Minggu, 18/08/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.
Agama
dan Identitas Diri
(3)
Memelihara Akar Budaya
Tanggal 19 Mei lalu, bersama sejumlah
mahasiswa lainnya saya pergi ke Ukiah untuk mengikuti perayaan hari
Waisak, meskipun pada hari itu sebetulnya juga gereja-gereja merayakan
hari raya Pentakosta. Saya pernah menceritakan pengalaman ini
sebelumnya. Namun saya ingin menambahkan sedikit catatan saya. Setelah
doa-doa dan puja-puji untuk Sang Buddha, seluruh hadirin diundang ke
ruang makan untuk makan bersama. Prosesi
ke ruang makan dipimpin oleh para pendeta dan upasaka/upasika Buddha.
Paling depan saya melihat berjalan Pdt. Heng Sure, yang boleh dibilang
sebagai pemimpin di “City of 10.000 Buddhas” itu –
demikian sebutan yang diberikan untuk tempat tersebut. Heng Sure, itu
nama yang diberikan oleh Hsuan Hua, Patriarkh Buddhis Zen, asal Taiwan
yang memperkenalkan Zen Buddhisme ke daerah California Utara ini.
Heng Sure sendiri
adalah seorang Amerika kulit putih, yang lahir di lingkungan keluarga
Methodis. Entah bagaimana, sejak usia belas tahun ia mulai tertarik
untuk mempelajari Buddhisme. Ia belajar sastra dan budaya Tionghoa dan
akhirnya menjadi seorang Buddhis. Heng Sure bukan satu-satunya orang
Amerika kulit putih yang menjadi Buddhis, sebab selain dia saya
melihat masih ada lagi beberapa orang lainnya. Ketika duduk di meja
makan, seorang pemuda di sebelah saya tampak khusyuk mengucapkan
doa-doa Buddhis untuk makan. Saya bertanya kepadanya, katanya sudah
empat tahun ia menjadi pemeluk Buddhisme.
Agama Buddha tampaknya
cukup berkembang luas di AS ini. Demikian juga agama-agama lainnya.
Baru-baru ini dalam sebuah konferensi, saya berjumpa dengan Amardeep
Singh, seorang keturunan India yang beragama Sikh, namun lahir di AS
sehingga berkewarganegaraan AS. “Saya melihat agama Sikh ini sangat
erat berkaitan dengan suku bangsa Punjabi di India,” begitu kata
saya. “Apakah memang agama Sikh ini hanya dipeluk oleh orang-orang
Punjabi?” – sudah tentu termasuk pula di dalamnya orang-orang
seperti Ram Punjabi di Indonesia. “Memang kaitan itu tampak erat
sekali. Namun beberapa tahun lalu tercatat sekitar 50.000 orang kulit
putih memeluk agama Sikh,” kata Amardeep, yang menjadi dosen World
Literature di Lehigh University, di kota Bethlehem, Pennsylvania.
Sebaliknya, di kalangan
orang-orang keturunan Jepang di AS pernah ramai-ramai mereka menjadi
Kristen. Sekitar lima puluh tahun lalu, kaum imigran di AS merasa
harus berasimilasi dengan bangsa Amerika dengan jalan melupakan bahasa,
adat istiadat, bahkan juga agama mereka. Oleh karena itu mereka tidak
mau menggunakan bahasa mereka di lingkungan keluarga mereka. Adat
istiadat juga dilupakan. Bahkan mereka beralih agama menjadi Kristen
dengan harapan bahwa mereka akan diterima oleh masyarakat luas dan
bisa menjadi bangsa Amerika sejati.
Namun arus pemikiran
seperti ini telah banyak berubah. Pada akhir tahun 1970-an, misalnya,
Alex Haley, seorang novelis kulit hitam, menerbitkan bukunya “Roots”
yang kemudian difilmkan dan menjadi tontontan wajib bagi mereka yang
belajar sejarah Amerika dan khususnya sejarah orang-orang kulit hitam.
Buku dan film Roots ini mengangkat pengalaman orang-orang keturunan
Afrika dan penderitaan perbudakan yang mereka alami. Filmnya menjadi
tontonan jutaan orang selama berminggu-minggu. Hasilnya? Buku dan film
ini membangkitkan kebanggaan banyak orang Amerika akan asal-usul
mereka. Lalu ramai-ramailah mereka menelusuri silsilah mereka,
mempelajari kembali budaya leluhur mereka, bahkan juga bahasanya.
Bukan cuma orang-orang kulit hitam, seperti Alex Haley yang menelusuri
nenek moyangnya sampai ke Yoruba di Afrika Barat, tetapi juga
orang-orang Polandia, Italia, Irlandia, dsb.
Kini, masyarakat kulit
hitam Amerika menyelenggarakan hari raya Kwanzaa yang diciptakan untuk
memberikan identitas sendiri untuk orang-orang kulit hitam. Kwanzaa,
yang banyak dikaitkan dengan sejarah dan budaya orang-orang kulit
hitam, dirayakan selama lebih kurang seminggu di bulan Desember. Lain
dari itu, semakin banyak orang kulit hitam yang memberikan nama khas
kulit hitam kepada anak-anaknya. Semuanya sudah tentu memberikan
identitas baru – dan kebanggaan baru – kepada banyak orang kulit
hitam.
* * *
Baru-baru ini seorang
teman memberikan kepada saya sebuah buku “Pribumi Kuat Kunci
Pembauran” sebuah kumpulan karangan untuk memperingati 70 tahun H.
Junus Jahja, tokoh pembauran di Indonesia yang menganjurkan agar
masyarakat keturunan Tionghoa memeluk agama masyarakat sekitar agar
bisa diterima oleh kaum mayoritas. Junus Jahja memberikan “teladan”-nya
dengan menjadi seorang Muslim dan aktif mengislamkan orang-orang
keturunan Tionghoa. Misalnya, ia bersama teman-temannya mendirikan
Masjid Laotse di bilangan Karang Anyar, Jakarta Pusat.
Bila saya membandingkan
pemikiran yang diajukan oleh Junus Jahja dengan pengalaman banyak kaum
imigran di AS ini, saya dapat menyimpulkan bahwa pemikiran tersebut
bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan justru saat ini pemikiran itu sudah
tidak relevan lagi. Orang memeluk suatu agama seharusnya berdasarkan
suatu keyakinan terdalam, apabila agama itu memang merupakan sesuatu
yang paling dalam atau paling tinggi di dalam hidup kita. Bukan
sekadar ikut-ikutan dengan lingkungan. Lagi pula, masalah asimilasi
dengan lingkungan juga sudah harus dipertanyakan kembali dasar
pemikirannya. Apakah positifnya apabila seseorang diharuskan melupakan
seluruh identitas dirinya – agama, bahasa, budaya, ikatan dengan
leluhurnya – agar ia dapat diterima oleh lingkungannya? Yang kita
peroleh barangkali adalah seorang penderita amnesia yang tidak
mengenal dirinya sendiri, seorang yang kehilangan akarnya. www |