
Minggu, 27/01/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.
Pendidikan
Dasar
(3)
Open House di Willard Elementary
School
Tanggal 9
Januari lalu kami mendapatkan undangan untuk menghadiri acara “Open
House” Willard Middle School. Ini berkaitan dengan rencana
perpindahan Gita ke Middle School bulan Agustus mendatang, setelah
selesai dengan kelas 5 di John Muir Elementary School. Acara itu
diselenggarakan di empat Middle School yang berada di distrik kami.
Jadi selain acara tgl. 9 itu, masih ada acara serupa pada
minggu-minggu berikutnya di sekolah-sekolah yang lain. Kami tidak
menghadiri acara-acara yang lain, karena pilihan atas Willard
tampaknya sudah mantap. Lagi pula, sekolah-sekolah lain agak jauh
letaknya dari rumah kami, sedangkan Willard dapat ditempuh dengan lima
menit berjalan kaki.
Acara “Open House” dibuka dengan kata pengantar oleh
Kepala Sekolah, yang kemudian dilanjutkan dengan perkenalan dan
sambutan dari Presiden Student Council, seorang siswa kelas 8,
dan sambutan dari Ketua Kelas 6. Sang Presiden memberikan sambutan
cukup panjang lebar, namun tidak berlebihan dan cukup runtut jalan
pikirannya. Singkatnya, ia merasa bangga menjadi murid Willard Middle
School karena mutunya sangat baik, dan guru-gurunya adalah yang
terbaik yang selama ini ia kenal. Sudah tentu, kata-katanya ini
kedengaran agak klise, namun ia mampu menyampaikannya dengan begitu
meyakinkan, dan tanpa teks.
Ketua Kelas 6 menggunakan sebuah catatan kecil untuk menyampaikan
sambutannya. Kata-katanya jauh lebih sederhana dan singkat saja. Jelas
sekali bahwa ia masih sangat kurang berpengalaman dalam berbicara di
depan umum.
Setelah perkenalan dengan guru-guru dan penjelasan singkat mengenai
sekolah itu, hadirin dibagi dua kelompok. Mereka yang nama keluarganya
dari A-L tinggal di aula, sementara sisanya berkumpul di perpustakaan.
Di perpustakaan kami dipersilakan melihat-lihat koleksi buku dan
berbagai hasil pekerjaan siswa. Ada kumpulan puisi siswa yang dibuat
menjadi buku. Ada pula sejumlah hasil penelitian kepustakaan siswa
tentang kehidupan di Mesir purbakala, kehidupan orang-orang Indian,
Eskimo, dll. Seorang siswa Hispanik membuat tulisan tentang Che
Guevara sambil tidak lupa menyinggung sedikit ideologi komunisme yang
dipuja Che. “Saya pikir ideologi ini cukup baik,” kata anak itu.
Saya agak kaget membacanya karena di Indonesia kemungkinan besar anak
itu sudah dikenai litsus, atau ujian ideologi. Siapa tahu
orangtuanya mempunyai KTP dengan tanda “ET”?
Perpustakaan itu juga mempunyai sekitar 20 buah komputer Macintosh.
Bukan yang paling baru, namun cukup canggih. Itu semua adalah
sumbangan dari Apple Computer yang memang selama ini mendukung program
komputerisasi di sekolah-sekolah dari tingat dasar sampai perguruan
tinggi.
Salah seorang guru memperlihatkan hasil karya sebuah tim yang
mengadakan penelitian tentang Mesir purba. “Hasilnya ini,” kata
sang guru sambil memperlihatkan sebuah kotak mumi seperti yang bisa
kita lihat di gambar-gambar tentang firaun. Ia membuka kotak mumi
sebesar kotak sepatu yang dilapisi warna keemasan. “Wah, saya tidak
bisa lanjut membukanya. Tapi di dalam kotak ini tersimpan sebuah mumi
ayam karya siswa-siswa kami,” katanya. Rupanya murid-murid itu
bereksperimen membuat mumi dan yang menjadi bahan percobaan mereka
adalah seekor ayam. Entah bagaimana mereka mengerjakannya, saya tidak
tahu.
Banyak pertanyaan diajukan oleh orangtua murid tentang situasi
keamanan di sekolah. Maklumlah, beberapa tahun terakhir ini banyak
tersiar kabar tentang penembakan di sekolah yang dilakukan oleh siswa
sekolah itu sendiri. “Kami berusaha menjaga keamanan di sekolah ini
seketat mungkin,” kata kepala sekolah. “Di sini kami memegang zero
tolerance dalam soal keamanan,” tambahnya. Maksudnya, tidak ada
pelanggaran sekecil apapun dalam hal keamanan yang akan ditolerir
sekolah. Saya memakluminya, apalagi akhir-akhir ini masyarakat Amerika
sangat terguncang oleh insiden kekerasan yang memuncak dengan
penghancuran Menara WTC dan Pentagon.
“Yang kami tekankan terutama sekali adalah keadaan di antara jam
pelajaran ketika terjadi pergantian guru. Atau selagi siswa
beristirahat. Sementara keadaan di dalam kelas sementara pelajaran
berlangsung seratus persen di tangan guru,” tambah kepala sekolah.
Willard mempunyai gedung yang cukup luas, dengan dua lapangan bola
basket, satu lapangan base-ball. Ada pula kolam renang tepat di
sebelah sekolah. “Selama jam istirahat kami menempatkan 9 orang guru
di 9 titik yang tersebar di sekolah ini,” kepala sekolah menjelaskan
lebih jauh. “Siswa yang ketahuan berkelahi, bahkan mengancam dan
mengintimidasi sekalipun, akan langsung dikeluarkan.” Wah, disiplin
yang tegas begini rasanya diperlukan di Indonesia guna mengikis
kebiasaan tawuran yang sudah semakin brutal. Di Indonesia, seingat
saya, selama jam istirahat mungkin hanya ada 1 atau 2 guru yang piket.
Sementara yang lainnya benar-benar mengambil waktu untuk beristrahat,
makan kudapan, atau bercengkerama dengan rekan-rekan guru yang
lainnya. Maklumlah, hidup sehari-hari sudah terlalu berat untuk
ditambahi tugas mengawasi murid-murid satu sekolah.
Guru lainnya menjelaskan kegiatan setelah sekolah yang dimaksudkan
untuk menampung siswa yang orangtuanya sibuk bekerja. Dengan demikian
siswa tidak usah langsung pulang atau malah berkeliaran di jalan.
Mereka dapat mengisi waktunya dengan kegiatan yang lebih bermanfaat.
Misalnya, membaca di perpustakaan, belajar bahasa Inggris, main sepak
bola atau baseball, gulat, dll. Ya, olahraga gulat memang diajarkan
sejak Sekolah Menengah, sehingga AS memang tidak kekurangan atlet
gulat di berbagai kejuaraan tingkat internasional.
Guru bahasa Inggris memperkenalkan tiga buah buku yang harus dibaca
oleh murid kelas 6 kelak. Ia membanggakan murid-muridnya yang berhasil
membuat puisi yang sempat dimuat oleh sejumlah penerbitan di AS. Ada
juga yang diterbitkan di internet dalam website yang khusus menampung
puisi-puisi dari murid-murid sekolah.
Membaca tulisan-tulisan ini mungkin kita merasa iri, cemburu, atau
putus asa. Iri dan cemburu boleh, asal jangan putus asa. Bayangkan
saja, berapa besar anggaran yang disediakan pemerintah AS untuk
pendidikan, sementara di Indonesia uang negara lebih banyak yang bocor
karena korupsi atau digunakan untuk pengeluaran-pengeluaran yang
kurang memikirkan investasi masa depan bangsa. Dengan tulisan ini
kiranya kita semakin tergugah untuk mengembangkan pendidikan bangsa
kita. *** |