Anthony de Mello, rohaniwan yang namanya
sudah tidak asing lagi bagi kita, mengatakan (dalam bukunya Hidup di
Hadirat Allah) bahwa di tengah dunia yang serba sibuk ini, orang
Kristen tidak lagi punya cukup kesabaran untuk masuk dalam keheningan
doa, dan menantikan datangnya Roh Kudus. Padahal menurutnya, Tuhan Yesus
menyuruh para rasul untuk tinggal diam di Yerusalem, dan menantikan
kedatangan Roh Kudus (Kis. 1:4-8). Tapi persoalan bagi banyak orang mo-dern
adalah tidak dapat menunggu. “Kita tidak dapat duduk tenang. Kita
terlalu resah, tidak sabar. Kita mau terus bergerak. Kita lebih senang
menghabiskan waktu dengan bekerja keras, daripada menunggu dalam
keheningan sesuatu yang berada di luar kuasa kita,” ujarnya.
Seringkali yang terjadi adalah seperti
ini, kita mencoba untuk menunggu; lalu kita memang menunggu, menunggu
dan menunggu — tetapi tidak sesuatu pun terjadi. Atau mungkin lebih
tepat, mata rohani kita yang buram tidak dapat menangkap apapun.
Akibatnya, kita merasa lelah menunggu dan berdoa.. Kita lebih senang “bekerja
bagi Allah” sehingga kita kembali membenamkan diri ke dalam aktivisme.
Namun, menurut de Mello, Roh hanya dianugerahkan kepada mereka yang hari
demi hari menghadapkan hati kepada Allah dan Firman-Nya, dalam doa.
Sesuatu yang tampak seperti tak berguna dan pemborosan waktu bagi
manusia modern yang berorientasi pada hasil.
Selain ketidaksabaran, kendala lain yang
dihadapi orang modern, demikian de Mello, adalah tidak adanya sikap
berharap yang cukup besar. Baginya, segala sesuatu adalah mungkin di ha-dapan
Allah, asalkan kita mempunyai harapan yang kuat. “Mungkin Ia
membiarkan anda menunggu atau mungkin Ia juga datang segera; atau
mungkin Ia datang secara tak terduga seperti ‘pencuri di waktu malam’.
Namun Ia pasti datang, kalau anda mengharapkan kedatanganNya,”
demikian diungkapkan de Mello.
Karena keyakinannya itulah, de Mello
mengatakan: “Tidak lagi percaya bahwa Tuhan mampu mengubah dunia, dan
tidak lagi percaya bahwa Ia mampu mengubah diri kita, adalah sikap ateis
yang lebih berbahaya daripada sikap orang yang berkata, ‘Allah tidak
ada.’” Secara tidak sadar, orang seperti ini telah menjadi seorang
ateis praktis.
Apakah kondisi seperti di atas ini juga
menjangkiti kita selaku manusia-manusia modern? Baiklah hal ini kita
refleksikan secara pribadi, dan kita angkat dalam doa-doa kita.