Tahun lalu saya pernah
menghadiri pertemuan serupa, tapi tak sama. Ya, sebab tahun lalu acara
tersebut diadakan khusus untuk gereja-gereja etnik Asia, namun kali
ini pertemuannya lebih luas. Ada juga kelompok kulit hitam, Hispanik
dan, Amerika Asli (dulu biasa disebut orang Indian). Ada untung dan
rugi dari memperluas acara ini. Untungnya, kita bisa bertemu dengan
banyak orang yang mempunyai keprihatinan yang sama. Namun, di pihak
lain, acara menjadi melebar, sehingga porsi untuk etnik Asia, misalnya,
menjadi berkurang. Saya perhatikan peserta dari latar belakang Asia
jauh lebih sedikit daripada pertemuan tahun lalu di Houston, Texas.
Tadi pagi ada diskusi
tentang masa depan pelayanan National Asian Presbyterian Churches
(NAPC). Setelah pengantar diskusi, kelompok dibagi-bagi ke dalam
kelompok yang lebih kecil, masing-masing dengan 9 pertanyaan sementara
waktu yang diberikan hanya 30 menit. Itupun masih harus dikurangi
dengan waktu untuk doa kelompok. Wah, saya pikir, ini betul-betul mission
impossible. Memang, disarankan agar kelompok memilih beberapa
pertanyaan saja dari daftar yang disediakan, namun pertanyaan saya,
bagaimana diskusi itu bisa maksimal dan bermanfaat apabila waktu yang
disediakan begitu singkat?
Sebuah pertanyaan yang
diangkat oleh salah seorang rekan peserta diskusi menyangkut program
NAPC dan seberapa jauh orang-orang muda dari gereja-gereja etnis itu
tertarik untuk masuk ke sekolah teologi. Kalaupun tertarik, sekolah
manakah yang umumnya mereka pilih? Atau, paradigma baru apakah yang
seharusnya ditawarkan kepada orang-orang muda itu?
Pertanyaan ini
dirasakan agak mengganggu sedikit, terutama karena di mata para
peserta diskusi, pemikiran dilatarbelakangi oleh sikap yang mau
mengendalikan, sikap yang ingin meneruskan saja apa yang sudah ada
selama ini, sikap yang menganggap bahwa orang muda tidak tahu apa-apa.
Ini sikap yang sangat Asia, begitu kata peserta umumnya.
Memang, kepemimpinan
gereja orang Asia (khususnya Asia Timur) seringkali dirasakan bersifat
“bapakisme”. Sang bapaklah yang paling tahu apa yang terbaik untuk
anaknya (Ini ada ayatnya, bukan?). Akibatnya, banyak orang muda yang
kemudian merasa bahwa mereka dibuat tergantung kepada
keputusan-keputusan yang diambil oleh generasi yang lebih tua. Orang
muda kan belum berpengalaman. Sementara orang tua sudah banyak
memakan asam dan garam di dunia ini, sehingga merekalah yang paling
tahu apa yang terbaik untuk hidupnya dan untuk hidup anak-anaknya. “Kami
tidak menginginkan itu semua,” kata seorang peserta diskusi. “Kami
ingin diberikan tanggung jawab untuk menentukan apa yang terbaik untuk
kami, dan mengambil keputusan kami sendiri,” kata yang lainnya.
Saya jadi teringat akan
pengalaman saya dengan beberapa gereja etnik. Memang, pada umumnya
gereja etnik dijadikan tempat perlindungan bagi para anggotanya yang
ingin bernostalgia dengan kehidupan peribadahan dan jemaat yang sama
persis dengan apa yang pernah mereka alami di negara asal mereka
masing-masing. Hal yang sama juga saya alami dengan gereja-gereja
Indonesia yang saya jumpai di sini. Dari liturgi, nyanyian, doa,
suasana gereja, semuanya harus – atau barangkali setidaknya
diharapkan - sama dengan apa yang dialami di tanah air.
Baru-baru ini saya
bertanya kepada sejumlah guru Sekolah Minggu, apa sebabnya anak-anak
Sekolah Minggu yang berusia tanggung ke atas disuruh ikut kebaktian
bersama orangtua mereka, lalu setelah doa pembacaan Alkitab disuruh
berkumpul di kelas masing-masing. Semua terdiam. Lama sekali. Akhirnya
ada yang menjawab, “Itu maksudnya supaya anak-anak itu terbiasa
dengan kebaktian dewasa.” Lha, tapi kan cuma separuh
saja? Bagaimana bisa terbiasa? Apalagi mendengarkan khotbah yang
panjangnya bisa sampai lebih dari 25-30 menit? (Saya tahu, Ibu Sutedja
biasanya berkhotbah lebih panjang lagi!) Yang lain, karena tidak tahu
harus menjawab apa, lalu berkata, “Yah sudahlah. Kita ikuti
kebiasaan di Indonesia dulu. Anak-anak itu langsung masuk ke kelas
masing-masing. Setelah dewasa toh mereka tidak mengalami
kesulitan apa-apa untuk menyesuaikan diri dengan kebaktian dewasa.”
Betul, tapi yang ingin saya tanyakan sebetulnya, apakah landasan
pemikiran orang dalam menyelenggarakan suatu Sekolah Minggu seperti di
Indonesia atau di Amerika? Apakah sekadar meniru apa yang menjadi
kebiasaan di Amerika ini? Ataukah sekadar mengambil alih pola yang
sudah dikenal baik di Indonesia? Akhirnya, semuanya kembali ke masalah
identitas diri.
Pemilihan denominasi
gereja pun pernah digambarkan oleh H. Richard Niebuhr, seorang teolog
terkenal Amerika dari abad XX yang lalu, sebagai cerminan dari
identitas diri. Orang memilih menjadi Baptis, Metodis, Katolik,
Presbiterian, Episkopalian, atau Unitarian, dll. semuanya didasarkan
pada pencarian identitas diri. Orang ingin mengidentikkan dirinya
dengan sebuah kelas sosial tertentu. Akibatnya, bila seseorang
mengalami perubahan kelas sosial (misalnya, jadi lebih kaya, lebih
terdidik, lebih terhormat di dalam masyarakat), orang pun akan
berpindah gereja dan memilih kelas sosial yang ditampilkan oleh
denominasi itu. Wah… ternyata bergereja atau beragama bisa ruwet
juga ya?