Minggu, 28/07/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.
Seputar
Masalah Teologi
(6)
Keabadian
Sekitar dua minggu lalu Ted Williams
meninggal dunia. Nama ini asing bagi saya, tetapi rupanya tidak
demikian untuk kebanyakan orang Amerika. Ted, yang meninggal pada usia
80-an, dulunya adalah seorang pemain baseball yang terkenal.
Kematiannya sempat menimbulkan kontroversi. Bukan karena orang
meragukan apa sebabnya. Bukan pula harta warisan yang diperebutkan
oleh ahli warisnya. Masalahnya, konon ia pernah berpesan agar jasadnya
diawetkan dalam sebuah program pembeku jenazah khusus sampai beberapa
ratus derajat Fahrenheit di bawah nol sambil menunggu masanya orang
menemukan cara untuk membangkitkan kembali orang yang sudah mati.
Mudah-mudahan teknologi manusia akan tiba pada kemampuan itu. Tetapi
ada komplikasi lain. Selain anggota keluarga yang ingin memenuhi
keinginan Ted agar jenazahnya dibekukan, ada salah seorang anaknya
yang ingin supaya tubuh Ted yang sudah mati itu bisa dimanfaatkan
untuk kloning, sehingga kelak akan hadir banyak Ted Williams lainnya
yang dapat bermain baseball sehebat Ted almarhum.
Sejak masa yang tidak diketahui,
manusia telah berusaha mencari keabadian. Dari sinilah muncul
teori-teori tentang reinkarnasi, tentang kelahiran kembali setelah
kematian. Misalnya, ada kepercayaan bahwa seorang Dalai Lama yang
telah meninggal akan dilahirkan kembali, sehingga para penganut
kepercayaan ini akan berusaha mencari siapakah yang menjadi penjelmaan
Dalai Lama yang telah meninggal itu. Ada pula yang percaya tentang
keabadian jiwa – bahwa setelah kematian, jiwa manusia akan tetap
hidup dan pergi ke tempat lain. Hamlet, dalam kisah yang ditulis oleh
William Shakespeare, pernah mengatakan, “Kematian hanyalah sekadar
tidur. Tidak lebih, tidak kurang. Yang menakutkan tentang kematian
cuma satu – tidak seorang pun yang pernah mati itu kembali untuk
menceritakan kepada kita bagaimana sesungguhnya keadaan di dunia sana.”
Orang lain mencoba mencari keabadian melalui karya-karyanya yang besar
atau tindakan-tindakan yang heroik. Harapannya, saya pikir, sama saja
– bagaimana generasi di masa depan masih akan tetap mengingat
dirinya. (Jangan-jangan itulah yang diharapkan oleh alter-ego
saya dengan membuat tulisan-tulisan ini setiap minggu!).
Teori, keyakinan atau kepercayaan yang
saya katakan di atas bisa saja mengundang diskusi panjang lebar dan
pertikaian tanpa habis. Orang bisa saja mendasarkan argumennya pada
filsafat atau keyakinan atau ayat-ayat kitab suci, tapi saya tidak mau
terlibat lebih jauh dalam diskusi ini. Yang ingin saya singgung di
sini adalah sikap orang Amerika dalam menghadapi kematian.
Bagi banyak orang di Amerika, kematian
bukanlah sesuatu yang nyata. Kematian berada di luar kenyataan hidup
sehari-hari, meskipun rumah duka mudah ditemukan di mana-mana, bahkan
di pusat kota sekalipun. Mengapa? Karena orang tidak suka membicarakan
kematian dalam percakapan sehari-hari.
Apabila kematian menimpa suatu keluarga,
jenazahnya langsung ditempatkan di rumah sakit atau di rumah duka.
Tidak akan pernah keluarga membawa jenazah ke rumah, seperti yang
sering terjadi di Indonesia. Anak kecil dan remaja biasanya agak
dijauhkan dari kenyataan kematian. Mereka tidak pernah diajak untuk
menyaksikan suatu peristiwa kematian, kecuali barangkali kalau hal itu
terjadi di keluarga yang terdekat.
Salah seorang anggota gereja di sini
yang pernah berkunjung ke Indonesia, merasa sangat risih ketika
berkunjung ke Tana Toraja dan mengetahui bahwa di rumah yang mereka
kunjungi terdapat jenazah salah satu anggota keluarga yang disimpan di
lantai atas rumah itu. Mereka sedang menunggu waktu penguburan yang
tepat untuk jenazah tersebut. Artinya, ketika keluarga mempunyai cukup
uang untuk mengadakan upacara yang mahal biayanya.
Barangkali itulah sebabnya maka orang
enggan atau bahkan takut berbicara tentang kematian. Kematian menjadi
sesuatu yang asing dari dunia orang yang masih hidup. Kalaupun muncul
di antara mereka, kematian paling sering menampakkan diri dalam
film-film. Dan kita tahu, semuanya itu hanyalah pura-pura. Setelah
film selesai, kita boleh diyakinkan bahwa sang bintang tetap masih
hidup.
Itulah sebabnya, ketika peristiwa 11
September terjadi tahun lalu, masyarakat Amerika begitu gempar. Bukan
cuma karena skala terorisme yang hebat, tetapi juga jumlah orang yang
terbunuh begitu besar, begitu riil, begitu nyata bagi banyak orang
Amerika. Ketika menyaksikan gedung WTC terbakar, orang harus percaya
bahwa itu semua bukanlah film, melainkan kejadian riil, dengan
sejumlah orang yang tampak berlompatan keluar dari jendela.
Saya pikir itulah sebabnya orang
Amerika akhirnya lebih cenderung untuk berpikir dalam keabadian.
Alangkah indahnya kalau hidup ini bisa berlangsung terus tanpa akhir
– begitu kira-kira pikiran sebagian orang di sini. Sementara di
banyak negara Dunia Ketiga, mungkin justru harapannya terbalik –
alangkah indahnya kalau hidup ini bisa berakhir dan berganti dengan
gambaran yang dilukiskan oleh bermacam-macam agama – surga yang
jalannya dilapisi emas, atau kumpulan orang dan malaikat yang
terus-menerus bernyanyi puji-pujian, atau kebahagiaan abadi karena
dikelilingi oleh begitu banyak dayang-dayang cantik, dst.
Keabadian hidup memang memberikan
banyak janji yang menarik. Dan selalu ada orang yang mampu melihat
kesempatan untuk memanfaatkan harapan dan janji ini dengan harga yang
cukup mahal. www |