Sementara peserta dari
Taiwan menampilkan nyanyian yang diiringi tarian dan bahasa isyarat.
Kabarnya, tahun lalu nyanyian ini dipersiapkan untuk menyambut bekas
presiden Taiwan, Lee Teng Hui yang berkunjung ke California, namun
karena alasan keamanan acara itu dibatalkan.
Salah satu acara dari
jemaat Thai itu adalah tarian dengan lilin. Dalam tradisi Buddhis Thai
ada sebuah perayaan, yakni Loi Krathong atau Pesta Terang. Pada
perayaan itu seluruh masyarakat Thai menyalakan lilin. Mungkin
maksudnya adalah untuk menyambut terang yang mengalahkan kegelapan.
Tarian dengan lilin yang dibawakan oleh jemaat Thai ini adalah tarian
seperti itu. Namun, seperti yang dikatakan oleh pembawa acara, tarian
ini telah diberikan makna Kristen, yaitu Yesus Kristus sebagai terang
dunia, dan jemaat Kristen yang terpanggil untuk menjadi terang bagi
sesamanya.
“Untuk kami
masyarakat Thai Kristen yang sangat kecil jumlahnya, memang sulit
untuk melepaskan diri dari budaya Buddhis,” kata Prachuab, pembawa
acara yang juga kebetulan menjadi ketua Koalisi Jemaat Thai PC(USA).
“Seluruh kebudayaan Thai sangat diwarnai oleh Buddhisme. Karena itu
kami harus berusaha mencari alternatif dan mengisinya dengan nuansa
Kristen,” begitu tambahnya.
Pernyataan ini menarik
– bagaimana menjadi Kristen di tengah-tengah masyarakat yang
mayoritas beragama lain? Bagaimana seharusnya kita menampilkan diri di
tengah masyarakat sambil mempertahankan identitas kita sendiri?
Sebaliknya kita juga bisa bertanya, apakah kita bisa menampilkan suatu
pertunjukan kesenian, khususnya sebuah pertunjukan yang mengandung
unsur agama lain, selain Kekristenan? Atau, bagaimanakah sikap kita
apabila seseorang yang bukan Kristen menampilkan sesuatu yang bersifat
Kristen? Memang, kebetulan sekali yang namanya seni Kristen itu tidak
ada, sehingga mungkin kita tidak mempunyai sikap yang terlalu tegas
dan jelas tentang hal ini. Namun barangkali kita bisa menyederhanakan
masalahnya demikian: bagaimana sikap kita bila seseorang yang bukan
Kristen menyanyikan sebuah lagu gereja yang kata-katanya diubah
sehingga tidak lagi menggambarkan warna Kristen sama sekali –
katakanlah lagu seperti “Kulihat Ibu Pertiwi” yang menggunakan
lagu “Mana Ada Sobat Lagi”?
Persoalan yang
tampaknya sederhana ini, ternyata memang tidak begitu mudah seperti
yang kita kira. Seorang teman dari Filipina merasa jemaat Thai itu
telah terlalu was-was dengan budaya Buddhis yang kuat mewarnai
identitas mereka sehingga merasa harus mengkristenkan tarian yang
mereka sajikan itu agar layak disajikan di acara konvokasi kali ini.
“Apakah hal itu tidak menyinggung orang-orang Buddhis?” tanyanya.
Di Indonesia masalah
ini pernah menjadi masalah di beberapa daerah tertentu. Di Bali,
misalnya, orang-orang Kristen pernah dipindahkan ke sebuah desa
Kristen di Blimbing Sari. Di sana mereka diajarkan bagaimana caranya
hidup sebagai orang Kristen yang “baik dan benar.” Di sana mereka
diasingkan dari kebudayaan asli mereka, karena budaya mereka itu
dianggap berlawanan dengan nilai-nilai Kekristenan. Namun yang terjadi
kemudian ialah terciptalah orang-orang Kristen Bali yang tidak
mengenal identitas mereka sendiri sebagai orang Bali. Benar mereka
adalah orang Kristen, tapi orang Kristen mana? Cuma bahasa Bali yang
masih mereka kenal dan kuasai. Lain dari itu sama sekali tidak tersisa
ciri-ciri ke-Bali-an mereka.
Hal serupa juga pernah
terjadi dengan orang-orang Kristen di Jawa Timur yang dikumpulkan
dalam sebuah desa Kristen, Mojowarno. Dan orang-orang Kristen Sunda di
daerah Kampung Sawah, Palalangon, Haurgeulis, Juntikebon, dll.
Bagaimana dengan
sekarang? Di satu pihak kita tahu bahwa budaya Indonesia sendiri masih
berada dalam proses pembentukan. Kita belum bisa membayangkan apa yang
disebut dengan kebudayaan nasional yang seringkali dibicarakan dan
diseminarkan tanpa kita sadari betul apa yang kita bicarakan itu.
Apakah budaya Indonesia itu akan dipengaruhi oleh agama-agama besar
yang ada di Indonesia? Ataukah oleh berbagai arus budaya asing, baik
dari Barat maupun Timur, yang tidak bisa kita bendung masuknya?
Di pihak lain, kita
semakin sadar bahwa kita tidak mungkin mengasingkan diri kita atau
orang Kristen umumnya dari “dunia”. Harapan bahwa kita akan
membangun dunia sendiri yang bersih dari nilai-nilai “dunia”
tampaknya tidak akan berhasil. Apalagi dengan arus globalisasi yang
semakin deras sekarang ini. Masalahnya, saya pikir, bukanlah bagaimana
memilah-milah nilai-nilai yang ada di sekitar kita, melainkan
bagaimana membentuk identitas diri kita dan komunitas Kristiani kita
yang Indonesia. Apakah yang harus kita lakukan supaya kita di satu
pihak bisa berpegang kepada keyakinan kita tentang apa yang
difirmankan Allah kepada kita melalui penyataan-Nya di dalam Yesus
Kristus yang kita kenal di dalam Alkitab dan di dalam persekutuan
gereja-Nya, dan di pihak lain menjadi warga dunia bersama-sama dengan
masyarakat lainnya?