
Minggu, 02/12/2001
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.
Pemikiran-Pemikiran
Teologis
(1)
Teologi Hitam
James H. Cone
Graduate Theological
Union (GTU) adalah sebuah konsorsium yang terdiri atas 9 sekolah
anggota, yaitu American Baptist Seminary of the West, Church Divinity
School of the Pacific (Anglikan), Dominican School of Philosophy and
Theology, Franciscan School of Theology, Jesuit School of Theology in
Berkeley, Pacific Lutheran School of Theology Pacific School of
Religion (United Church of Christ), San Francisco School of Theology
(Presbiterian), dan Starr King School of Ministry (Unitarian).
Dari nama-nama
sekolahnya sedikit banyak kita bisa menerka denominasi yang
diwakilinya. Sangat bervariasi, memang. Apalagi selain itu masih ada
beberapa pusat studi lainnya yang sebagian juga memberikan gelar
seperti Institute of Buddhist Studies, Center for Jewish Studies,
Patriarch Athenagoras Orthodox Institute dan masih ada 7 lembaga
lainnya. Masing-masing sekolah mempunyai programnya sendiri, namun
untuk program doktor mereka menyelenggarakannya secara bersama-sama.
Tidak mengherankan apabila ada banyak sekali kuliah terbuka yang
diselenggarakan di GTU, baik oleh masing-masing sekolah maupun oleh
konsorsiumnya sendiri. Hampir setiap hari dalam satu minggu kita dapat
menemukan kuliah terbuka yang dibawakan oleh dosen-dosen ternama baik
dari lingkungan GTU sendiri maupun yang diundang dari sekolah lain.
Tanpa menjadi mahasiswa, rasanya seseorang dapat saja menimba ilmu
sebanyak-banyaknya dan mencapai tingkat kemampuan setara doktor,
asalkan rajin mengikuti kuliah-kuliah itu. Saya mencoba membagikan
pemikiran-pemikiran teologis yang sempat saya tangkap dalam
kuliah-kuliah terbuka seperti ini dengan harapan kiranya itu semua
semakin membuka wawasan teologis kita semua.
Bulan Oktober lalu
James H. Cone, tokoh yang mengembangkan Teologi Hitam (Black
Theology) di AS sejak akihr tahun 1960-an, diundang untuk
menyampaikan kuliah tamunya. Ia sendiri sesungguhnya adalah dosen
teologi sistematika di Union, New York.
Menurut Cone, para
budak Afrika yang menjadi Kristen di Amerika, mengalami ketegangan di
dalam pemahaman iman mereka. Bagaimana mereka dapat menerima
pengajaran bahwa Allah itu kasih apabila pada kenyataannya mereka
menderita secara luar biasa di dalam perbudakan? Mengapa Allah
membiarkan mereka menderita seperti itu? Memang sempat muncul teologi
yang mengajarkan mereka agar tetap bersabar dalam penderitaan mereka
itu, karena pada akhirnya mereka akan menerima ganjarannya di surga
kelak. Tetapi teologi seperti ini tidak dapat mereka terima.
Menurut penelitian
Cone, ada dua teks Alkitab yang menonjol bagi orang-orang kulit hitam,
yaitu kitab Keluaran dan Mazmur 68:32 yang menurut mereka secara
samar-samar mengacu kepada janji Allah untuk membebaskan para budak
Afrika, “Dari Mesir orang membawa barang-barang tembaga, Etiopia
bersegera mengulurkan tangannya kepada Allah.” Allah
adalah pembebas kaum tertindas. Inilah dasar keyakinan orang-orang
Afrika itu. Kalau Allah memang ada, Allah tidak akan membiarkan
perbudakan terjadi dan berlangsung terus.
Di dalam perjuangannya,
orang-orang kulit hitam ini dipimpin oleh Martin Luther King, Jr.,
yang menekankan pendekatan anti-kekerasan yang diperolehnya dari
Mahatma Gandhi. King memimpin gerakan anti-kekerasan secara radikal,
meskipun itu berarti orang-orang kulit hitam itu harus menderita.
“Tidak ada pembebasan sejati tanpa penderitaan,” demikian
keyakinan mereka.
Hal ini mengusik hati
nurani orang-orang kulit putih, namun tidak sepenuhnya memuaskan
orang-orang kulit hitam. Sebagian orang kulit hitam akhirnya malah
menolak Amerika dan kekristenan. Mereka mengembangkan gagasan untuk
memisahkan diri, membentuk sebuah negara yang terpisah di Amerika,
atau malah kembali ke Afrika. Tokoh-tokoh seperti Malcolm X, mengritik
King dan mengatakan bahwa kekristenan adalah agama orang kulit putih.
“Bagaimana mungkin kamu menyembah Allah yang disembah orang kulit
putih yang menindas kamu?” begitu Malcolm X menantang orang-orang
kulit hitam.
Tantangan ini
membangkitkan kesadaran baru di kalangan orang kulit hitam dan pada
tahun 1966 terbentuklah apa yang disebut sebagai “Black Power”
– suatu gerakan di antara orang-orang kulit hitam yang mencoba
membangkitkan kebanggaan mereka atas identitas mereka. Gerakan ini
mencapai tujuannya ketika semakin banyak orang kulit hitam yang
mencoba menantang semangat keunggulan orang-orang kulit putih. Gereja
orang-orang kulit hitam yang selama ini mengajarkan “anugerah yang
murah” dan spiritualitas yang dangkal, disentakkan oleh
pertanyaan-pertanyaan yang baru.
“Anugerah yang
murah” di sini jelas mengacu kepada gagasan yang dikemukakan oleh
seorang teolog Jerman terkemuka, Dietrich Bonhoeffer, yang mengatakan
betapa banyak gereja yang mengajarkan pengampunan tanpa pertobatan dan
perubahan yang radikal di dalam diri orang yang mengaku dosa itu,
sehingga anugerah pengampunan Allah itu menjadi murah. “Bagaimana
mungkin pengampunan yang dibayar mahal oleh Allah dengan pengorbanan
Anak-Nya sendiri dijadikan begitu murah oleh manusia?” begitu
pertanyaan yang diajukan oleh Bonhoeffer.
“Penderitaan memaksa
kita berpikir, mencari makna,” kata Cone mengutip Feuerbach, seorang
filsuf. “Kita (orang kulit hitam) harus menantang realitas
penderitaan yang dihadapi sehari-hari dalam bentuk racial profiling
(pemilah-milahan berdasarkan ras), kebrutalan polisi yang membuat
banyak orang kulit hitam bulan-bulanan polisi atau bahkan dicari-cari
kesalahannya hingga jumlah tahanan kulit hitam jauh melampaui proporsi
mereka di Amerika Serikat,” kata Cone pula.
Teologi Hitam James
Cone telah membangkitkan kesadaran orang-orang kulit hitam terhadap
iman mereka dan kenyataan sosial yang mereka hadapi sehari-hari.
Mereka ditantang untuk menerjemahkan iman mereka secara konkret, sebab
bila tidak demikian maka iman mereka menjadi hampa belaka atau malah
mati. |