Kuatir akan
berkembangnya jumlah orang-orang yang tidak selamat itu, maka Gereja
mempraktekkan Inkuisisi, atau praktek pemeriksaan iman. Apabila
seseorang terbukti belum sungguh-sungguh menjadi Kristen, ia akan
dipaksa menerima Kekristenan. Persis seperti yang dikisahkan dalam
Lukas 14:23: “Pergilah ke semua jalan dan lintasan dan paksalah
orang-orang, yang ada di situ, masuk, karena
rumahku harus penuh.” Pemaksaan ini bisa berupa bujukan halus,
setengah kasar, atau malah siksaan fisik yang luar biasa hebat,
sehingga seringkali orang yang dipaksa menjadi Kristen itu malah mati
setelah berhasil dibaptiskan. Mungkin ada yang menganggap, “Tak
apalah. Yang penting jiwanya selamat.”
Anggapan seperti ini
juga mungkin menjadi landasan pemikiran bagi sebagian misionaris yang
mengabarkan Injil di negara-negara yang memusuhi Kekristenan. “Penganiayaan
itu normatif secara alkitabiah dan historis bagi gereja yang baru
berkembang. Tidak bisa dihindari atau dihapuskan… Menghindari
penganiayaan berarti menghalangi pertumbuhan Kerajaan Allah.” Begitu
dikatakan oleh studi oleh Gereja Baptis Selatan tentang pekabaran
Injil di negara-negara Islam. Oleh karena itulah para pemimpin
evangelikal menganjurkan para misionaris untuk terus melakukan
kristenisasi, meskipun orang-orang Kristen baru (“mualaf”) itu
disiksa atau bahkan dibunuh. “Para misionaris membutuhkan kedewasaan
dan kegigihan rohani, sehingga apabila buah-buah kesaksian mereka
dituntut berjalan melalui api, sang misionaris tidak otomatis berusaha
menyelamatkan mereka,” lanjut studi tersebut.
Pada akhirnya, kata
kaum evangelikal, penderitaan orang-orang Kristen di dunia tidak ada
artinya bila diban-dingkan dengan siksaan neraka yang kekal yang akan
ditanggung oleh orang-orang Muslim. “Sulit bagi saya untuk
mengatakan, ‘Saya sih punya paspor untuk keluar dari sini kalau
keadaan menjadi tidak terkontrol, tetapi anda semua harus tinggal di
sini dan menanggungnya,’” kata Raymond Weiss, bekas misionaris di
Bahrain. “Tapi bukankah itu yang Yesus katakan? Kadang-kadang orang
harus melawan ayahnya dan ibunya sendiri demi nama-Nya. Bila Yesus
secara kosmik akhirnya benar, maka berapapun harga yang harus dibayar
di dunia ini tidak ada artinya.”
Dengan asumsi yang sama
itu, mahasiswa-mahasiswa Rick Love kembali ke lapangan, untuk
menyebarkan berita Perjanjian Baru di tempat-tempat yang sama sekali
tidak bersahabat dengan mereka. Pelajaran yang mereka terima di
Columbia International University telah mengilhami mereka untuk
memperbarui usaha-usaha mereka untuk menyelamatkan orang-orang Muslim
dari apa yang mereka anggap sebagai agama palsu. “Sebagian orang
Kristen pernah berkata kepada kami, ‘Mereka kan sudah punya agama.
Kenapa kalian harus menjangkau mereka?” kata Brent McHugh, seorang
penginjil yang akan berangkat ke Turki. “Tapi bila kita menempatkan
tangga pada dinding yang salah dan seumur hidup kita berusaha memanjat
tangga itu, pas sampai di atas, kita tidak akan menemukan apa-apa.”
Tapi, bagaimana kita bisa tahu bahwa tangga yang kita pasang itu
memang bersandar pada dinding yang salah? Bukan mustahil bahwa orang
lain justru menganggap kitalah yang memasang tangga pada dinding yang
salah? Adakah ukuran yang objektif untuk hal ini? Ataukah semuanya
malah jadi relatif? Serelatif nilai-nilai etis yang kita pegang?
* * *
Saya tidak setuju kalau
dikatakan bahwa semuanya menjadi relatif. Dalam pengertian yang sama
saya berpendapat misi dan pekabaran Injil tidak bisa merelatifkan atau
mengabaikan nilai-nilai etis. Dan nilai-nilai etis itu harus terwujud
di dalam segala tindakan kita. Bahkan setiap pertimbangan kita harus
didasarkan pada nilai-nilai etis. Saya pikir Yesus pun setuju bahwa
misi-Nya tidak bisa dilakukan tanpa dasar-dasar etis yang kuat. Juga
bahwa tujuan yang baik tidak bisa dikompromikan dengan cara-cara yang
salah. Kalau memang orang-orang Kristen baru itu harus menderita dan
memikul salib karena iman mereka kepada Yesus Kristus, mengapa para
misionaris Barat itu bisa begitu saja meninggalkan ladang misi mereka
hanya karena mereka memiliki paspor AS atau malah dilindungi oleh
pemerintah AS karena mereka adalah warga negara AS? Di sini saya lihat
terjadi keadaan yang sangat tidak berimbang.
Saya pikir, andaikata
Yesus hadir secara fisik dalam situasi seperti itu, Dia tidak akan
lepas tangan atau melarikan diri dari tangan-tangan kekuasaan.
Bukankah itu yang dialami-Nya dengan peristiwa salib? Andaikata timbul
bahaya dan suatu pemerintah menangkapi orang-orang Kristen baru, dan
para misionaris itu malah menempatkan diri mereka sebagai ganti
orang-orang Kristen tersebut, maka saya pikir hal itu akan menjadi
suatu kesaksian yang indah dan sejati. Di situlah kata dan perbuatan
menjadi satu. Di situlah iman kepada Yesus diuji dengan sesungguhnya.
Atau mungkin anda tidak
setuju? Mungkin ada yang akan berkata, “Yah, kalau begitu sih,
nggak akan ada yang mau menjadi penginjil!” “Wah, itu sih
tuntutan yang terlalu berlebihan!” Tapi, Saudara, bukankah itu yang
namanya memikul salib? Atau ada yang masih mau menawar?