:: home :: index ::

 

Minggu, 29/09/2002

Pakai Leksionari Demi Keutuhan

Istilah “leksionari” ini boleh dibilang masih asing di telinga kita. Padahal ada rencana untuk menggunakannya dalam liturgi baru GKI yang akan diperkenalkan dan diuji coba dalam waktu dekat ini.

Leksionari berasal dari bahasa Latin lectionarium, yang berarti penyusunan pembacaan Alkitab. Pembacaan yang dilakukan setiap kalinya terdiri dari: Perjanjian Lama, Mazmur, Surat Rasul, serta Injil. Keempat bagian itu dipahami sebagai pola dasar sebuah perayaan liturgi menurut kalender gereja.

Pembacaan Perjanjian Lama dan pendarasan puji-pujian dari Mazmur jelas merupakan lanjutan dari tradisi Yahudi, sementara pembacaan surat-surat Rasul adalah kebiasaan gereja mula-mula. Pembacaan Injil jelas merupakan inti dari tradisi Kristen sejak abad ke-2. Pada awalnya Injil hanya dibacakan pada saat Paska dan Pentakosta, tapi kemudian semakin sering dibacakan pada setiap pertemuan ibadah umat percaya.

Pembacaan empat (atau tiga, apabila Mazmur tidak dianggap sebagai pembacaan melainkan sebagai pujian) bagian Alkitab ini dilakukan secara berulang setiap tiga tahun sekali. Sengaja diatur setiap tiga tahun, karena Injil Sinoptik terdiri dari tiga kitab: Matius, Markus, dan Lukas. Tahun pertama biasa menjadi Tahun Matius, tahun kedua menjadi Tahun Markus, dan tahun ketiga adalah Tahun Lukas. Semua pembacaan Injil itu, dilihat hubungannya baik dengan Perjanjian Lama maupun dengan surat-surat Rasul. Setelah tahun ketiga, pembacaan kembali lagi ke tahun pertama. Karena itu leksionari mampu memberikan semacam kurikulum yang lengkap dan terencana.

Apakah tidak bosan kalau begitu? Menurut Pdt. Rasid Rachman, pengulangan tiga tahun sekali tidak akan membosankan. Sebaliknya pengulangan itu justru akan semakin memperdalam pemahaman umat mengenai Firman Tuhan. “Istilahnya axis mundi,” katanya. “Atau poros bumi. Mirip bor yang setiap kali berputar membuat lubang semakin dalam.” Masuk akal juga. Jangankan tiga tahun, kotbah minggu kemarin saja sering kali kita sudah lupa.

Lagi pula, selama ini kelemahan dari ibadah kita adalah tidak adanya kurikulum yang jelas. Berbeda dengan Sekolah Minggu, misalnya, yang punya kurikulum tiga tahunan. Hanya saja kurikulum Sekolah Minggu didasarkan pada tahun pelajaran, bukan jumlah Injil.

Sumber: Rasid Rahman “Perlunya Penyusunan Pembacaan Alkitab”, Jurnal Penuntun, Vol. 5, No. 18, 2002


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814