:: home :: index ::

 

Minggu, 13/10/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Misi dan Pekabaran Injil (5)
A Better Life or Worse?

Masalah etis seringkali dipecahkan atas dasar untung-rugi semata. Artinya, apa yang dianggap menguntungkan, itulah yang dianggap baik. Dalam perumpamaan Orang Samaria, mungkin pertimbangan yang sama juga muncul pada diri sang imam dan orang Lewi. “Haruskah saya menolong orang yang dirampok itu? Apa jadinya kalau sementara menolong orang itu, saya malah yang dirampok karena rampok itu masih berkeliaran di sekitar tempat itu?” Jadi, daripada malah dirampok, mereka memutuskan untuk meninggalkan sang korban terkapar di jalan.

Pertimbangan etis lainnya adalah soal tujuan akhir. Apakah tujuan akhir itu baik atau buruk? Apakah mencuri itu baik? “Kalau tujuannya baik, ya ndak apa-apa,” begitu kata sebagian orang. Contohnya, kasus Winfred “Robin Hood” Simatupang. ‘Kan Yayasan Raudhatul Jannah itu membagi-bagikan bantuan kepada orang miskin – meskipun majelis hakim tampaknya tidak berhasil diyakinkan tentang hal itu. Atau contoh kasus Akbar-gate yang diduga menjadi ujung pangkal kasus ini. Toh tujuannya membantu kemenangan kelompok dan ujung-ujungnya demi kebaikan republik ini.

Persoalan etis dalam misi dan penginjilan mungkin kadang-kadang dilihat dalam pendekatan di atas: untung-rugi atau tujuan akhir. “Yang penting ‘kan Injil Kristus disebarkan,” begitu kata orang. Rick Love tampaknya sedikit banyak mengikuti cara pertimbangan seperti ini. Di satu pihak ia mengakui bahwa kelompok-kelompok Evangelikal tertentu “tidak bijaksana dalam menyampaikan iman mereka.” Namun, di pihak lain, kalaupun kebenaran harus “diulur”, toh kita salah kalau tidak memberitakan Firman. Jadi, mana yang lebih menguntungkan, itulah yang menjadi dasar pertimbangan.

“Itulah ajaran Alkitab,” Love bersikeras, “karena itu saya tidak bisa bergabung dengan organisasi yang hanya berkonsentrasi pada perbuatan semata.” Menurut pengertian Love, langkanya kebebasan beragama di banyak negara Islam telah memaksa para misionaris menyembunyikan niat mereka yang sejati. “Saya ingin kebebasan dalam membagikan iman saya dengan orang lain tanpa dituntut,” katanya, “dan saya ingin orang lain juga memiliki hak yang sama dengan saya. Seharusnya ini menjadi masalah persuasi, dan bukan kekuatan politik.”

* * *

Pada hari terakhir sesi musim dingin, keadaan berubah menjadi lebih suram di kelas Love. Kali ini pelajaran tentang konsekuensi penginjilan mereka bagi orang-orang yang mendengarnya. Masih ingat tentang Curry dan Mercer yang tertangkap di Afganistan? “Apa yang terjadi pada mereka bukan sesuatu yang asing,” katanya. “Memang kadang-kadang ada yang ditangkap, tapi paling-paling mereka cuma disuruh keluar dari negeri itu. Kita bisa keluar, tetapi orang-orang Kristen yang baru itu, apa yang mereka hadapi? Kehilangan pekerjaan, anak-anak mereka disita pemerintah, penjara, siksaan, bahkan mati syahid.”

Dari semua kritik yang dilontarka kepada para penginjil Kristen itu, masalah terakhir ini paling sulit dibantah: pekerjaan misi mereka seringkali menempatkan orang-orang Kristen setempat dalam bahaya yang besar. “Sudah lazim lembaga-lembaga misi diusir dari negara-negara yang penuh dengan penindasan,” demikian laporan studi intern oleh Gabungan Gereja Baptis Selatan berdasarkan 300 wawancara di 45 negara. “Dalam sekejap mata, orang-orang percaya setempat menjadi miskin dan tidak berdaya.” Studi ini mengutip pengalaman di Indonesia, Banglades, Afganistan dan Pakistan sebagai negara-negara yang paling menindas. Di sebuah komunitas Afrika Timur, orang-orang Kristen baru “secara sistematis diburu dan dibunuh oleh penduduk setempat. Yang lainnya terpaksa harus mengungsi ke kamp-kamp pengungsian, di negara-negara tetangga, atau di Barat.” Kesamaan di antara para korban? “Semua syuhada mempunyai hubungan dengan orang-orang Kristen Barat yang ikut menyebabkan kematian mereka.” Di negara lain yang tidak disebutkan namanya dalam laporan itu, “sejumlah besar orang percaya yang berlatar belakang Islam ditangkap dan disiksa karena hubungan mereka dengan para misionaris Barat.”

Tahir Lavi menjadi Kristen melalui sesi-sesi pendalaman Alkitab rahasia di tengah malam di sebuah madrasah di Kashmir, tempat ia belajar Al Qur’an. Orangtuanya mengusirnya dan ia terpaksa melarikan diri setelah sekelompok orang mengancam untuk membunuhnya. Selama 13 tahun terakhir ia hidup di pengasingan di sebuah rumah kecil di ujung sebuah gang di pemukiman kumuh di Delhi utara, India. Meskipun terancam risiko, ia tetap berkhotbah kepada orang-orang Muslim lainnya, sambil mengimbau mereka dengan ucapan Yesus, “Angkatlah salibmu dan ikutlah Aku.”

Pendekatan seperti ini mungkin didasarkan pada anggapan-anggapan yang saya singgung di atas. “Yang penting tujuannya ‘kan baik,” mungkin pembaca pun ada yang berkata demikian. Yang penting Injil Kristus diberitakan. Saya jadi teringat akan pesan Rasul Paulus dalam Surat Filipi yang mengatakan bahwa yang penting mereka memberitakan Injil Kristus. Apapun juga motifnya, yang penting Injil Kristus diberitakan (Flp. 1:16-19). Atau, boleh jadi juga ada di antara mereka yang merasa bahwa sebagai warga negara surgawi mereka terikat oleh hukum yang lebih tinggi, sehingga hukum dunia menjadi tidak berarti. Bukankah yang ada di dunia ini fana, sementara yang kekal adalah yang berasal dari surga? Jadi, melanggar hukum di dunia tidak apa-apa, selama motivasinya adalah menaati hukum yang lebih tinggi itu. Barangkali itulah sebabnya ada kelompok-kelompok Kristen yang menganggap menyelundupkan Alkitab ke negara-negara yang memusuhi Kekristenan sebagai sesuatu yang oke-oke saja. Benarkah demikian? www


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814