Tom Seckler, misalnya, suatu pagi datang dengan bendera Kamboja di
tangannya. Bendera itu ditancapkannya ke papan pengumuman di kelasnya.
Kemudian ia membentangkan peta negara itu di OHP. World Team, lembaga
misi yang mensponsori Seckler, menargetkan Cham Barat, sebuah kelompok
minoritas Muslim Kamboja yang banyak menderita di bawah pemerintah
Khmer Merah. Ribuan orang anggota kelompok ini mati dibantai rezim Pol
Pot itu. Meskipun telah berusaha dengan sangat keras, Seckle
memperkirakan hanya 25 orang yang berhasil dikristenkan. Sebagian dari
mereka berkumpul setiap Selasa malam di Phnom Pehnh. “Berdoalah
untuk orang-orang Cham ini,” Seckler meminta kepada teman-teman
sekelasnya. “Suku Cham merasa bahwa mereka sudah benar. Mereka pikir
mereka okay. Kami tidak melihat kehausan rohani yang besar di antara
mereka.”
Kelas itu kemudian dibuka dengan ibadah. Setiap mata ditutup,
setiap mahasiswa mengajukan permohonan spontan. “Tuhan, kami datang
ke hadiratmu dan kami memohon agar kiranya Engkau memberikan kepada
kami pemahaman yang baru akan beban-Mu dan kasih-Mu untuk orang-orang
Muslim, khususnya suku Cham,” demikian permohonan Rick Love, dosen
penginjilan di CIU dan direktur internasional Frontiers. Lalu ia
terdiam. Brent McHugh melanjutkan doanya: “Saya memohon, ya Tuhan,
agar suku Cham ini menjadi haus, dan sadar akan apa yang tidak mereka
miliki karena Kristus.”
Doa yang bernada anti-Islam ini mencerminkan sikap resmi CIU
terhadap Islam yang dianggapnya sebagai agama saingan. Dalam web-site
sekolah ini tercantum sebuah esai yang dipasang tak lama sesudah
September 11 tahun lalu. “Mengatkaan bahwa ‘Islam’ berarti ‘damai’
hanyalah sebuah cara lain untuk menyesatkan publik,” demikian
tertulis di situ. “Para pemimpin Muslim telah banyak berbicara
tentang rencana mereka untuk menyebarkan Islam di Barat sehingga Islam
menjadi kekuatan dunia yang dominan.” Esai ini ditulis oleh Warren
Larson, kepala program Studi Muslim di universitas itu, dan yang
menjadi mentor John Weaver, misionaris di Afganistan. Larson sendiri
pernah menjadi misionaris dan ia kuatir bahwa Kekristenan akan kalah
dalam persaingan untuk mendominasi dunia. “Islam akan menguasai
dunia secara biologis,” katanya. “Mereka lebih cepat memproduksi
bayi-bayi dari kita.”
Sebelum datang ke CIU, Larson bekerja selama 23 tahun di Dera Chazi
Khan di Pakistan, untuk mencoba mengkristenkan orang-orang Muslim di
sana. Ia dan istrinya menyelenggarakan persekutuan doa, pemahaman
Alkitab, dan pertemuan-pertemuan informal di rumah mereka. Orang-orang
Muslim datang untuk minum teh dan coca-cola. Banyak dari tetangganya
yang datang untuk belajar tentang agama keluarga Larson itu, tetapi
umumnya hanya karena alasan praktis. “Orang berpikir kami orang
asing punya banyak uang,” kata Larson. “Banyak dari mereka yang
datang dengan anggapan bahwa kami bisa menolong mereka untuk pergi ke
AS. Atau mereka minta tolong, ‘Ayah saya sakit. Apakah anda bisa
menuliskan surat pengantar untuk ke rumah sakit?’ Sebagian rela
berbicara tentang Kekristenan, namun kebanyakan dari mereka tidak mau.”
Menurut standar lokal, keluarga Larson memang kaya. Mereka
mempunyai pelayan orang-orang Muslim, dan berbagai peralatan rumah
tangga yang tergolong mewah untuk masyarakat sekitar, seperti kulkas
misalnya. Sementara mereka terlibat dalam pelayanan masyarakat –
mengunjungi para janda, mengantarkan orang ke dokter – tetangga
umumnya masih memandang mereka sebagai perwujudan Barat. Suatu pagi,
sekitar 200 orang Muslim bersenjata menyerang rumah keluarga Larson,
melempari batu pada dua mobil Land Rovernya, menendang-nendang pintu
rumahnya, dan membakar berbagai literatur agama. Setelah itu, kata
Larson, “Setiap kali kami mendengar kerusuhan, kami merasa takut.”
Serangan di rumah Larson terjadi di tengah-tengah memuncaknya rasa
anti AS di dunia Muslim yang berpuncak dengan pendudukan Kedubes AS di
Iran tahun 1979. Dan sekitar peringatan setahun tragedi 11 September,
sejumlah pengamat mengatakan bahwa para penginjil ini kembali
membangkitkan kecurigaan dan kebencian terhadap orang-orang Barat.
Bulan Oktober tahun lalu, sejumlah militan Muslim menembaki sebuah
gereja yang dibangun oleh para misionaris di Pakistan, dan
mengakibatkan matinya 16 orang Kristen. Sementara di Filipina para
pemberontak Muslim mengancam untuk membunuh dua orang misionaris yang
diculik.
* * *
“Masalahnya di sini adalah hubungan antara dua kekuatan yang
tidak seimbang,” kata Ibrahim Hooper, juru bicara Dewan Hubungan
America-Islam, yang berbasis di Washington, D.C. Lembaga ini berusaha
untuk menciptakan citra positif umat Muslim di AS. “Mereka
menggunakan sumber daya dan dana mereka untuk memaksa orang melakukan
apa saja yang mereka ingini.” Hooper teringat suatu kali ia membaca
sebuah proposal dari yayasan Kristen untuk mengirimkan sejumlah dokter
hewan untuk menolong para peternak sapi Fulani yang miskin di Afrika
Barat. Tetapi ada udang di balik batu dalam proposal itu: “Kami
tidak akan mengirimkan dokter hewan itu, apabila para misionaris tidak
diizinkan ikut serta.” “Bila orang terdesak, mereka akan melakukan
apa saja yang sesungguhnya tidak mereka ingini,” kata Hooper.
Pada awal 1990-an, sekitar 200 organisasi berusaha membantu
mengatasi bencana kelaparan di Somali yang diporak-porandakan
peperangan. “Keadaannya sungguh-sungguh sangat berbahaya,” kata
Robert Macpherson, yang saat itu bekerja sebagai anggota Marinir AS.
“Kaum evangelikal membuat keadaannya menjadi sangat parah ketika
mereka muncul di tempat-tempat pembagian makanan untuk membagikan
berbagai tulisan Kristen. Seolah-olah semua bahan makanan itu
berkaitan dengan kristenisasi.” “Hal berikutnya yang terjadi,
mereka terjebak dalam kerusuhan,” kata Macpherson. Terpicu oleh
kemarahan terhadap para misionaris tersebut, orang-orang Somali itu
memanjat ke truk-truk makanan dan membakarnya. “Mereka berada dalam
krisis. Ini keadaan darurat,” katanya.
Etiskah strategi penginjilan seperti ini?