TINGKAT resistensi
Islam terhadap agama Kristen sangat tinggi, sehingga peralihan dari
Islam ke Kristen umumnya sangat rendah. Demikian pula dari berbagai
agama besar lainnya, seperti Hindu dan Buddha. Jadi, meskipun
Kekristenan sudah hadir di Jepang, misalnya, sejak abad XVI melalui
para misionaris Portugis dan Belanda, hingga kini jumlah orang Kristen
di negeri itu tidak sampai 1%. Hal yang sama dapat kita jumpai dalam
kasus berbagai daerah di Indonesia. Katakanlah, Jawa Barat, tempat
kelahiran GKI Jawa Barat dan Gereja Kristen Pasundan. Untuk menghadapi
tantangan yang sedemikian berat, banyak misionaris yang berusaha
memikirkan strategi yang paling tangguh, misalnya dengan terjun ke
dalam budaya masyarakat yang diinjili.
Rick Love membuka kitab
Kisah para Rasul di dalam Alkitabnya. Di bagian yang dibukanya itu
dikisahkan bagaimana Rasul Paulus mengajak seorang muridnya yang
bernama Timotius dalam salah satu perjalanan misinya. Sebelum mereka
melakukan perjalanan itu, Paulus menyuruh menyunatkan dia “karena
orang-orang Yahudi di daerah itu, sebab setiap orang tahu bahwa
bapanya adalah orang Yunani” (Kis. 16:3). “Dia bilang, ‘Hei,
Tim, kamu mau ikut saya? Kamu harus disunat, lho.’” Kata Love
kepada seluruh mahasiswanya. “Itu baru namanya tantangan. Wah!”
Love tidak menganjurkan
agar mahasiswanya yang laki-laki menyunatkan diri. Maksudnya yang
lebih penting ialah: untuk “memenangkan jiwa” di budaya asing,
orang harus berperilaku sesuai dengan budaya itu, termasuk
ritual-ritual dalam agama lain. Hal ini disebut “kontekstualisasi,”
sebuah topik yang hangat di kalangan misionaris. Dalam pendekatan ini,
para misionaris diharuskan menyisihkan segala praktek Kekristenan gaya
Amerika, termasuk bangku-bangku kayu dalam kebaktian dan nyanyian
rohani Barat. Sebaliknya, mereka harus mengambil nama Muslim, memakai
jilbab dan pakaian setempat lainnya, ikut sembahyang dan bahkan
berpuasa pada bulan Ramadhan. “Kita harus menjadi Muslim agar bisa
menjangkau orang Muslim,” kata Cashin, profesor di CIU. Pendekatan
ini, mau tidak mau, mengingatkan saya akan Dr. Snouck Hurgronje,
penasihat militer Gubernur Jenderal Belanda, yang terkenal dengan
penelitiannya di Aceh untuk mengalahkan Cut Nyak Dien dan tentaranya.
Kalau seorang penginjil
abad pertama merelakan dirinya disunat untuk memperoleh anggota baru,
seberapa jauh seorang misionaris abad XXI berani melangkah? Pada waktu
makan siang, Christian Dedrick mengambil sesendok sup brokoli masakan
istrinya dan merenungkan pertanyaan ini. “Apakah kita harus menyebut
diri kita Muslim? tanyanya. “Arti kata ini yang sesungguhnya adalah
‘orang yang menyerahkan diri.’ Di Yordania, para misionaris
mendirikan ‘masjid Yesus’. Mereka menyebut diri ‘Muslim al-Masih.’
Kami bergumul dengan masalah ini. Kami ingin menyebut ‘Allah’
sebagai nama untuk Tuhan, sehingga kami dapat membangun hubungan
dengan orang-orang Muslim.”
Dedrick mencoba menarik
batas agar tidak terlihat terlalu Muslim. Tetapi misionaris lainnya
tidak. “Sebuah tim di Timur Tengah mengambil kebijakan untuk tidak
mengizinkan para misionarisnya mengidentifikasikan diri sebagai orang
Kristen,” demikian laporan dalam Evangelical Missions Quarterly. Sebuah
tim lainnya “menyebut diri mereka Yesus-is” dan menampilkan diri
sebagai “salah satu aliran Sufi atau derwis.” Missiology mengatakan
bahwa para misionaris menganjurkan agar mahasiswa-mahasiswa Palestina
menerima iman Kristen, namun tetap menyebut diri mereka Muslim.
Ketika didesak, kaum
evangelikal mengakui bahwa mereka sering mengaburkan perbedaan di
antara kedua agama ini dan tidak mau mengutarakan maksud-maksud mereka.
“Batas antara menipu kecerdikan dan menahan informasi sangatlah
tipis,” kata salah seorang misionaris di CIU yang tidak mau
menyebutkan identitasnya karena alasan-alasan keamanan. Ia mengaku
bahwa ia jarang sekali mengatakan kepada tetangga-tetangganya yang
Muslim, mengapa ia tinggal di antara mereka. Ia hanya mengaku sebagai
“mahasiswa bahasa”. Ia terpaksa memutuskan hubungan
persahabatannya dengan mereka yang terlalu banyak bertanya. “Sungguh
suatu tantangan untuk memelihara integritas dalam keadaan seperti itu,”
katanya.
Banyak pemimpin Muslim
dan Kristen yang yakin bahwa kelompok-kelompok evangelikal seperti itu
seringkali gagal dalam menghadapi tantangan integritas. “Begitu
orang menemukan bahwa mereka tidak jujur, rasa hormat terhadap yang
suci pun hilang,” kata Sayyid Syed, sekretaris jenderal Perhimpunan
Islam di America Utara. Ritual-ritual suci, seperti sujud dan puasa di
bulan Ramadhan, digunakan untuk memikat orang agar menjauhi agama
mereka. “Kaum misionaris itu,” kata Syeed, “dilihat sebagai
orang yang menikam dari belakang.”
Bagi Donna Derr,
masalah kejujuran ini bukanlah sesuatu yang abstrak. Derr telah lama
melayani sebagai salah satu direktur dalam menghadapi permintaan
bantuan darurat internasional untuk Church World Service, yang
melayani di lebih dari 80 negara dan melarang kristenisasi. Dari
perspektifnya, orang-orang Kristen yang menginjili dengan menyamar
sebagai tenaga kemanusiaan, mempersulit lembaga-lembaga bantuan yang
sah dalam melayani negara-negara dan masyarakat yang dilanda
kemiskinan, kurang gizi dan penyakit. “Kelompok-kelompok itu membuat
kami seolah-olah sama dengan mereka,” kata Derr. Akibatnya,
lembaga-lembaga seperti CWS seringkali sulit memperoleh kepercayaan
untuk melayani mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan kemanusiaan.
“Kami sulit mendapatkan izin masuk,” kata Derr, “karena
sebelumnya ada yang pernah mencoba mendirikan sebuah Gereja Kristen.
Kata mereka, ‘Oh, nama kalian ‘kan ‘Church World Service.’
Jadi, pasti kalian ingin melakukan hal yang sama.”
Catholic Relief Service
menciptakan sebuah model yang banyak diikuti oleh kelompok-kelompok
Kristen arus utama dengan melayani mereka yang membutuhkan bantuan
tanpa secara aktif mencari orang Kristen baru. CRS membagikan makanan
dan selimut di Afganistan, membangun sistem air minum di Maroko,
mengembangkan usaha kecil di antara kaum perempuan Mesir tanpa mencoba
mengkatolikkan orang-orang Muslim. “Kami mencerminkan keyakinan kami
melalui perbuatan, dalam hubungan kami, dalam rasa hormat kami kepada
orang lain,” kata Ken Hackett, direktur lembaga itu. “Kami bahkan
tidak meminta staf kami untuk beralih agama. Kalau anda seorang Muslim
yang baik, anda adalah seorang Muslim yang baik.” www