Berkat teknologi internet saya bisa mengikuti
perkembangan di seluruh dunia, dan di Indonesia khususnya. Beberapa
hari lalu saya membaca berita di harian Kompas tentang suatu kebaktian
Natal yang unik di Yogyakarta. Di sebuah Gereja Katolik di kota itu,
Natal dirayakan secara ekumenis dengan pemimpin misa dari Gereja
Katolik dan pengkhotbah dari Gereja Protestan. Bukan cuma itu. Yang
mengejutkan saya ternyata pada kebaktian itu juga hadir orang-orang
yang beragama lain – Islam, Hindu, Buddha, aliran kepercayaan (dan
Kong Hu Cu?) yang ikut berdoa di tengah-tengah liturgi ibadah
tersebut. Dapatkah kita menerima hal ini?
Kebetulan hari Minggu lalu kami sekeluarga diundang
oleh sebuah keluarga di Montclair Presbyterian Church untuk bernatalan
di rumahnya. Keluarga Cliff dan Betsy King ternyata juga mengundang
sejumlah sahabat mereka dari Islamic Center di Oakland, sebuah
kota yang hanya beberapa menit jaraknya dari Berkeley. Memang, Betsy
dan Cliff telah menjalin hubungan baik dengan komunitas Muslim yang
kebanyakan terdiri atas orang Iran-Amerika itu.
Sebetulnya harus saya katakan bahwa jemaat
Montclair telah terlebih dahulu menjalin hubungan baik dengan
komunitas itu, setelah Islamic Center itu pertama-tama mengirimkan dua
orang utusan pada Minggu Perjamuan Kudus se-Dunia bulan Oktober lalu,
seperti yang pernah saya ceritakan beberapa waktu yang lalu. Akhir
Oktober lalu, jemaat Montclair (MPC) mengundang mereka hadir dalam
Harvest Festival (Pesta Panen) dan perayaan menyambut musim gugur
dalam sebuah makan siang bersama. Sejak itu beberapa kali sejumlah
anggota jemaat MPC mengunjungi komunitas itu, khususnya pada hari-hari
sekitar bulan puasa dan hari raya Idul Fitri baru-baru ini.
Pada Festival itu saya sempat berkenalan dengan
Direktur Center itu, Hamid Mavani, seorang berdarah India kelahiran
Uganda berkewarganegaraan Kanada dan menikah dengan seorang perempuan
Iran, adalah alumnus McGill University di Montreal. Di sekolah ini
pula pernah belajar Dr. Munawir Shadzali, salah satu menteri agama RI.
Hari Minggu lalu Hamid datang dan membawa sejumlah
rekannya anggota komunitas itu yang sebagian pernah saya jumpai pada
Festival yang lalu. Kami banyak mengobrol, sementara tuan rumah
menyediakan minuman ringan, teh, kopi, dan makanan kecil berupa
berbagai biskuit, roti, dan keju.
Obrolan saya dengan Hamid umumnya di sekitar
kehidupan keagamaan di Indonesia yang sempat menjadi perhatian besar
di dunia. Hamid menyesalkan upaya-upaya yang mencoba memanfaatkan
agama sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik seperti yang
banyak dilakukan di berbagai tempat di seluruh dunia saat ini. Hamid
juga berbicara sedikit tentang Islamic Center yang berkembang
di Oakland itu. Dari sebuah Center yang sangat kuat bernuansa Syiah
dan Irani, kini Center itu semakin terbuka dan merangkul aliran
Islam lainnya serta menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar mereka. Hamid mengatakan bahwa ia ingin sekali mengundang
saya untuk berbincang-bincang di Center-nya, sebuah undangan
yang telah lama ingin saya penuhi, namun karena kami tidak mempunyai
kendaraan sendiri, sulit saya penuhi.
Sayang kami agak terlambat datang karena sebelum
itu saya harus memimpin kebaktian Minggu di San Francisco yang selalu
diadakan sore hari. Cliff menceritakan bahwa sekitar 5 menit sebelum
kami datang, Adila, salah seorang tamu yang datang malam itu, sempat
membacakan sebagian ayat Al Qur’an. “Wah, sungguh mengesankan,”
katanya. Saya tidak sempat bertanya ayat mana yang dibacakan oleh
Adila malam itu.
Hamid dan teman-teman Iran yang datang malam itu
tampak sangat santai. Memang ini bukan perayaan Natal yang biasa kita
kenal. Tidak ada ibadah yang selalu menjadi pusat dalam perayaan Natal
di gereja maupun di dalam keluarga seperti yang biasa kita lakukan di
Indonesia. Namun saya merasakan sekali suasana silaturahmi malam itu.
Tamu-tamu Muslim yang datang malam itu tidak canggung-canggung
mengucapkan “Selamat Hari Natal” kepada kami. Sampai-sampai sempat
terlontar ucapan balik dari saya, “Selamat Natal juga kepada
anda,” tanpa menyadari bahwa mereka sesungguhnya tidak merayakan
Natal.
Tapi benarkah itu? Saya teringat akan suatu
percakapan sekitar puasa dua tahun lalu di salah satu stasiun TV
swasta yang dibawakan oleh Prof. Alwi Shihab. Ia mengatakan, tidak ada
salahnya umat Muslim memperingati Hari Natal, sebab Yesus Kristus –
yang mereka kenal sebagai Nabi Isa – adalah tokoh yang juga mereka
hormati. Namun bukankah sudah beberapa tahun ini dikembangkan semacam
tabu bagi saudara-saudara kita itu untuk mengucapkan “Selamat
Natal” kepada orang-orang Kristen, bahkan misalnya orang-orang
Kristen itu adalah sanak keluarga mereka sendiri.
Di pihak lain, sangat tidak lazim bagi kita orang
Kristen untuk menghadirkan para pemeluk agama lain dalam suatu ibadah
kita dan meminta mereka berdoa dalam cara mereka sendiri seperti yang
baru-baru ini terjadi di Gereja Katolik di Kotabaru, Yogyakarta
seperti yang saya singgung di atas.
Saya teringat akan peristiwa kedatangan orang-orang
Majus pada hari kelahiran Yesus. Siapakah orang-orang Majus ini? Jelas
sekali bahwa mereka bukanlah orang-orang Yahudi. Mereka adalah
ilmuwan, yaitu astrolog, ahli bintang, dan hampir pasti mereka tidak
mengenal Allah yang dikenal oleh orang-orang Yahudi di masa Yesus.
Mereka datang membawa persembahan mereka. Dan kalau saya boleh
berimajinasi sedikit, mereka pun datang dan berdoa bagi Sang Bayi
Kudus itu, seperti yang selalu kita lakukan bila kita berkunjung ke
sebuah keluarga yang mendapatkan anggota keluarga yang baru. Sudah
tentu pula mereka tidak berdoa dalam tata cara orang Yahudi, melainkan
tata cara yang mereka kenal, yaitu tata cara Majusi yang pasti diambil
dari tradisi Zoroastrian yang berkembang di Mesopotamia (Irak dan
Iran) saat itu.
* * *
Belakangan ini semakin banyak orang Kristen di
Indonesia yang merayakan Natal Ekumenis – salah satunya adalah Natal
yang disponsori oleh pemerintah RI. Saya pikir Natal yang diadakan
oleh Gereja Katolik di Kotabaru, Yogyakarta itu adalah Natal yang
sungguh-sungguh ekumenis, sebab Natal itu tidak membedakan siapapun
yang datang dan berpartisipasi di dalamya. Saya merindukan Natal yang
ekumenis, di mana kita bisa menyambut siapapun juga, seperti halnya
yang dihadiri oleh Hamid dkk. hari Minggu lalu di rumah keluarga King,
sebab di situlah kesaksian kita menjadi nyata bahwa Yesus datang untuk
semua orang. Dia tidak membeda-bedakan bukan hanya antara yang kaya
dan miskin, tetapi juga Yahudi dan non-Yahudi. Tapi, siapkah kita?