:: home :: index ::

 

Minggu, 29/09/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Misi dan Pekabaran Injil (3)
Ketika Etika Diabaikan

Mahasiswa-mahasiswa yang datang ke Columbia International University di South Carolina bukanlah orang-orang baru dalam penginjilan. Mereka umumnya mempunyai banyak pengalaman bekerja di berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Dan mereka datang dengan satu persepsi yang sama: Kekristenan adalah satu-satunya kebenaran dan semua agama lainnya adalah ciptaan iblis.

Tom Seckler, misalnya, suatu pagi datang dengan bendera Kamboja di tangannya. Bendera itu ditancapkannya ke papan pengumuman di kelasnya. Kemudian ia membentangkan peta negara itu di OHP. World Team, lembaga misi yang mensponsori Seckler, menargetkan Cham Barat, sebuah kelompok minoritas Muslim Kamboja yang banyak menderita di bawah pemerintah Khmer Merah. Ribuan orang anggota kelompok ini mati dibantai rezim Pol Pot itu. Meskipun telah berusaha dengan sangat keras, Seckle memperkirakan hanya 25 orang yang berhasil dikristenkan. Sebagian dari mereka berkumpul setiap Selasa malam di Phnom Pehnh. “Berdoalah untuk orang-orang Cham ini,” Seckler meminta kepada teman-teman sekelasnya. “Suku Cham merasa bahwa mereka sudah benar. Mereka pikir mereka okay. Kami tidak melihat kehausan rohani yang besar di antara mereka.”

Kelas itu kemudian dibuka dengan ibadah. Setiap mata ditutup, setiap mahasiswa mengajukan permohonan spontan. “Tuhan, kami datang ke hadiratmu dan kami memohon agar kiranya Engkau memberikan kepada kami pemahaman yang baru akan beban-Mu dan kasih-Mu untuk orang-orang Muslim, khususnya suku Cham,” demikian permohonan Rick Love, dosen penginjilan di CIU dan direktur internasional Frontiers. Lalu ia terdiam. Brent McHugh melanjutkan doanya: “Saya memohon, ya Tuhan, agar suku Cham ini menjadi haus, dan sadar akan apa yang tidak mereka miliki karena Kristus.”

Doa yang bernada anti-Islam ini mencerminkan sikap resmi CIU terhadap Islam yang dianggapnya sebagai agama saingan. Dalam web-site sekolah ini tercantum sebuah esai yang dipasang tak lama sesudah September 11 tahun lalu. “Mengatkaan bahwa ‘Islam’ berarti ‘damai’ hanyalah sebuah cara lain untuk menyesatkan publik,” demikian tertulis di situ. “Para pemimpin Muslim telah banyak berbicara tentang rencana mereka untuk menyebarkan Islam di Barat sehingga Islam menjadi kekuatan dunia yang dominan.” Esai ini ditulis oleh Warren Larson, kepala program Studi Muslim di universitas itu, dan yang menjadi mentor John Weaver, misionaris di Afganistan. Larson sendiri pernah menjadi misionaris dan ia kuatir bahwa Kekristenan akan kalah dalam persaingan untuk mendominasi dunia. “Islam akan menguasai dunia secara biologis,” katanya. “Mereka lebih cepat memproduksi bayi-bayi dari kita.”

Sebelum datang ke CIU, Larson bekerja selama 23 tahun di Dera Chazi Khan di Pakistan, untuk mencoba mengkristenkan orang-orang Muslim di sana. Ia dan istrinya menyelenggarakan persekutuan doa, pemahaman Alkitab, dan pertemuan-pertemuan informal di rumah mereka. Orang-orang Muslim datang untuk minum teh dan coca-cola. Banyak dari tetangganya yang datang untuk belajar tentang agama keluarga Larson itu, tetapi umumnya hanya karena alasan praktis. “Orang berpikir kami orang asing punya banyak uang,” kata Larson. “Banyak dari mereka yang datang dengan anggapan bahwa kami bisa menolong mereka untuk pergi ke AS. Atau mereka minta tolong, ‘Ayah saya sakit. Apakah anda bisa menuliskan surat pengantar untuk ke rumah sakit?’ Sebagian rela berbicara tentang Kekristenan, namun kebanyakan dari mereka tidak mau.”

Menurut standar lokal, keluarga Larson memang kaya. Mereka mempunyai pelayan orang-orang Muslim, dan berbagai peralatan rumah tangga yang tergolong mewah untuk masyarakat sekitar, seperti kulkas misalnya. Sementara mereka terlibat dalam pelayanan masyarakat – mengunjungi para janda, mengantarkan orang ke dokter – tetangga umumnya masih memandang mereka sebagai perwujudan Barat. Suatu pagi, sekitar 200 orang Muslim bersenjata menyerang rumah keluarga Larson, melempari batu pada dua mobil Land Rovernya, menendang-nendang pintu rumahnya, dan membakar berbagai literatur agama. Setelah itu, kata Larson, “Setiap kali kami mendengar kerusuhan, kami merasa takut.”

Serangan di rumah Larson terjadi di tengah-tengah memuncaknya rasa anti AS di dunia Muslim yang berpuncak dengan pendudukan Kedubes AS di Iran tahun 1979. Dan sekitar peringatan setahun tragedi 11 September, sejumlah pengamat mengatakan bahwa para penginjil ini kembali membangkitkan kecurigaan dan kebencian terhadap orang-orang Barat. Bulan Oktober tahun lalu, sejumlah militan Muslim menembaki sebuah gereja yang dibangun oleh para misionaris di Pakistan, dan mengakibatkan matinya 16 orang Kristen. Sementara di Filipina para pemberontak Muslim mengancam untuk membunuh dua orang misionaris yang diculik.

* * *

“Masalahnya di sini adalah hubungan antara dua kekuatan yang tidak seimbang,” kata Ibrahim Hooper, juru bicara Dewan Hubungan America-Islam, yang berbasis di Washington, D.C. Lembaga ini berusaha untuk menciptakan citra positif umat Muslim di AS. “Mereka menggunakan sumber daya dan dana mereka untuk memaksa orang melakukan apa saja yang mereka ingini.” Hooper teringat suatu kali ia membaca sebuah proposal dari yayasan Kristen untuk mengirimkan sejumlah dokter hewan untuk menolong para peternak sapi Fulani yang miskin di Afrika Barat. Tetapi ada udang di balik batu dalam proposal itu: “Kami tidak akan mengirimkan dokter hewan itu, apabila para misionaris tidak diizinkan ikut serta.” “Bila orang terdesak, mereka akan melakukan apa saja yang sesungguhnya tidak mereka ingini,” kata Hooper.

Pada awal 1990-an, sekitar 200 organisasi berusaha membantu mengatasi bencana kelaparan di Somali yang diporak-porandakan peperangan. “Keadaannya sungguh-sungguh sangat berbahaya,” kata Robert Macpherson, yang saat itu bekerja sebagai anggota Marinir AS. “Kaum evangelikal membuat keadaannya menjadi sangat parah ketika mereka muncul di tempat-tempat pembagian makanan untuk membagikan berbagai tulisan Kristen. Seolah-olah semua bahan makanan itu berkaitan dengan kristenisasi.” “Hal berikutnya yang terjadi, mereka terjebak dalam kerusuhan,” kata Macpherson. Terpicu oleh kemarahan terhadap para misionaris tersebut, orang-orang Somali itu memanjat ke truk-truk makanan dan membakarnya. “Mereka berada dalam krisis. Ini keadaan darurat,” katanya.

Etiskah strategi penginjilan seperti ini? www


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814