:: home :: index ::

 

Minggu, 06/10/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Misi dan Pekabaran Injil (4)
Being Moslem

TINGKAT resistensi Islam terhadap agama Kristen sangat tinggi, sehingga peralihan dari Islam ke Kristen umumnya sangat rendah. Demikian pula dari berbagai agama besar lainnya, seperti Hindu dan Buddha. Jadi, meskipun Kekristenan sudah hadir di Jepang, misalnya, sejak abad XVI melalui para misionaris Portugis dan Belanda, hingga kini jumlah orang Kristen di negeri itu tidak sampai 1%. Hal yang sama dapat kita jumpai dalam kasus berbagai daerah di Indonesia. Katakanlah, Jawa Barat, tempat kelahiran GKI Jawa Barat dan Gereja Kristen Pasundan. Untuk menghadapi tantangan yang sedemikian berat, banyak misionaris yang berusaha memikirkan strategi yang paling tangguh, misalnya dengan terjun ke dalam budaya masyarakat yang diinjili.

Rick Love membuka kitab Kisah para Rasul di dalam Alkitabnya. Di bagian yang dibukanya itu dikisahkan bagaimana Rasul Paulus mengajak seorang muridnya yang bernama Timotius dalam salah satu perjalanan misinya. Sebelum mereka melakukan perjalanan itu, Paulus menyuruh menyunatkan dia “karena orang-orang Yahudi di daerah itu, sebab setiap orang tahu bahwa bapanya adalah orang Yunani” (Kis. 16:3). “Dia bilang, ‘Hei, Tim, kamu mau ikut saya? Kamu harus disunat, lho.’” Kata Love kepada seluruh mahasiswanya. “Itu baru namanya tantangan. Wah!”

Love tidak menganjurkan agar mahasiswanya yang laki-laki menyunatkan diri. Maksudnya yang lebih penting ialah: untuk “memenangkan jiwa” di budaya asing, orang harus berperilaku sesuai dengan budaya itu, termasuk ritual-ritual dalam agama lain. Hal ini disebut “kontekstualisasi,” sebuah topik yang hangat di kalangan misionaris. Dalam pendekatan ini, para misionaris diharuskan menyisihkan segala praktek Kekristenan gaya Amerika, termasuk bangku-bangku kayu dalam kebaktian dan nyanyian rohani Barat. Sebaliknya, mereka harus mengambil nama Muslim, memakai jilbab dan pakaian setempat lainnya, ikut sembahyang dan bahkan berpuasa pada bulan Ramadhan. “Kita harus menjadi Muslim agar bisa menjangkau orang Muslim,” kata Cashin, profesor di CIU. Pendekatan ini, mau tidak mau, mengingatkan saya akan Dr. Snouck Hurgronje, penasihat militer Gubernur Jenderal Belanda, yang terkenal dengan penelitiannya di Aceh untuk mengalahkan Cut Nyak Dien dan tentaranya.

Kalau seorang penginjil abad pertama merelakan dirinya disunat untuk memperoleh anggota baru, seberapa jauh seorang misionaris abad XXI berani melangkah? Pada waktu makan siang, Christian Dedrick mengambil sesendok sup brokoli masakan istrinya dan merenungkan pertanyaan ini. “Apakah kita harus menyebut diri kita Muslim? tanyanya. “Arti kata ini yang sesungguhnya adalah ‘orang yang menyerahkan diri.’ Di Yordania, para misionaris mendirikan ‘masjid Yesus’. Mereka menyebut diri ‘Muslim al-Masih.’ Kami bergumul dengan masalah ini. Kami ingin menyebut ‘Allah’ sebagai nama untuk Tuhan, sehingga kami dapat membangun hubungan dengan orang-orang Muslim.”

Dedrick mencoba menarik batas agar tidak terlihat terlalu Muslim. Tetapi misionaris lainnya tidak. “Sebuah tim di Timur Tengah mengambil kebijakan untuk tidak mengizinkan para misionarisnya mengidentifikasikan diri sebagai orang Kristen,” demikian laporan dalam Evangelical Missions Quarterly. Sebuah tim lainnya “menyebut diri mereka Yesus-is” dan menampilkan diri sebagai “salah satu aliran Sufi atau derwis.” Missiology mengatakan bahwa para misionaris menganjurkan agar mahasiswa-mahasiswa Palestina menerima iman Kristen, namun tetap menyebut diri mereka Muslim.

Ketika didesak, kaum evangelikal mengakui bahwa mereka sering mengaburkan perbedaan di antara kedua agama ini dan tidak mau mengutarakan maksud-maksud mereka. “Batas antara menipu kecerdikan dan menahan informasi sangatlah tipis,” kata salah seorang misionaris di CIU yang tidak mau menyebutkan identitasnya karena alasan-alasan keamanan. Ia mengaku bahwa ia jarang sekali mengatakan kepada tetangga-tetangganya yang Muslim, mengapa ia tinggal di antara mereka. Ia hanya mengaku sebagai “mahasiswa bahasa”. Ia terpaksa memutuskan hubungan persahabatannya dengan mereka yang terlalu banyak bertanya. “Sungguh suatu tantangan untuk memelihara integritas dalam keadaan seperti itu,” katanya.

Banyak pemimpin Muslim dan Kristen yang yakin bahwa kelompok-kelompok evangelikal seperti itu seringkali gagal dalam menghadapi tantangan integritas. “Begitu orang menemukan bahwa mereka tidak jujur, rasa hormat terhadap yang suci pun hilang,” kata Sayyid Syed, sekretaris jenderal Perhimpunan Islam di America Utara. Ritual-ritual suci, seperti sujud dan puasa di bulan Ramadhan, digunakan untuk memikat orang agar menjauhi agama mereka. “Kaum misionaris itu,” kata Syeed, “dilihat sebagai orang yang menikam dari belakang.”

Bagi Donna Derr, masalah kejujuran ini bukanlah sesuatu yang abstrak. Derr telah lama melayani sebagai salah satu direktur dalam menghadapi permintaan bantuan darurat internasional untuk Church World Service, yang melayani di lebih dari 80 negara dan melarang kristenisasi. Dari perspektifnya, orang-orang Kristen yang menginjili dengan menyamar sebagai tenaga kemanusiaan, mempersulit lembaga-lembaga bantuan yang sah dalam melayani negara-negara dan masyarakat yang dilanda kemiskinan, kurang gizi dan penyakit. “Kelompok-kelompok itu membuat kami seolah-olah sama dengan mereka,” kata Derr. Akibatnya, lembaga-lembaga seperti CWS seringkali sulit memperoleh kepercayaan untuk melayani mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan kemanusiaan. “Kami sulit mendapatkan izin masuk,” kata Derr, “karena sebelumnya ada yang pernah mencoba mendirikan sebuah Gereja Kristen. Kata mereka, ‘Oh, nama kalian ‘kan ‘Church World Service.’ Jadi, pasti kalian ingin melakukan hal yang sama.”

Catholic Relief Service menciptakan sebuah model yang banyak diikuti oleh kelompok-kelompok Kristen arus utama dengan melayani mereka yang membutuhkan bantuan tanpa secara aktif mencari orang Kristen baru. CRS membagikan makanan dan selimut di Afganistan, membangun sistem air minum di Maroko, mengembangkan usaha kecil di antara kaum perempuan Mesir tanpa mencoba mengkatolikkan orang-orang Muslim. “Kami mencerminkan keyakinan kami melalui perbuatan, dalam hubungan kami, dalam rasa hormat kami kepada orang lain,” kata Ken Hackett, direktur lembaga itu. “Kami bahkan tidak meminta staf kami untuk beralih agama. Kalau anda seorang Muslim yang baik, anda adalah seorang Muslim yang baik.” www


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814