:: home :: index ::

 

Minggu, 30/12/2001
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Pemikiran-Pemikiran Teologis (5)
Natal Ekumenis

Saya ingin melanjutkan pembicaraan tentang Natal minggu lalu karena kita masih berada di dalam suasana Natal.

Berkat teknologi internet saya bisa mengikuti perkembangan di seluruh dunia, dan di Indonesia khususnya. Beberapa hari lalu saya membaca berita di harian Kompas tentang suatu kebaktian Natal yang unik di Yogyakarta. Di sebuah Gereja Katolik di kota itu, Natal dirayakan secara ekumenis dengan pemimpin misa dari Gereja Katolik dan pengkhotbah dari Gereja Protestan. Bukan cuma itu. Yang mengejutkan saya ternyata pada kebaktian itu juga hadir orang-orang yang beragama lain – Islam, Hindu, Buddha, aliran kepercayaan (dan Kong Hu Cu?) yang ikut berdoa di tengah-tengah liturgi ibadah tersebut. Dapatkah kita menerima hal ini?

Kebetulan hari Minggu lalu kami sekeluarga diundang oleh sebuah keluarga di Montclair Presbyterian Church untuk bernatalan di rumahnya. Keluarga Cliff dan Betsy King ternyata juga mengundang sejumlah sahabat mereka dari Islamic Center di Oakland, sebuah kota yang hanya beberapa menit jaraknya dari Berkeley. Memang, Betsy dan Cliff telah menjalin hubungan baik dengan komunitas Muslim yang kebanyakan terdiri atas orang Iran-Amerika itu.

Sebetulnya harus saya katakan bahwa jemaat Montclair telah terlebih dahulu menjalin hubungan baik dengan komunitas itu, setelah Islamic Center itu pertama-tama mengirimkan dua orang utusan pada Minggu Perjamuan Kudus se-Dunia bulan Oktober lalu, seperti yang pernah saya ceritakan beberapa waktu yang lalu. Akhir Oktober lalu, jemaat Montclair (MPC) mengundang mereka hadir dalam Harvest Festival (Pesta Panen) dan perayaan menyambut musim gugur dalam sebuah makan siang bersama. Sejak itu beberapa kali sejumlah anggota jemaat MPC mengunjungi komunitas itu, khususnya pada hari-hari sekitar bulan puasa dan hari raya Idul Fitri baru-baru ini.

Pada Festival itu saya sempat berkenalan dengan Direktur Center itu, Hamid Mavani, seorang berdarah India kelahiran Uganda berkewarganegaraan Kanada dan menikah dengan seorang perempuan Iran, adalah alumnus McGill University di Montreal. Di sekolah ini pula pernah belajar Dr. Munawir Shadzali, salah satu menteri agama RI.

Hari Minggu lalu Hamid datang dan membawa sejumlah rekannya anggota komunitas itu yang sebagian pernah saya jumpai pada Festival yang lalu. Kami banyak mengobrol, sementara tuan rumah menyediakan minuman ringan, teh, kopi, dan makanan kecil berupa berbagai biskuit, roti, dan keju.

Obrolan saya dengan Hamid umumnya di sekitar kehidupan keagamaan di Indonesia yang sempat menjadi perhatian besar di dunia. Hamid menyesalkan upaya-upaya yang mencoba memanfaatkan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik seperti yang banyak dilakukan di berbagai tempat di seluruh dunia saat ini. Hamid juga berbicara sedikit tentang Islamic Center yang berkembang di Oakland itu. Dari sebuah Center yang sangat kuat bernuansa Syiah dan Irani, kini Center itu semakin terbuka dan merangkul aliran Islam lainnya serta menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar mereka. Hamid mengatakan bahwa ia ingin sekali mengundang saya untuk berbincang-bincang di Center-nya, sebuah undangan yang telah lama ingin saya penuhi, namun karena kami tidak mempunyai kendaraan sendiri, sulit saya penuhi.

Sayang kami agak terlambat datang karena sebelum itu saya harus memimpin kebaktian Minggu di San Francisco yang selalu diadakan sore hari. Cliff menceritakan bahwa sekitar 5 menit sebelum kami datang, Adila, salah seorang tamu yang datang malam itu, sempat membacakan sebagian ayat Al Qur’an. “Wah, sungguh mengesankan,” katanya. Saya tidak sempat bertanya ayat mana yang dibacakan oleh Adila malam itu.

Hamid dan teman-teman Iran yang datang malam itu tampak sangat santai. Memang ini bukan perayaan Natal yang biasa kita kenal. Tidak ada ibadah yang selalu menjadi pusat dalam perayaan Natal di gereja maupun di dalam keluarga seperti yang biasa kita lakukan di Indonesia. Namun saya merasakan sekali suasana silaturahmi malam itu. Tamu-tamu Muslim yang datang malam itu tidak canggung-canggung mengucapkan “Selamat Hari Natal” kepada kami. Sampai-sampai sempat terlontar ucapan balik dari saya, “Selamat Natal juga kepada anda,” tanpa menyadari bahwa mereka sesungguhnya tidak merayakan Natal.

Tapi benarkah itu? Saya teringat akan suatu percakapan sekitar puasa dua tahun lalu di salah satu stasiun TV swasta yang dibawakan oleh Prof. Alwi Shihab. Ia mengatakan, tidak ada salahnya umat Muslim memperingati Hari Natal, sebab Yesus Kristus – yang mereka kenal sebagai Nabi Isa – adalah tokoh yang juga mereka hormati. Namun bukankah sudah beberapa tahun ini dikembangkan semacam tabu bagi saudara-saudara kita itu untuk mengucapkan “Selamat Natal” kepada orang-orang Kristen, bahkan misalnya orang-orang Kristen itu adalah sanak keluarga mereka sendiri.

Di pihak lain, sangat tidak lazim bagi kita orang Kristen untuk menghadirkan para pemeluk agama lain dalam suatu ibadah kita dan meminta mereka berdoa dalam cara mereka sendiri seperti yang baru-baru ini terjadi di Gereja Katolik di Kotabaru, Yogyakarta seperti yang saya singgung di atas.

Saya teringat akan peristiwa kedatangan orang-orang Majus pada hari kelahiran Yesus. Siapakah orang-orang Majus ini? Jelas sekali bahwa mereka bukanlah orang-orang Yahudi. Mereka adalah ilmuwan, yaitu astrolog, ahli bintang, dan hampir pasti mereka tidak mengenal Allah yang dikenal oleh orang-orang Yahudi di masa Yesus. Mereka datang membawa persembahan mereka. Dan kalau saya boleh berimajinasi sedikit, mereka pun datang dan berdoa bagi Sang Bayi Kudus itu, seperti yang selalu kita lakukan bila kita berkunjung ke sebuah keluarga yang mendapatkan anggota keluarga yang baru. Sudah tentu pula mereka tidak berdoa dalam tata cara orang Yahudi, melainkan tata cara yang mereka kenal, yaitu tata cara Majusi yang pasti diambil dari tradisi Zoroastrian yang berkembang di Mesopotamia (Irak dan Iran) saat itu.

* * *

Belakangan ini semakin banyak orang Kristen di Indonesia yang merayakan Natal Ekumenis – salah satunya adalah Natal yang disponsori oleh pemerintah RI. Saya pikir Natal yang diadakan oleh Gereja Katolik di Kotabaru, Yogyakarta itu adalah Natal yang sungguh-sungguh ekumenis, sebab Natal itu tidak membedakan siapapun yang datang dan berpartisipasi di dalamya. Saya merindukan Natal yang ekumenis, di mana kita bisa menyambut siapapun juga, seperti halnya yang dihadiri oleh Hamid dkk. hari Minggu lalu di rumah keluarga King, sebab di situlah kesaksian kita menjadi nyata bahwa Yesus datang untuk semua orang. Dia tidak membeda-bedakan bukan hanya antara yang kaya dan miskin, tetapi juga Yahudi dan non-Yahudi. Tapi, siapkah kita? 


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814