Selain itu, Moe’s
adalah toko buku bekas terbesar di Berkeley. Memang tidak begitu luas,
namun dengan empat lantai, gedung yang besarnya sekitar dua ruko di
Kelapa Gading itu pun menjadi cukup luas. Di lantai empat itulah saya
menemukan sebuah buku yang menarik bagi saya. Judulnya “God’s
Chinese Son: The Taiping Heavenly Kingdom of Hong Xiuquan”,
karya Jonathan D. Spence. Saya pernah melihat buku ini di sebuah toko
buku di Singapura beberapa tahun yang lalu, namun karena harganya
terlalu mahal, saya tidak membelinya. Sekali ini saya menemukannya
dengan harga yang cukup miring, dan sudah tentu saya tidak
menyia-nyiakan kesempatan ini.
* * *
“God’s Chinese Son”
adalah sebuah bahasan historis atas pemberontakan Taiping melawan
Dinasti Qing di Tiongkok pada tahun 1845-1864 yang dipimpin oleh Hong
Xiuquan. Pada tahun 1837 Hong mendapatkan pengalaman istimewa. Ia
diangkat ke surga dan berjumpa dengan Allah Bapa. Allah mengenakan
jubah hitam dengan hiasan naga. Topinya bertepian lebar. Mulutnya
hampir tersembunyi oleh janggutnya yang berwarna keemasan. Allah
memerintahkan Hong untuk membunuh roh-roh jahat yang menyesatkan
manusia di muka bumi. “Tanganku menggenggam kuasa membunuh di Langit
dan di bumi, untuk memenggal kepala mereka yang jahat, menyelamatkan
orang-orang benar, dan mengurangi penderitaan manusia,” begitu Hong
mencatat mengenai pengalamannya itu. Dalam perjalanannya di surga itu,
Hong berperang dengan senjata pedang dan perisai dari Bapanya. Hong
mendapatkan bantuan dari – siapa lagi kalau bukan kakak sulungnya,
Yesus?
Kembali ke kampung
halamannya di Tiongkok selatan, ia bertekad untuk melanjutkan
perjuangannya itu dengan bantuan Yesus. Hong yakin betul bahwa ia
adalah adik Yesus Kristus. Perjuangan Hong inilah yang disebut
pemberontakan Taiping (“Perdamaian Besar”) berakhir dengan matinya
sekitar 20 juta orang pengikutnya. Mula-mula pemberontakan ini
berhasil menggulingkan Dinasti Qing dan pihak pemberontak yang
dipimpin oleh Hong Xiuquan mendirikan Kerajaan Surgawi di pusat
pemerintahannya di Nanjing selama 11 tahun. Namun akhirnya mereka
berhasil dikalahkan oleh tentara pemerintahan Qing dan tentara
negara-negara Barat. Hong dan sejumlah pengikutnya mati karena
kelaparan, penyakit, atau pedang. Terjadilah exodus besar-besaran
orang-orang Hakka meninggalkan Tiongkok, sebagian melarikan diri ke
Asia Tenggara. Bukan mustahil di antara para pembaca tulisan ini
terdapat pula keturunan dari mereka yang ikut serta dalam
pemberontakan Taiping sekitar 150 tahun yang lalu itu.
Kekristenan yang
dipahami dan dikembangkan oleh Hong Xiuquan dianggap sesat. Bagaimana
mungkin Hong mengalami perjumpaan dengan Allah di surga dan
mendapatkan kuasa dan mandat begitu besar untuk menghapuskan kuasa
jahat di muka bumi dengan sebuah pemberontakan bersenjata? Betapa
beraninya Hong mengaku-aku dirinya sebagai adik Yesus Kristus! Dengan
pengakuannya itu, Hong pun menolak gelar yang biasanya diberikan
kepada Yesus, “Anak Tunggal Allah”. Kalau Yesus adalah Anak
Tunggal Allah, maka jelas Hong tidak mungkin menjadi adik Yesus.
Padahal Hong sendiri mengklaim dirinya sebagai Anak Allah.
Hong membuat sendiri
tafsiran Alkitabnya yang sangat berbeda dengan tafsiran-tafsiran yang
umumnya dipegang oleh para misionaris Barat. Misalnya, sejumlah
misionaris Barat mengatakan bahwa kitab-kitab dalam Alkitab –
seperti Keluaran, Yesaya, Injil Yohanes, Surat Timotius, Kitab Wahyu,
dll. tidak boleh ditafsirkan secara harafiah, melainkan sebagai
simbol-simbol. Namun Hong bersikeras bahwa kitab-kitab tersebut harus
dipahami secara harafiah.
Ajaran Hong jelas
merupakan gabungan antara milenialisme Kristen yang dipengaruhi oleh
Zoroasterianisme dari Persia sekitar tahun 1500 s.M. dengan ajaran Tao
yang pada abad kedua Masehi menampilkan gagasan tentang “Jalan
Perdamaian Besar” atau “Taiping Tao”, bersamaan dengan “Jalan
para Guru Surgawi”. Hong tampaknya memperoleh pengetahuannya tentang
Kekristenan dari para misionaris Barat dan dari berbagai bacaan yang
ditemukannya tentang ajaran Kristen, sebagian di antaranya karya
terjemahan yang agak kasar oleh para misionaris Barat itu sendiri dan
orang-orang Kristen Tiongkok yang baru, dan sebagian lagi hasil
tulisan sejumlah misionaris Barat yang tidak berpendidikan teologi.
Semuanya itu menciptakan suatu jenis Kekristenan yang cocok dengan
identitas diri Hong sebagai seorang Tionghoa dan seorang warga negara
yang tertindas oleh Dinasti Qing.
Tidak mengherankan
apabila pemerintah komunis Tiongkok di kemudian hari giat
mengembangkan studi tentang pemberontakan Taiping ini yang mereka
pahami sebagai gerakan proto-sosialis. Gerakan Taiping inilah yang
berhasil – walaupun hanya untuk beberapa tahun – mengalahkan
kekuatan yang berkuasa saat itu, dan juga pengaruh para misionaris
Barat. Andaikata pemberontakan Taiping ini berhasil berkuasa lebih
lama dan menyebarkan pengarunya ke bagian-bagian Tiongkok lainnya,
mungkin wajah Tiongkok sekarang akan sangat berbeda. Tapi, itulah
sejarah. Kita memang tidak bisa berandai-andai tentang masa lalu.