Masalah etis seringkali dipecahkan atas dasar
untung-rugi semata. Artinya, apa yang dianggap menguntungkan, itulah
yang dianggap baik. Dalam perumpamaan Orang Samaria, mungkin
pertimbangan yang sama juga muncul pada diri sang imam dan orang Lewi.
“Haruskah saya menolong orang yang dirampok itu? Apa jadinya kalau
sementara menolong orang itu, saya malah yang dirampok karena rampok
itu masih berkeliaran di sekitar tempat itu?” Jadi, daripada malah
dirampok, mereka memutuskan untuk meninggalkan sang korban terkapar di
jalan.
Pertimbangan etis lainnya adalah soal tujuan
akhir. Apakah tujuan akhir itu baik atau buruk? Apakah mencuri itu
baik? “Kalau tujuannya baik, ya ndak apa-apa,” begitu kata
sebagian orang. Contohnya, kasus Winfred “Robin Hood” Simatupang.
‘Kan Yayasan Raudhatul Jannah itu membagi-bagikan bantuan
kepada orang miskin – meskipun majelis hakim tampaknya tidak
berhasil diyakinkan tentang hal itu. Atau contoh kasus Akbar-gate
yang diduga menjadi ujung pangkal kasus ini. Toh tujuannya membantu
kemenangan kelompok dan ujung-ujungnya demi kebaikan republik ini.
Persoalan etis dalam misi dan penginjilan
mungkin kadang-kadang dilihat dalam pendekatan di atas: untung-rugi
atau tujuan akhir. “Yang penting ‘kan Injil Kristus disebarkan,”
begitu kata orang. Rick Love tampaknya sedikit banyak mengikuti cara
pertimbangan seperti ini. Di satu pihak ia mengakui bahwa
kelompok-kelompok Evangelikal tertentu “tidak bijaksana dalam
menyampaikan iman mereka.” Namun, di pihak lain, kalaupun kebenaran
harus “diulur”, toh kita salah kalau tidak memberitakan Firman.
Jadi, mana yang lebih menguntungkan, itulah yang menjadi dasar
pertimbangan.
“Itulah ajaran Alkitab,” Love bersikeras,
“karena itu saya tidak bisa bergabung dengan organisasi yang hanya
berkonsentrasi pada perbuatan semata.” Menurut pengertian Love,
langkanya kebebasan beragama di banyak negara Islam telah memaksa para
misionaris menyembunyikan niat mereka yang sejati. “Saya ingin
kebebasan dalam membagikan iman saya dengan orang lain tanpa dituntut,”
katanya, “dan saya ingin orang lain juga memiliki hak yang sama
dengan saya. Seharusnya ini menjadi masalah persuasi, dan bukan
kekuatan politik.”
* * *
Pada hari terakhir sesi musim dingin, keadaan
berubah menjadi lebih suram di kelas Love. Kali ini pelajaran tentang
konsekuensi penginjilan mereka bagi orang-orang yang mendengarnya.
Masih ingat tentang Curry dan Mercer yang tertangkap di Afganistan?
“Apa yang terjadi pada mereka bukan sesuatu yang asing,” katanya.
“Memang kadang-kadang ada yang ditangkap, tapi paling-paling mereka
cuma disuruh keluar dari negeri itu. Kita bisa keluar, tetapi
orang-orang Kristen yang baru itu, apa yang mereka hadapi? Kehilangan
pekerjaan, anak-anak mereka disita pemerintah, penjara, siksaan,
bahkan mati syahid.”
Dari semua kritik yang dilontarka kepada para
penginjil Kristen itu, masalah terakhir ini paling sulit dibantah:
pekerjaan misi mereka seringkali menempatkan orang-orang Kristen
setempat dalam bahaya yang besar. “Sudah lazim lembaga-lembaga misi
diusir dari negara-negara yang penuh dengan penindasan,” demikian
laporan studi intern oleh Gabungan Gereja Baptis Selatan berdasarkan
300 wawancara di 45 negara. “Dalam sekejap mata, orang-orang percaya
setempat menjadi miskin dan tidak berdaya.” Studi ini mengutip
pengalaman di Indonesia, Banglades, Afganistan dan Pakistan sebagai
negara-negara yang paling menindas. Di sebuah komunitas Afrika Timur,
orang-orang Kristen baru “secara sistematis diburu dan dibunuh oleh
penduduk setempat. Yang lainnya terpaksa harus mengungsi ke kamp-kamp
pengungsian, di negara-negara tetangga, atau di Barat.” Kesamaan di
antara para korban? “Semua syuhada mempunyai hubungan dengan
orang-orang Kristen Barat yang ikut menyebabkan kematian mereka.” Di
negara lain yang tidak disebutkan namanya dalam laporan itu, “sejumlah
besar orang percaya yang berlatar belakang Islam ditangkap dan disiksa
karena hubungan mereka dengan para misionaris Barat.”
Tahir Lavi menjadi Kristen melalui sesi-sesi
pendalaman Alkitab rahasia di tengah malam di sebuah madrasah di
Kashmir, tempat ia belajar Al Qur’an. Orangtuanya mengusirnya dan ia
terpaksa melarikan diri setelah sekelompok orang mengancam untuk
membunuhnya. Selama 13 tahun terakhir ia hidup di pengasingan di
sebuah rumah kecil di ujung sebuah gang di pemukiman kumuh di Delhi
utara, India. Meskipun terancam risiko, ia tetap berkhotbah kepada
orang-orang Muslim lainnya, sambil mengimbau mereka dengan ucapan
Yesus, “Angkatlah salibmu dan ikutlah Aku.”
Pendekatan seperti ini mungkin didasarkan pada
anggapan-anggapan yang saya singgung di atas. “Yang penting
tujuannya ‘kan baik,” mungkin pembaca pun ada yang berkata
demikian. Yang penting Injil Kristus diberitakan. Saya jadi teringat
akan pesan Rasul Paulus dalam Surat Filipi yang mengatakan bahwa yang
penting mereka memberitakan Injil Kristus. Apapun juga motifnya, yang
penting Injil Kristus diberitakan (Flp. 1:16-19). Atau, boleh jadi
juga ada di antara mereka yang merasa bahwa sebagai warga negara
surgawi mereka terikat oleh hukum yang lebih tinggi, sehingga hukum
dunia menjadi tidak berarti. Bukankah yang ada di dunia ini fana,
sementara yang kekal adalah yang berasal dari surga? Jadi, melanggar
hukum di dunia tidak apa-apa, selama motivasinya adalah menaati hukum
yang lebih tinggi itu. Barangkali itulah sebabnya ada
kelompok-kelompok Kristen yang menganggap menyelundupkan Alkitab ke
negara-negara yang memusuhi Kekristenan sebagai sesuatu yang oke-oke
saja. Benarkah demikian? www