:: home :: index ::

 

Minggu, 20/10/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Misi dan Pekabaran Injil (6)
Salib yang Harus Dipikul

Pertimbangan etis dalam melaksanakan misi dan pekabaran Injil tidak hanya berkaitan dengan cara-cara penyampaian berita Injil itu semata, tetapi seharusnya juga mempertimbangkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut. Apabila kita setuju de-ngan dasar pemikiran ini, maka kita diperhadapkan dengan persoalan lebih jauh: apakah kita akan membiarkan seseorang menderita karena iman Kristennya? Mungkin ada yang akan berkata, “Yah, itulah risiko iman.” Atau, “Sudah tentu, itulah salib yang harus dipikul.”

SAYA jadi teringat akan kasus Inkuisisi pada Abad Pertengahan di Spanyol. Saat itu Kerajaan Islam yang sudah bercokol selama 700 tahun berhasil ditumbangkan oleh Ferdinand dan Isabela. Agama Kristen kembali menjadi agama negara. Kawula negara diwajibkan menjadi Kristen. Sebagian setuju, tapi sebagian menolak dengan tegas, dan sebagian lagi pura-pura menjadi Kristen. Lho, ini aneh! Diwajibkan jadi selamat kok malah nggak mau? Begitu tanggapan pemimpin Gereja pada waktu itu.

Kuatir akan berkembangnya jumlah orang-orang yang tidak selamat itu, maka Gereja mempraktekkan Inkuisisi, atau praktek pemeriksaan iman. Apabila seseorang terbukti belum sungguh-sungguh menjadi Kristen, ia akan dipaksa menerima Kekristenan. Persis seperti yang dikisahkan dalam Lukas 14:23: “Pergilah ke semua jalan dan lintasan dan paksalah orang-orang, yang ada di situ, masuk, karena
rumahku harus penuh.” Pemaksaan ini bisa berupa bujukan halus, setengah kasar, atau malah siksaan fisik yang luar biasa hebat, sehingga seringkali orang yang dipaksa menjadi Kristen itu malah mati setelah berhasil dibaptiskan. Mungkin ada yang menganggap, “Tak apalah. Yang penting jiwanya selamat.”

Anggapan seperti ini juga mungkin menjadi landasan pemikiran bagi sebagian misionaris yang mengabarkan Injil di negara-negara yang memusuhi Kekristenan. “Penganiayaan itu normatif secara alkitabiah dan historis bagi gereja yang baru berkembang. Tidak bisa dihindari atau dihapuskan… Menghindari penganiayaan berarti menghalangi pertumbuhan Kerajaan Allah.” Begitu dikatakan oleh studi oleh Gereja Baptis Selatan tentang pekabaran Injil di negara-negara Islam. Oleh karena itulah para pemimpin evangelikal menganjurkan para misionaris untuk terus melakukan kristenisasi, meskipun orang-orang Kristen baru (“mualaf”) itu disiksa atau bahkan dibunuh. “Para misionaris membutuhkan kedewasaan dan kegigihan rohani, sehingga apabila buah-buah kesaksian mereka dituntut berjalan melalui api, sang misionaris tidak otomatis berusaha menyelamatkan mereka,” lanjut studi tersebut.

Pada akhirnya, kata kaum evangelikal, penderitaan orang-orang Kristen di dunia tidak ada artinya bila diban-dingkan dengan siksaan neraka yang kekal yang akan ditanggung oleh orang-orang Muslim. “Sulit bagi saya untuk mengatakan, ‘Saya sih punya paspor untuk keluar dari sini kalau keadaan menjadi tidak terkontrol, tetapi anda semua harus tinggal di sini dan menanggungnya,’” kata Raymond Weiss, bekas misionaris di Bahrain. “Tapi bukankah itu yang Yesus katakan? Kadang-kadang orang harus melawan ayahnya dan ibunya sendiri demi nama-Nya. Bila Yesus secara kosmik akhirnya benar, maka berapapun harga yang harus dibayar di dunia ini tidak ada artinya.”

Dengan asumsi yang sama itu, mahasiswa-mahasiswa Rick Love kembali ke lapangan, untuk menyebarkan berita Perjanjian Baru di tempat-tempat yang sama sekali tidak bersahabat dengan mereka. Pelajaran yang mereka terima di Columbia International University telah mengilhami mereka untuk memperbarui usaha-usaha mereka untuk menyelamatkan orang-orang Muslim dari apa yang mereka anggap sebagai agama palsu. “Sebagian orang Kristen pernah berkata kepada kami, ‘Mereka kan sudah punya agama. Kenapa kalian harus menjangkau mereka?” kata Brent McHugh, seorang penginjil yang akan berangkat ke Turki. “Tapi bila kita menempatkan tangga pada dinding yang salah dan seumur hidup kita berusaha memanjat tangga itu, pas sampai di atas, kita tidak akan menemukan apa-apa.” Tapi, bagaimana kita bisa tahu bahwa tangga yang kita pasang itu memang bersandar pada dinding yang salah? Bukan mustahil bahwa orang lain justru menganggap kitalah yang memasang tangga pada dinding yang salah? Adakah ukuran yang objektif untuk hal ini? Ataukah semuanya malah jadi relatif? Serelatif nilai-nilai etis yang kita pegang?

* * *

Saya tidak setuju kalau dikatakan bahwa semuanya menjadi relatif. Dalam pengertian yang sama saya berpendapat misi dan pekabaran Injil tidak bisa merelatifkan atau mengabaikan nilai-nilai etis. Dan nilai-nilai etis itu harus terwujud di dalam segala tindakan kita. Bahkan setiap pertimbangan kita harus didasarkan pada nilai-nilai etis. Saya pikir Yesus pun setuju bahwa misi-Nya tidak bisa dilakukan tanpa dasar-dasar etis yang kuat. Juga bahwa tujuan yang baik tidak bisa dikompromikan dengan cara-cara yang salah. Kalau memang orang-orang Kristen baru itu harus menderita dan memikul salib karena iman mereka kepada Yesus Kristus, mengapa para misionaris Barat itu bisa begitu saja meninggalkan ladang misi mereka hanya karena mereka memiliki paspor AS atau malah dilindungi oleh pemerintah AS karena mereka adalah warga negara AS? Di sini saya lihat terjadi keadaan yang sangat tidak berimbang.

Saya pikir, andaikata Yesus hadir secara fisik dalam situasi seperti itu, Dia tidak akan lepas tangan atau melarikan diri dari tangan-tangan kekuasaan. Bukankah itu yang dialami-Nya dengan peristiwa salib? Andaikata timbul bahaya dan suatu pemerintah menangkapi orang-orang Kristen baru, dan para misionaris itu malah menempatkan diri mereka sebagai ganti orang-orang Kristen tersebut, maka saya pikir hal itu akan menjadi suatu kesaksian yang indah dan sejati. Di situlah kata dan perbuatan menjadi satu. Di situlah iman kepada Yesus diuji dengan sesungguhnya.

Atau mungkin anda tidak setuju? Mungkin ada yang akan berkata, “Yah, kalau begitu sih, nggak akan ada yang mau menjadi penginjil!” “Wah, itu sih tuntutan yang terlalu berlebihan!” Tapi, Saudara, bukankah itu yang namanya memikul salib? Atau ada yang masih mau menawar? www


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814