
Minggu, 23/12/2001
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.
Pemikiran-Pemikiran
Teologis
(4)
Sekitar Natal
S aya mau mengambil jeda sebentar
dari percakapan tentang pemikiran teologis yang disampaikan oleh
sejumlah teolog di Berkeley ini. Berkaitan dengan Natal ada baiknya
saya berbicara tentang hal-hal sekitar Natal. Sejak awal November
lalu, seorang teman kami dari Indonesia sudah bertanya-tanya, kapan
kami akan membeli pohon Natal. “Chris, kamu kan Advent, dan
orang Advent kan tidak merayakan Natal. Kok kamu yang
paling repot menyuruh kami membeli pohon Natal,” begitu reaksi saya
kepadanya. “Memang kami tidak merayakannya di gereja,” jawab
Chris, “karena kami menganggap Natal tidak seharusnya hanya terjadi
di bulan Desember saja.” Saya tidak keberatan dengan jawaban itu.
Memang, Kristus seharusnya lahir setiap saat, bukan hanya di bulan
Desember saja, atau lebih tepat lagi pada 23 Desember. Di kalangan
Gereja Ortodoks, Natal dirayakan pada tanggal 5 Januari. Dan saya
pernah mengikuti suatu kebaktian di sebuah Gereja Metodis di daerah
California ini beberapa tahun lalu, yang merayakan Natal di bulan
Juli. Ya, mereka tidak ingin melupakan bahwa Natal seharusnya bisa
terjadi kapan saja. Namun bagi kebanyakan orang Amerika, memang Natal
boleh dikatakan menjadi puncak segala perayaan selama satu tahun.
Suasana di Amerika setelah hari raya Thanksgiving pada akhir
November lalu memang langsung berubah. Toko-toko dan rumah-rumah
segera bertransformasi dengan berbagai hiasan Natal untuk menyambut
hari raya itu. Dalam sekejap tampaknya bangsa ini sudah melupakan
tragedi besar yang terjadi empat bulan yang lalu, tepatnya pada
tanggal 11 September, ketika ribuan orang mati karena terperangkap
dalam gedung WTC, pencakar langit yang rubuh dan terbakar secara
mengerikan setelah ditabrak oleh dua pesawat komersial. Sekejap orang
lupa bahwa berjuta-juta orang di dunia sedang menderita kelaparan dan
kedinginan atau malah sebagian lagi terancam oleh serangan-serangan
pesawat pembom AS di Afganistan dan penyerbuan membabi-buta tentara
Israel terhadap penduduk Palestina.
Suasana Natal mewarnai kehidupan sebagian terbesar orang Amerika,
tanpa mereka harus menjadi Kristen. Ya, Natal bukan lagi perayaan
milik orang Kristen. Siapa saja dapat merayakannya, kalau merayakan
hanya berarti membeli baju baru, berbagai hadiah untuk sanak keluarga
dan mengadakan reuni dengan anggota-anggota keluarga yang telah lama
tidak dijumpai. Mirip-mirip dengan suasana “mudik” di sekitar
Lebaran.
Banyak gereja dan institusi lainnya yang telah merayakan Natal
sejak awal Desember. Pacific School of Religion, misalnya, mengadakan
perayaan Natal pada 7 Desember yang lalu. Mumpung mahasiswa masih
berada di kampus. Sebab minggu berikutnya sudah banyak kelas yang akan
berakhir dengan ujian semester dan setelah itu mahasiswa sudah akan
kembali ke tengah-tengah keluarganya masing-masing. Hari Senin 17
Desember lalu, mahasiswa internasional GTU yang setiap bulan
mengadakan potluck, merayakan malam Natalnya sendiri sambil
mengenang keindahan Natal di kampung halamannya masing-masing.
Sementara itu pada hari Minggu 16 Desember, GKI San Francisco juga
telah merayakan Natalnya. Ya, gereja ini memang memakai nama GKI,
meskipun sesungguh-nya ia adalah bagian dari Presbyterian Church
(USA). Saya akan bercerita lebih jauh tentang gereja ini kelak. Namun
uniknya, perayaan Natal ini berlangsung pada Minggu Advent III. Nah,
bagaimana ini? Padahal hari Minggu berikutnya, 23 Desember, saya
diminta membawakan renungan untuk Minggu Advent IV. Suatu anakhronisme
– peristiwa yang bertentangan dengan jalannya waktu? Sudah tentu.
Tapi, baiklah kita coba renungkan kembali apa arti perayaan Natal
dan Minggu-minggu Advent dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen.
Minggu-minggu Advent memang mengingatkan bahwa kita sedang menantikan
kedatangan Yesus yang kedua kalinya. Dalam minggu-minggu ini kita
menoleh ke belakang, kepada peristiwa Natal yang telah berlangsung
hampir 2000 tahun yang lalu. Namun pada saat yang sama kita selalu
diingatkan bahwa kita harus menatap ke depan, kita masih harus tetap
menantikan Dia yang masih akan datang kembali.
Ketika terjadi pergantian kepemimpinan negara kita pada tahun 1998
lalu, ada banyak harapan yang dibangun bahwa pada akhirnya penderitaan
bangsa kita akan segera berakhir. Namun apa yang terjadi malah semakin
membuat kita cemas dan ragu. Apalagi ketika kita mendengar dan melihat
berbagai macam berita dan laporan mengenai penghancuran rumah-rumah
ibadah, pembunuhan dan penganiayaan terhadap umat beragama tertentu,
hanya karena mereka kebetulan memeluk suatu agama yang berbeda.
Lalu, ketika pemilihan umum yang baru diselenggarakan dan
pemerintahan yang baru terbentuk, kita menyambutnya sebagai suatu
berkat yang terselubung. Ada banyak pengharapan yang dicurahkan kepada
Gus Dur yang dianggap sebagai tokoh yang paham tentang pentingnya
mempertahankan kemajemukan suku, agama, dan ras di Indonesia. Namun
tak lama kebahagiaan itu berlangsung, kita segera dicekam oleh
berbagai rasa ketidakpastian yang baru ketika kita melihat bahwa
ternyata pemerintahan yang baru itu tidak kunjung berhasil menciptakan
kepastian-kepastian politik yang sangat dibutuhkan negara kita untuk
memulihkan ketenangan di dalam kehidupan bermasyarakat kita.
Pertengahan tahun ini, kembali kita menyaksikan pergolakan politik
melanda bangsa kita dengan digantinya Gus Dur dengan Megawati. Kembali
rakyat menaruh harapan bahwa negara kita akan segera keluar dari
kemelut, namun sampai saat ini percikan cahaya itu belum kunjung
tampak. Kita masih melangkah meraba-raba di dalam kelegapan. Kita
semakin takut untuk menaruh pengharapan karena kita sadar bahwa
pengharapan demi pengharapan yang telah kita pertaruhkan kita ternyata
tak kunjung terwujud. Bagi saya tidak mengherankan apabila orang mulai
bicara sinis tentang pengharapan bahwa bangsa kita akan segera mampu
keluar dari jurang yang tidak ada batasnya. Tidak mengherankan apabila
orang pun mulai sinis terhadap pengharapan bahwa Sang Raja yang Maha
Adil itu memang akan datang dan menegakkan kuasa-Nya di muka bumi ini.
Bacaan Minggu Advent IV di PC(USA) diambil dari Matius 1:18-25,
yang mengisahkan rasa takut dan keraguan Yusuf untuk ikut serta di
dalam rencana Allah. Allah mempunyai rencana besar, namun Ia juga
membutuhkan partisipasi kita. Oleh karena itu, marilah kita melangkah
bersama Yusuf memenuhi panggilan Allah untuk ikut serta di dalam
rencana penyelamatan-Nya bagi dunia. |