Keterasingan gereja dari kehidupan umat
sehari-hari — yang menyebabkannya menjadi seperti “rumah hantu”
— menimbulkan suatu pertanyaan besar: Apa yang menyebabkan hal itu
bisa terjadi?
Beberapa dasawarsa yang lalu, banyak pemikir
mengajukan teori atau ramalan bahwa agama akan punah dari muka bumi
ini, karena manusia modern dianggap sudah tidak lagi membutuhkan
agama. Segala sesuatunya telah dijawab dengan rasionalitas modernisme.
Dr. Kautzar Azhari Noer, dosen pasca-sarjana IAIN Syarif Hidayatullah,
dalam salah satu tulisannya di Jurnal Penuntun terbitan BPMSW GKI SW
Jabar, menyebutkan bahwa dengan berbagai alasan humanistik, politik,
dan ilmiah, para pemikir sekuler ateis itu mengingkari adanya Tuhan.
“Pengingkaran akan adanya Tuhan adalah pengingkaran akan agama (teistik),”
ujarnya.
Namun pemikiran itu belakangan ini telah semakin
ditinggalakan orang, khususnya dua dasawarsa menjelang akhir abad XX.
Pada periode itu (di luar dugaan mereka) ternyata terjadi kebangkitan
agama-agama hampir di seluruh belahan dunia. Ilmu pengetahuan dan
teknologi yang menjadi soko guru modernisasi, mulai dikritik dan
dikecam karena gagal menjawab persoalan-persoalan yang ada, termasuk
berbagai persoalan yang ditimbulkannya sendiri.
Lalu apakah dengan demikian agama bisa dikatakan
“memenangkan” persaingannya dengan modernitas? Tunggu dulu!
Ternyata persoalannya tidak sesederhana itu. Bahwa terjadi kebangkitan
agama-agama itu betul—termasuk juga di Indonesia. Tapi apakah
kebangkitan agama-agama memberi pengaruh langsung yang positif
terhadap moralitas kehidupan para pengikutnya? Mesti-nya,
memang begitu. Tapi pada kenyataan-nya, hal itu masih tanda
tanya besar—atau secara lebih tegas, harus dijawab: Belum tentu!
Tanpa perlu berbicara dengan sangat tajam, kita
bisa mempertanyakan: Berapa banyak orang Kristen yang walaupun rajin
ke gereja setiap hari Minggu bersama keluarganya, ternyata gemar “jajan
di luar rumah”? Atau, berapa banyak orang Kristen yang sangat aktif
dalam pelayanan, namun melakukan praktek KKN? Bahkan juga sampai
melakukan tindak kejahatan, mengkonsumsi atau mengedarkan narkoba.
Jangan bicara yang terlalu “mengerikan” seperti itu. Yang
sederhana, pernah sekali waktu hampir terjadi perkelahian di tempat
parkir gedung gereja, hanya karena masalah parkir mobil. Ironisnya hal
itu terjadi seusai kebaktian Minggu. Kalau bisa begitu, bagaimana pada
hari-hari lain? Apakah tingkah-laku berlalu-lintasnya, tidak semakin
parah?
Tentu saja hal seperti itu tidak terjadi pada
semua orang beragama. Ada banyak orang yang hidupnya sangat diwarnai
oleh spiritualitas yang dewasa. Tapi gejala-gejala yang tampak itu toh
tidak bisa dianggap angin lalu. Sebaliknya, kita perlu waspada, jangan
sampai lembaga-lembaga keagamaan, termasuk gereja, benar-benar sampai
pada titik kelumpuhannya.
Sejauh ini jelas ada indikasi bahwa agama belum
mampu berfungsi untuk memperbaiki keadaan masyarakat secara cukup
signifikan. Kalau begitu, masalahnya adalah, seperti yang dikatakan
oleh Abdurrahman Wahid, telah terjadi “pendangkalan agama”. Atau,
meminjam istilah Pdt. Eka Darmaputra, “Agama sudah tidak lagi
dihayati.” Terjadilah pendangkalan spiritualitas umat beragama.
Agama-agama memang sedang bangkit. Gereja-gereja
memang tidak pernah sepi. Tapi—ini yang perlu diwaspadai—hal itu
hanya sebatas urusan ritual formal. Hanya sekedar upacara dan liturgi,
tanpa menyentuh aspek penghayatan yang lebih mendasar dan eksistensial.
Karena itu yang terutama dibutuhkan adalah
pendalaman spiritual. Agama tidak akan ada gunanya tanpa spiritualitas
yang kuat dari anggotanya. Celakanya, spiritualitas adalah hal yang
hanya bisa disentuh apabila yang bersangkutan menginginkannya. Lembaga
keagamaan (baca: gereja) hanya bisa membantu memfasilitasi proses
tersebut. Tanpa bisa melangkahi wilayah pribadi (baca: iman dan
spiritualitas) dari yang bersangkutan.
Jadi…? Kita semualah yang harus menjawab dan
menyikapinya.