:: home :: index ::

 

Minggu, 01/09/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Agama dan Identitas Diri (5)
God's Chinese Son

Minggu lalu saya pergi ke Moe’s Bookstore, toko buku bekas terbaik di Berkeley. Terbaik, karena mereka sangat selektif dalam membeli buku-buku bekas untuk dijual kembali. Mereka tidak akan membeli buku yang ditulisi nama, apalagi yang penuh dengan catatan, garis bawah atau highlight kuning atau warna apapun juga. Dengan demikian, membeli buku bekas dari Moe’s memang sama saja dengan membeli buku baru. Cuma akibatnya buku-buku di Moe’s biasanya lebih mahal daripada di toko buku bekas yang lainnya.

Selain itu, Moe’s adalah toko buku bekas terbesar di Berkeley. Memang tidak begitu luas, namun dengan empat lantai, gedung yang besarnya sekitar dua ruko di Kelapa Gading itu pun menjadi cukup luas. Di lantai empat itulah saya menemukan sebuah buku yang menarik bagi saya. Judulnya “God’s Chinese Son: The Taiping Heavenly Kingdom of Hong Xiuquan”, karya Jonathan D. Spence. Saya pernah melihat buku ini di sebuah toko buku di Singapura beberapa tahun yang lalu, namun karena harganya terlalu mahal, saya tidak membelinya. Sekali ini saya menemukannya dengan harga yang cukup miring, dan sudah tentu saya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.

* * *

“God’s Chinese Son” adalah sebuah bahasan historis atas pemberontakan Taiping melawan Dinasti Qing di Tiongkok pada tahun 1845-1864 yang dipimpin oleh Hong Xiuquan. Pada tahun 1837 Hong mendapatkan pengalaman istimewa. Ia diangkat ke surga dan berjumpa dengan Allah Bapa. Allah mengenakan jubah hitam dengan hiasan naga. Topinya bertepian lebar. Mulutnya hampir tersembunyi oleh janggutnya yang berwarna keemasan. Allah memerintahkan Hong untuk membunuh roh-roh jahat yang menyesatkan manusia di muka bumi. “Tanganku menggenggam kuasa membunuh di Langit dan di bumi, untuk memenggal kepala mereka yang jahat, menyelamatkan orang-orang benar, dan mengurangi penderitaan manusia,” begitu Hong mencatat mengenai pengalamannya itu. Dalam perjalanannya di surga itu, Hong berperang dengan senjata pedang dan perisai dari Bapanya. Hong mendapatkan bantuan dari – siapa lagi kalau bukan kakak sulungnya, Yesus?

Kembali ke kampung halamannya di Tiongkok selatan, ia bertekad untuk melanjutkan perjuangannya itu dengan bantuan Yesus. Hong yakin betul bahwa ia adalah adik Yesus Kristus. Perjuangan Hong inilah yang disebut pemberontakan Taiping (“Perdamaian Besar”) berakhir dengan matinya sekitar 20 juta orang pengikutnya. Mula-mula pemberontakan ini berhasil menggulingkan Dinasti Qing dan pihak pemberontak yang dipimpin oleh Hong Xiuquan mendirikan Kerajaan Surgawi di pusat pemerintahannya di Nanjing selama 11 tahun. Namun akhirnya mereka berhasil dikalahkan oleh tentara pemerintahan Qing dan tentara negara-negara Barat. Hong dan sejumlah pengikutnya mati karena kelaparan, penyakit, atau pedang. Terjadilah exodus besar-besaran orang-orang Hakka meninggalkan Tiongkok, sebagian melarikan diri ke Asia Tenggara. Bukan mustahil di antara para pembaca tulisan ini terdapat pula keturunan dari mereka yang ikut serta dalam pemberontakan Taiping sekitar 150 tahun yang lalu itu.

Kekristenan yang dipahami dan dikembangkan oleh Hong Xiuquan dianggap sesat. Bagaimana mungkin Hong mengalami perjumpaan dengan Allah di surga dan mendapatkan kuasa dan mandat begitu besar untuk menghapuskan kuasa jahat di muka bumi dengan sebuah pemberontakan bersenjata? Betapa beraninya Hong mengaku-aku dirinya sebagai adik Yesus Kristus! Dengan pengakuannya itu, Hong pun menolak gelar yang biasanya diberikan kepada Yesus, “Anak Tunggal Allah”. Kalau Yesus adalah Anak Tunggal Allah, maka jelas Hong tidak mungkin menjadi adik Yesus. Padahal Hong sendiri mengklaim dirinya sebagai Anak Allah.

Hong membuat sendiri tafsiran Alkitabnya yang sangat berbeda dengan tafsiran-tafsiran yang umumnya dipegang oleh para misionaris Barat. Misalnya, sejumlah misionaris Barat mengatakan bahwa kitab-kitab dalam Alkitab – seperti Keluaran, Yesaya, Injil Yohanes, Surat Timotius, Kitab Wahyu, dll. tidak boleh ditafsirkan secara harafiah, melainkan sebagai simbol-simbol. Namun Hong bersikeras bahwa kitab-kitab tersebut harus dipahami secara harafiah.

Ajaran Hong jelas merupakan gabungan antara milenialisme Kristen yang dipengaruhi oleh Zoroasterianisme dari Persia sekitar tahun 1500 s.M. dengan ajaran Tao yang pada abad kedua Masehi menampilkan gagasan tentang “Jalan Perdamaian Besar” atau “Taiping Tao”, bersamaan dengan “Jalan para Guru Surgawi”. Hong tampaknya memperoleh pengetahuannya tentang Kekristenan dari para misionaris Barat dan dari berbagai bacaan yang ditemukannya tentang ajaran Kristen, sebagian di antaranya karya terjemahan yang agak kasar oleh para misionaris Barat itu sendiri dan orang-orang Kristen Tiongkok yang baru, dan sebagian lagi hasil tulisan sejumlah misionaris Barat yang tidak berpendidikan teologi. Semuanya itu menciptakan suatu jenis Kekristenan yang cocok dengan identitas diri Hong sebagai seorang Tionghoa dan seorang warga negara yang tertindas oleh Dinasti Qing.

Tidak mengherankan apabila pemerintah komunis Tiongkok di kemudian hari giat mengembangkan studi tentang pemberontakan Taiping ini yang mereka pahami sebagai gerakan proto-sosialis. Gerakan Taiping inilah yang berhasil – walaupun hanya untuk beberapa tahun – mengalahkan kekuatan yang berkuasa saat itu, dan juga pengaruh para misionaris Barat. Andaikata pemberontakan Taiping ini berhasil berkuasa lebih lama dan menyebarkan pengarunya ke bagian-bagian Tiongkok lainnya, mungkin wajah Tiongkok sekarang akan sangat berbeda. Tapi, itulah sejarah. Kita memang tidak bisa berandai-andai tentang masa lalu. www


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814