:: home :: index ::

 

Minggu, 28/07/2002
Oleh: Tim Warta

Koq, Bisa Nggak Nyambung...?

Persoalan besar yang sedang kita hadapi mengenai spiritualitas ini adalah: Mengapa orang bergama tidak melakukan ajaran agamanya? Mengapa yang namanya agama itu hanya dipahami sebatas urusan-urusan formal semata—pergi ke gereja, berdoa sebelum melakukan ini-itu, dan seterusnya—tanpa menyentuh hal-hal yang lebih dalam yang mampu memotivasi orang untuk melakukan keyakinannya itu?

Ini mungkin persoalan yang tidak dengan mudah bisa dijawab. Setidaknya, apabila gereja “tidak berhasil” memotivasi warganya, itu belum tentu karena salah gereja, atau salah metode ibadahnya, atau salah ajarannya. Robert N. Bellah, seorang sosiolog agama dari Universitas Kalifornia, di Berkeley, AS (UCB), mensinyalir bahwa orang beragama itu belum tentu karena ia cukup dewasa untuk berpartisipasi secara bermakna dalam tindak peribadatan. Melainkan, sangat mungkin karena mereka mengalami perjalanan buruk dalam kehidupan mereka. De-ngan kata lain, mereka beragama untuk mencari perlindungan atau untuk menghindari pengalaman buruk itu.

Guru Besar psikologi UI, Dr. Sarlito Wirawan sempat mengemukakan pandangannya mengenai hal itu. Menurutnya, minimnya fungsi agama yang tercermin dalam kehidupan dan perilaku sehari-hari itu disebabkan karena, bagi sebagian orang Indonesia, agama itu berfungsi (hanya) sebagai mistik. Misalnya, bisa menyembuhkan penyakit de-ngan kegaiban-kegaiban tertentu. Selain itu, Sarlito juga melihat gejala bahwa masih banyak orang yang menilai bahwa hubungan dengan Tuhan, berikut segala atributnya (rumah ibadah, kitab suci, lambang-lambang, ritual, dsb.), lebih penting daripada hubungan antara manusia dengan manusia lainnya.

Apapun yang menjadi pisau analisanya, kita bisa melihat bahwa bagi banyak orang, agama itu masih dilihat terpisah dari kehidupan sehari-hari. Gereja adalah “rumah hantu”, yang menarik untuk dialami, tetapi tidak ada korelasinya dengan kehidupan sehari-hari, yang konkret dan real.

Bisa jadi apa yang diungkapkan Sarlito ada benarnya, yaitu bahwa agama ternyata bukan inti perilaku ma-nusia. Agama hanya sebagai salah satu cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya (coping behaviour). Variabel cara penyesuaian diri itu bisa jadi amat banyak. Sehingga jangan kaget, bahwa jika ada cara penyesuaian diri yang dirasa lebih efektif, manusia akan meninggalkan agamanya.

Namun, Sarlito tetap melihat ada hubungan timbal-balik antara agama dan perilaku seseorang, walaupun tidak terjadi secara otomatis. Itu sebabnya, ia berpendapat, tugas agama (= gereja) adalah membuat ajarannya menjadi variabel yang lebih dominan dalam menentukan perilaku umat.

Seorang aktivis berkata: “Karena itulah, tugas kita, gereja, hanyalah berseru-seru di padang gurun. Kita ini bukan Mesias itu sendiri. Jadi kita tidak bisa apa-apa, kecuali sekedar berseru dan berseru…” Ah… www


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814