaitannya dengan
bagian-bagian yang mengawali dan yang menyusulnya. Tak lupa adalah
maksud si penulis teks sendiri (meskipun si penulisnya sudah mati!).
Maksud si penulis teks kuno (meskipun si penulis sudah mati) baru
dapat diketahui dengan benar kalau konteks sejarah dan konteks sastra
suatu teks yang mau dipahami itu diperhitungkan dengan sungguh-sungguh
dan memegang kendali atas setiap usaha penafsiran teks.
Kebutuhan mengetahui konteks sejarah si
penulis teks melahirkan historical criticism. Ini melibatkan
sekian disiplin ilmu lain seperti telah disebut di atas. Masuk ke
dalam sistem sosial dan sistem nilai dunia Kitab Suci sangat penting
sebab setiap meaning dari teks suci itu lahir dari dalam suatu
sistem sosial, bukan dari dalam surga.
Suatu teks kanonik itu adalah suatu
produk akhir dari proses penerusan atau transmisi tradisi-tradisi
sebelumnya, lisan maupun tulisan. Tradition criticism
menelusuri tradisi-tradisi pra-kanonik, untuk sebisa mungkin sampai
pada tradisi paling awal. Untuk merekonstruksi Yesus sejarah,
pendekatan ini sangat penting.
Terkait dengan kritik tradisi adalah form
criticism, kritik bentuk, yang bertujuan untuk menemukan life-setting,
tempatnya-dalam-konteks-kehidupan, dari pelbagai bentuk tradisi yang
ditemukan dalam unit-unit tulisan-tulisan Kitab Suci sebelum
mendapatkan bentuk kanoniknya. Ini penting untuk mendapatkan gambaran
lebih lengkap lagi mengenai kehidupan beriman umat zaman dulu yang
telah menghasilkan Kitab Suci (sekalipun Kitab Suci itu diyakini
datang dari sorga seperti oleh kalangan Kristen literalis).
Dengan source/documentary criticism,
kritik sumber, si peneliti menelusuri ke sumber-sumber sastra yang
telah dipakai si penulis teks kanonik. Sambil memperhatikan segi-segi
apa saja sudah berubah pada teks sumber dalam teks kanonik, si
peneliti bisa mengetahui peran kreatif yang telah dimainkan si penulis
teks kanonik. Dengan sumber-sumber diketahui, penafsiran atas teks
dengan sendirinya sangat terbantu.
Redaction criticism mengfokuskan
diri pada penyuntingan (perluasan, penyusutan, atau perubahan) yang
telah dilakukan si penulis kanonik atas sumber-sumber yang dipakainya.
Peredaksian yang dilakukan menunjukkan teologi atau ideologi si
penulis teks kanonik itu sendiri.
Literary criticism mencari dan
mempelajari jenis-jenis sastra yang paralel dengan jenis sastra teks
kanonik, yang juga dipakai di kawasan-kawasan yang mengitari dunia
para penulis Kitab Suci. Dengan mengambil banyak contoh jenis sastra
yang paralel dengan jenis sastra skriptural yang mau ditafsirkan, si
peneliti akan dibantu untuk dapat memahami karakteristik sastra yang
sedang diteliti. Literary environment dari sebuah teks suci
berguna memahami teks suci itu sendiri.
Sintesis atas semua hasil yang
diperoleh melalui sekian analisis kritis di atas harus dilakukan,
untuk membantu memahami teks kanonik. Ini dilakukan oleh textual
criticism yang memperhatikan antara lain pelbagai segi
kebahasaan/linguistik dan text variants yang tersedia (yang
dicatat dalam critical apparatus yang disediakan dalam semua
edisi kritis Kitab Suci). Konteks sastra dari teks yang mau dipahami
diperhatikan dengan seksama, sebab menentukan maksud teks.
Masih ada beberapa pendekatan lagi,
misalnya "strukturalisme", reader-response criticism,
dan rhetorical criticism yang memakai pendekatan sinkronik;
atau yang juga memadukan pendekatan diakronik ke dalamnya seperti pada
socio-rhetorical criticism.
Penutup
Kalangan literalis hanya melihat
Allah yang imun dari kesalahan di dalam Alkitab. Mereka tidak bisa
melihat foto-foto manusia di dalamnya. Kalangan kritis melihat manusia
dan dunia di dalam Alkitab sedang berdialog dengan Allah, satu sama
lain bisa salah memahami teman dialog. Kalangan kritis juga melihat
Allah telah meninggalkan foto-fotonya di situ. Ada foto yang terang
ada juga foto yang kabur.
Dengan menempatkan usaha penafsiran
Kitab Suci sebagai usaha bertanya-jawab dan berdebat dengan Allah, dan
sebagai usaha permainan mencari-cari dan memilah-memilah foto-foto
manusia dan foto-foto Allah, maka kehidupan beragama dan beriman
menjadi suatu kehidupan yang rileks dan menyenangkan, jauh dari hawa
panas mematikan. ***
Ioanes Rakhmat Pendeta GKI
Kepa Duri dan dosen di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, kini sedang
studi doktor dengan bidang pengkajian "Yesus sejarah" di
Belanda. |