Padahal dua tokoh reformasi yang paling
berpengaruh, Martin Luther (1483-1546) dan Johannes Calvin (1509-1564)
pada awalnya bahkan tidak bermaksud menciptakan liturgi Protestan yang
baru, yang terpisah sama sekali dari liturgi gereja Katholik Roma.
Yang mereka lakukan adalah pembaruan di bidang teologi. Tentu saja
dalam praktiknya, pembaruan teologi berdampak juga pada urusan liturgi.
Namun urusan pembaruan liturgi itu bukan dalam arti membuat liturgi
baru, melainkan lebih pada upaya mengembalikan kepada bentuknya yang
semula.
Ada kesan kuat bahwa pembaruan yang
dilakukan oleh para reformator itu adalah upaya mengembalikan
praktik-praktik liturgis yang “kurang pas” dari gereja Katholik
Roma pada waktu itu, kepada bentuk liturgi gereja abad pertengahan,
yang dirasakan lebih dekat dengan bentuk asli ibadah zaman Alkitab.
Ambil contoh pembaruan yang dilakukan
Calvin. Menurutnya, tidak menjadi soal apakah roti perjamuan diterima
umat dengan tangan atau tidak; tidak jadi soal juga, apakah roti
dibagikan melalui umat atau langsung dari imam; apakah rotinya dibuat
dengan ragi atau tanpa ragi (hal ini pernah dipersoalkan antara gereja
Katholik Roma dan gereja Orthodoks Timur); cawan anggur dikembalikan
kepada diaken atau bisa langsung diserahkan kepada umat yang duduk di
sebelahnya; apakah anggur yang dipakai dalam perjamuan itu merah atau
putih. Bagi Calvin hal-hal yang tidak mendasar secara teologis itu
tidak terlalu menjadi persoalan, dan tidak perlu diterapkan secara
kaku di dalam ibadah, seperti yang diwajibkan pada masa itu.
Perubahan pada liturgi Protestan justru
terjadi setelah wafatnya John Wesley (1791). Para pengikut Wesley di
Inggris, mengadakan penyederhanaan besar-besaran terhadap liturgi
gereja Anglikan. Rasid Rachman mengatakan bahwa tindakan itu adalah
“pemiskinan dan perombakan” terhadap liturgi Wesley. “Unsur-unsur
tradisional dihilangkan secara naif oleh beberapa pengikut yang hanya
tertarik dengan gaya rohani Wesley, ketimbang teologinya dan
kerinduannya untuk tetap di dalam jalur Anglikan,” ujar Rasid. Sejak
saat itu warna devosional-personal sangat berpengaruh pada
gereja-gereja Metodis. Kuatnya warna personal itu (dibandingkan dengan
warna komunal) semakin mendapatkan bentuk seriring dengan munculnya
liturgi injili yang melulu menekankan semangat go and preach,
serta sangat mengutamakan kotbah, doa-doa bebas, serta
nyanyian-nyanyian yang bersifat emosi pribadi. Akibatnya, liturgi saat
itu menjadi sangat verbalistik.
Kondisi itu sejalan dengan apa yang
terjadi di lingkungan gereja Calvinis Belanda, yang lebih mengikuti
Zwingli dan Farel ketimbang Calvin sendiri. Gereja Belanda juga
memberi penekanan yang lebih besar pada urusan kotbah (verbal)
ketimbang sakramen. Padahal Calvin sangat menekankan penting-nya
sakramen—yang baginya, harus dilakukan pada setiap ibadah, kotbah
dan sakramen, Pelayanan Firman dan Pelayanan Meja, harus berjalan
seiring.
Pada masa-masa sesudahnya berbagai
macam pengaruh masuk dalam kehidupan gereja. Pdt. H.A. van Dop, dosen
Liturgi dan Musik Gereja di STT Jakarta mencatat adanya pengaruh kuat
dari rasionalisme, individualisme, dan pietisme dalam kehidupan gereja
Belanda. Ditambah juga dengan liberalisme modern, fundamentalisme
(yang merupakan reaksi atas liberalisme itu), serta maraknya
evangelikalisme gaya Amerika, yang sangat kentara dalam lagu-lagu yang
digunakan.
Semua itu menjadikan “liturgi gereja
Protestan” semakin jauh dari akarnya. Lagipula, sifat devosional-personal
yang kuat sejak abad ke-18 (hingga sekarang), membuat masing-masing
denominasi dengan gampang menentukan sendiri liturgi yang mereka sukai—seringkali
tanpa pemahaman yang cukup tentang teologi dan sejarah liturgi itu
sendiri.
Namun demikian, van Dop dan Rasid
melihat, banyak gereja sejak 50 tahun belakangan ini mulai tertarik
pada urusan pembaruan liturgi. “Ini disebabkan oleh komunikasi
oikumenis yang mewarnai sejarah gereja sepanjang abad yang lalu,”
ujar van Dop. Maka, para tokoh-tokoh gereja yang berorientasi
oikumenis, mencari jalan untuk bersama umat menghayati spiritualitas
dan ibadah secara bersama-sama. Karena semangat itu jugalah, sejarah
liturgi digali kembali guna mencari unsur-unsur liturgi yang lebih
melibatkan peran umat. Selama ini diakui bahwa liturgi yang ada
kelewat pendeta sentris. “Makanya ibadah jadi terasa kering,” ujar
van Dop seraya memberikan contoh beberapa contoh seperti sirnanya
ibadah harian, peran anak-anak dan orang lain dalam liturgi sudah
semakin ditingalkan, sepinya ibadah perjamuan, serta kuatnya pengaruh
sekularisasi dalam ibadah.
Pendek kata, di kalangan gereja-gereja
oikumenis (dan juga di kalangan gereja Katholik), tengah terjadi upaya
mendekatkan kembali (konvergensi)bentuk dan suasana ibadah yang ada.
Mau kembali ke akar. Salah satunya adalah apa yang dilakukan oleh Tim
Liturgi GKI dengan konsep liturgi GKI yang (rencananya) akan
diberlakukan di seluruh Sinode Wilayah.