:: home :: index ::

 

Minggu, 04/08/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Agama dan Identitas Diri (1)
Masalah Identitas Diri

Saya menerima e-mail dari Martin Sutedja yang memberitahukan saya bahwa ia baru saja menulis sebuah artikel tentang penghayatan agama dan perilaku manusia sehari-hari. Kebetulan sekali saat ini saya sedang menghadiri sebuah program dari PC (USA), yaitu Racial Ethnic Convocation. Kira-kira artinya Pertemuan Etnik Rasial. Maksudnya, pertemuan untuk membicarakan pelayanan gereja di kalangan orang-orang kulit berwarna.

Tahun lalu saya pernah menghadiri pertemuan serupa, tapi tak sama. Ya, sebab tahun lalu acara tersebut diadakan khusus untuk gereja-gereja etnik Asia, namun kali ini pertemuannya lebih luas. Ada juga kelompok kulit hitam, Hispanik dan, Amerika Asli (dulu biasa disebut orang Indian). Ada untung dan rugi dari memperluas acara ini. Untungnya, kita bisa bertemu dengan banyak orang yang mempunyai keprihatinan yang sama. Namun, di pihak lain, acara menjadi melebar, sehingga porsi untuk etnik Asia, misalnya, menjadi berkurang. Saya perhatikan peserta dari latar belakang Asia jauh lebih sedikit daripada pertemuan tahun lalu di Houston, Texas.

Tadi pagi ada diskusi tentang masa depan pelayanan National Asian Presbyterian Churches (NAPC). Setelah pengantar diskusi, kelompok dibagi-bagi ke dalam kelompok yang lebih kecil, masing-masing dengan 9 pertanyaan sementara waktu yang diberikan hanya 30 menit. Itupun masih harus dikurangi dengan waktu untuk doa kelompok. Wah, saya pikir, ini betul-betul mission impossible. Memang, disarankan agar kelompok memilih beberapa pertanyaan saja dari daftar yang disediakan, namun pertanyaan saya, bagaimana diskusi itu bisa maksimal dan bermanfaat apabila waktu yang disediakan begitu singkat?

Sebuah pertanyaan yang diangkat oleh salah seorang rekan peserta diskusi menyangkut program NAPC dan seberapa jauh orang-orang muda dari gereja-gereja etnis itu tertarik untuk masuk ke sekolah teologi. Kalaupun tertarik, sekolah manakah yang umumnya mereka pilih? Atau, paradigma baru apakah yang seharusnya ditawarkan kepada orang-orang muda itu?

Pertanyaan ini dirasakan agak mengganggu sedikit, terutama karena di mata para peserta diskusi, pemikiran dilatarbelakangi oleh sikap yang mau mengendalikan, sikap yang ingin meneruskan saja apa yang sudah ada selama ini, sikap yang menganggap bahwa orang muda tidak tahu apa-apa. Ini sikap yang sangat Asia, begitu kata peserta umumnya.

Memang, kepemimpinan gereja orang Asia (khususnya Asia Timur) seringkali dirasakan bersifat “bapakisme”. Sang bapaklah yang paling tahu apa yang terbaik untuk anaknya (Ini ada ayatnya, bukan?). Akibatnya, banyak orang muda yang kemudian merasa bahwa mereka dibuat tergantung kepada keputusan-keputusan yang diambil oleh generasi yang lebih tua. Orang muda kan belum berpengalaman. Sementara orang tua sudah banyak memakan asam dan garam di dunia ini, sehingga merekalah yang paling tahu apa yang terbaik untuk hidupnya dan untuk hidup anak-anaknya. “Kami tidak menginginkan itu semua,” kata seorang peserta diskusi. “Kami ingin diberikan tanggung jawab untuk menentukan apa yang terbaik untuk kami, dan mengambil keputusan kami sendiri,” kata yang lainnya.

Saya jadi teringat akan pengalaman saya dengan beberapa gereja etnik. Memang, pada umumnya gereja etnik dijadikan tempat perlindungan bagi para anggotanya yang ingin bernostalgia dengan kehidupan peribadahan dan jemaat yang sama persis dengan apa yang pernah mereka alami di negara asal mereka masing-masing. Hal yang sama juga saya alami dengan gereja-gereja Indonesia yang saya jumpai di sini. Dari liturgi, nyanyian, doa, suasana gereja, semuanya harus – atau barangkali setidaknya diharapkan - sama dengan apa yang dialami di tanah air.

Baru-baru ini saya bertanya kepada sejumlah guru Sekolah Minggu, apa sebabnya anak-anak Sekolah Minggu yang berusia tanggung ke atas disuruh ikut kebaktian bersama orangtua mereka, lalu setelah doa pembacaan Alkitab disuruh berkumpul di kelas masing-masing. Semua terdiam. Lama sekali. Akhirnya ada yang menjawab, “Itu maksudnya supaya anak-anak itu terbiasa dengan kebaktian dewasa.” Lha, tapi kan cuma separuh saja? Bagaimana bisa terbiasa? Apalagi mendengarkan khotbah yang panjangnya bisa sampai lebih dari 25-30 menit? (Saya tahu, Ibu Sutedja biasanya berkhotbah lebih panjang lagi!) Yang lain, karena tidak tahu harus menjawab apa, lalu berkata, “Yah sudahlah. Kita ikuti kebiasaan di Indonesia dulu. Anak-anak itu langsung masuk ke kelas masing-masing. Setelah dewasa toh mereka tidak mengalami kesulitan apa-apa untuk menyesuaikan diri dengan kebaktian dewasa.” Betul, tapi yang ingin saya tanyakan sebetulnya, apakah landasan pemikiran orang dalam menyelenggarakan suatu Sekolah Minggu seperti di Indonesia atau di Amerika? Apakah sekadar meniru apa yang menjadi kebiasaan di Amerika ini? Ataukah sekadar mengambil alih pola yang sudah dikenal baik di Indonesia? Akhirnya, semuanya kembali ke masalah identitas diri.

Pemilihan denominasi gereja pun pernah digambarkan oleh H. Richard Niebuhr, seorang teolog terkenal Amerika dari abad XX yang lalu, sebagai cerminan dari identitas diri. Orang memilih menjadi Baptis, Metodis, Katolik, Presbiterian, Episkopalian, atau Unitarian, dll. semuanya didasarkan pada pencarian identitas diri. Orang ingin mengidentikkan dirinya dengan sebuah kelas sosial tertentu. Akibatnya, bila seseorang mengalami perubahan kelas sosial (misalnya, jadi lebih kaya, lebih terdidik, lebih terhormat di dalam masyarakat), orang pun akan berpindah gereja dan memilih kelas sosial yang ditampilkan oleh denominasi itu. Wah… ternyata bergereja atau beragama bisa ruwet juga ya? www


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814