:: home :: index ::

 

Minggu, 08/09/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Agama dan Identitas Diri (6)
Iman dan Berhala

Beberapa hari yang lalu National Education Association di AS mengeluarkan buku “petunjuk” bagi sekolah-sekolah di AS untuk memper-ingati satu tahun peristiwa 11 September, yakni penyerangan terhadap gedung WTC dan Pentagon. Sebagian pihak merasa puas dengan buku itu, namun ada juga yang tidak puas. Yang tidak puas kabarnya merasa kecewa sebab Asosiasi itu tidak menyebut-nyebut agama para pelaku teror itu. Pertanyaan saya, perlukah hal itu? Dalam hal apakah agama para pelaku teror itu perlu dikait-kaitkan dengan tindakan yang mengerikan dan tidak beradab itu? Mungkin pertanyaan ini bisa meng-undang perdebatan panjang lebar.

Kembali ke topik kita selama beberapa minggu ini, Agama dan Identitas Diri, kita bertanya, dalam arti apakah agama memainkan peranan dalam hidup kita? Dalam cara apakah agama membentuk identitas diri kita? Atau, sebaliknya, mengapa agama justru gagal dalam mengisi hidup kita dan mempengaruhi perilaku kita sehari-hari?

Paul Tillich, seorang teolog Jerman terkenal abad XX lalu, tidak suka menggunakan kata agama, keyakinan ataupun iman. Ia merasa bahwa kata-kata itu tidak cukup menggambarkan apa yang ingin dijelaskan. Karena itulah Tillich menggunakan kata “Ultimate Concern,” atau “Kepedulian Tertinggi”. Bagi Tillich, apa yang menjadi Kepedulian Tertinggi seseorang, itulah iman atau keyakinannya.

Sebagai seorang Lutheran, tampaknya Tillich sangat dipengaruhi oleh teologi Martin Luther yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang kepadanya hati kita melekat, itulah yang menjadi Allah kita. Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa ada agama yang formal, yaitu agama yang dicantumkan dalam KTP kita. Tetapi juga ada agama yang non-formal, yang tidak cukup dan tidak bisa digambarkan dengan deskripsi dalam KTP kita. Agama ini pun tidak dapat digambarkan dengan frekuensi atau tingkat keseringan seseorang berbakti di gereja dalam sebulan, atau berapa besar jumlah persembahannya. Tidak! Iman yang sesungguhnya hanya bisa dijelaskan dengan kepedulian yang tertinggi. Atau bisa kita katakan, untuk sesuatu yang seseorang bersedia korbankan, atau sesuatu yang berani kita pertaruhkan, maka itulah yang menjadi kepedulian tertinggi kita, iman kita. Jadi, iman bisa jadi berupa masa depan anak kita, sebab untuk mereka itulah kita bekerja mati-matian. Untuk sekolah mereka kita bersedia mengeluarkan uang, berapapun juga besarnya. Iman bisa jadi juga berupa jabatan yang untuknya kita berani mempertaruhkan uang dan kehormatan kita. Atau, dalam kasus para teroris di WTC dan Pentagon, iman mereka adalah keyakinan bahwa perjuangan mereka atau ideologi yang menjadi pedoman perjuangan mereka itu adalah benar.

Jadi, tidak mengherankan apabila ada orang Kristen yang rutin setiap hari Minggu beribadah di gereja, tetapi ibadahnya itu tidak menghasilkan perubahan apapun di dalam dirinya. Tidak mengherankan pula bila ada agama yang mengajarkan belas kasih kepada umatnya, tetapi ada pemeluk agama itu yang justru mempraktekkan terorisme. Sudah tentu saya tidak perlu menyebutkan nama agama tersebut, sebab hal itu bisa terjadi dalam agama manapun.

Kita bisa menyebutkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang menafsirkan dan menerapkan ajaran agamanya dalam cara yang dianggap salah oleh masyarakat yang lebih luas. Contohnya, orang Hindu fanatik yang membunuh Mahatma Gandhi. Atau anggota Ku Klux Klan yang merasa yakin bahwa hanya orang kulit putih Protestan sajalah yang berhak menikmati kasih Allah dan masuk ke surga. Atau seorang Baruch Goldstein, seorang Yahudi yang menembakkan senapan mesinnya kepada sejumlah jemaah Muslim yang sedang bersembahyang Jumat di Kuburan para Leluhur dan membunuh banyak dari mereka beberapa tahun lalu. Atau para pelaku teror di WTC dan Pentagon yang merasa bahwa mereka sedang menjalankan misi Allah. Dan seterusnya. Daftar ini bisa dibuat sangat panjang dan meliputi berbagai pemeluk agama yang ada di seluruh dunia.

Dengan kata lain, apapun agamanya, dalam kasus-kasus seperti di atas, tampaknya ada sesuatu yang tidak beres entah di dalam penyam-paian ajaran agama tersebut, atau di dalam pemahaman dan penghayatan-nya. Sudah tentu, kita tidak perlu menggambarkan penyimpangan itu dengan cara yang se-ekstrem di atas. Pasti ada berbagai ekspresi lain yang bisa diambil sebagai contoh “kegagalan” agama dalam membentuk identitas diri ideal seperti yang diharapkan. Misalnya, keluhan yang biasa muncul dari mereka yang biasa bergelut di dunia bisnis: “Dunia bisnis kan lain. Tak mungkin kita terus-menerus jujur.”

* * *

Beberapa waktu lalu saya mendapat kiriman e-mail dari seorang teman yang bertanya, apakah orang Kristen boleh menyimpan patung atau ukiran-ukiran? Katanya, ada pendeta yang menyuruhnya membuang dan membakar semua patung dan lukisan miliknya, karena semua itu adalah berhala. Seringkali yang kita pahami sebagai berhala adalah patung-patung atau ukiran berupa dewa-dewa atau binatang-binatang tertentu dari suatu agama tertentu. Padahal, bila kita kembali kepada Alkitab, maka yang disebut “berhala” tidak lain daripada kekeliruan kita tentang Kepedulian Tertinggi kita. Bukannya Allah dan kehendak-Nya yang menjadi Kepedulian Tertinggi kita, melainkan sesuatu yang lain. Ketika kita memutlakkan apa yang relatif dan merelatifkan apa yang mutlak, maka di situlah kita menyembah berhala. Ketika suatu kepedulian lain menggantikan Kepedulian Tertinggi kita, sehingga apa yang Allah kehendaki dari hidup kita tidak terwujud, maka itulah penyembahan berhala. Ketika iman yang kita pahami bersama tidak menjelma dalam tindakan sehari-hari kita, bukan mustahil kita telah menyembah berhala. www


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814