:: home :: index ::

 

Minggu, 11/08/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Agama dan Identitas Diri (2)
Identitas Kristen Lokal

Sebelum pembukaan Racial Ethnic Convocation, diadakan pertunjukan kebudayaan jemaat-jemaat Asia untuk memperingati 30 tahun NAPC (National Asian Presbyterian Council). Saya datang agak terlambat sehingga tidak bisa menyaksikan semua. Yang sempat saya lihat, peserta dari jemaat Filipina dan Thai yang menyajikan beberapa tarian dan nyanyian yang sangat indah.

Sementara peserta dari Taiwan menampilkan nyanyian yang diiringi tarian dan bahasa isyarat. Kabarnya, tahun lalu nyanyian ini dipersiapkan untuk menyambut bekas presiden Taiwan, Lee Teng Hui yang berkunjung ke California, namun karena alasan keamanan acara itu dibatalkan.

Salah satu acara dari jemaat Thai itu adalah tarian dengan lilin. Dalam tradisi Buddhis Thai ada sebuah perayaan, yakni Loi Krathong atau Pesta Terang. Pada perayaan itu seluruh masyarakat Thai menyalakan lilin. Mungkin maksudnya adalah untuk menyambut terang yang mengalahkan kegelapan. Tarian dengan lilin yang dibawakan oleh jemaat Thai ini adalah tarian seperti itu. Namun, seperti yang dikatakan oleh pembawa acara, tarian ini telah diberikan makna Kristen, yaitu Yesus Kristus sebagai terang dunia, dan jemaat Kristen yang terpanggil untuk menjadi terang bagi sesamanya.

“Untuk kami masyarakat Thai Kristen yang sangat kecil jumlahnya, memang sulit untuk melepaskan diri dari budaya Buddhis,” kata Prachuab, pembawa acara yang juga kebetulan menjadi ketua Koalisi Jemaat Thai PC(USA). “Seluruh kebudayaan Thai sangat diwarnai oleh Buddhisme. Karena itu kami harus berusaha mencari alternatif dan mengisinya dengan nuansa Kristen,” begitu tambahnya.

Pernyataan ini menarik – bagaimana menjadi Kristen di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas beragama lain? Bagaimana seharusnya kita menampilkan diri di tengah masyarakat sambil mempertahankan identitas kita sendiri? Sebaliknya kita juga bisa bertanya, apakah kita bisa menampilkan suatu pertunjukan kesenian, khususnya sebuah pertunjukan yang mengandung unsur agama lain, selain Kekristenan? Atau, bagaimanakah sikap kita apabila seseorang yang bukan Kristen menampilkan sesuatu yang bersifat Kristen? Memang, kebetulan sekali yang namanya seni Kristen itu tidak ada, sehingga mungkin kita tidak mempunyai sikap yang terlalu tegas dan jelas tentang hal ini. Namun barangkali kita bisa menyederhanakan masalahnya demikian: bagaimana sikap kita bila seseorang yang bukan Kristen menyanyikan sebuah lagu gereja yang kata-katanya diubah sehingga tidak lagi menggambarkan warna Kristen sama sekali – katakanlah lagu seperti “Kulihat Ibu Pertiwi” yang menggunakan lagu “Mana Ada Sobat Lagi”?

Persoalan yang tampaknya sederhana ini, ternyata memang tidak begitu mudah seperti yang kita kira. Seorang teman dari Filipina merasa jemaat Thai itu telah terlalu was-was dengan budaya Buddhis yang kuat mewarnai identitas mereka sehingga merasa harus mengkristenkan tarian yang mereka sajikan itu agar layak disajikan di acara konvokasi kali ini. “Apakah hal itu tidak menyinggung orang-orang Buddhis?” tanyanya.

Di Indonesia masalah ini pernah menjadi masalah di beberapa daerah tertentu. Di Bali, misalnya, orang-orang Kristen pernah dipindahkan ke sebuah desa Kristen di Blimbing Sari. Di sana mereka diajarkan bagaimana caranya hidup sebagai orang Kristen yang “baik dan benar.” Di sana mereka diasingkan dari kebudayaan asli mereka, karena budaya mereka itu dianggap berlawanan dengan nilai-nilai Kekristenan. Namun yang terjadi kemudian ialah terciptalah orang-orang Kristen Bali yang tidak mengenal identitas mereka sendiri sebagai orang Bali. Benar mereka adalah orang Kristen, tapi orang Kristen mana? Cuma bahasa Bali yang masih mereka kenal dan kuasai. Lain dari itu sama sekali tidak tersisa ciri-ciri ke-Bali-an mereka.

Hal serupa juga pernah terjadi dengan orang-orang Kristen di Jawa Timur yang dikumpulkan dalam sebuah desa Kristen, Mojowarno. Dan orang-orang Kristen Sunda di daerah Kampung Sawah, Palalangon, Haurgeulis, Juntikebon, dll.

Bagaimana dengan sekarang? Di satu pihak kita tahu bahwa budaya Indonesia sendiri masih berada dalam proses pembentukan. Kita belum bisa membayangkan apa yang disebut dengan kebudayaan nasional yang seringkali dibicarakan dan diseminarkan tanpa kita sadari betul apa yang kita bicarakan itu. Apakah budaya Indonesia itu akan dipengaruhi oleh agama-agama besar yang ada di Indonesia? Ataukah oleh berbagai arus budaya asing, baik dari Barat maupun Timur, yang tidak bisa kita bendung masuknya?

Di pihak lain, kita semakin sadar bahwa kita tidak mungkin mengasingkan diri kita atau orang Kristen umumnya dari “dunia”. Harapan bahwa kita akan membangun dunia sendiri yang bersih dari nilai-nilai “dunia” tampaknya tidak akan berhasil. Apalagi dengan arus globalisasi yang semakin deras sekarang ini. Masalahnya, saya pikir, bukanlah bagaimana memilah-milah nilai-nilai yang ada di sekitar kita, melainkan bagaimana membentuk identitas diri kita dan komunitas Kristiani kita yang Indonesia. Apakah yang harus kita lakukan supaya kita di satu pihak bisa berpegang kepada keyakinan kita tentang apa yang difirmankan Allah kepada kita melalui penyataan-Nya di dalam Yesus Kristus yang kita kenal di dalam Alkitab dan di dalam persekutuan gereja-Nya, dan di pihak lain menjadi warga dunia bersama-sama dengan masyarakat lainnya? www


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814