:: home :: index ::

 

Minggu, 21/07/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Seputar Masalah Teologi (5)
Tempat untuk Allah

Setiap pagi murid-murid sekolah di Amerika Serikat mengucapkan janji kesetiaannya kepada bendera Amerika. “I pledge allegiance to the flag of the United States of America, and to the republic for which it stands, one nation, under God, indivisible and liberty justice for all,” yang artinya kira-kira “Saya berjanji setia kepada bendera Amerika Serikat, satu bangsa, di bawah Allah, tidak terpisahkan…” Mereka yang pernah melihat atau menggunakan uang dollar Amerika, tentu pernah melihat kata-kata yang tercetak dalam setiap lembar uang kertas atau mata uangnya: “In God we trust

Banyak orang berpendapat bahwa Amerika Serikat adalah sebuah negara Kristen. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang anggota gereja di San Francisco. Beberapa anggota lainnya yang saya kenal bahkan berhasil mendapatkan asilum untuk menetap di AS dengan alasan bahwa sebagai orang Kristen mereka merasa tidak aman atau bahkan tertindas di Indonesia. Jadi, terkesan seolah-olah AS selalu berpihak kepada orang Kristen.

Kalau ditanya, banyak orang Amerika mengaku bahwa mereka percaya akan keberadaan Allah. Dan agak berbeda dengan anggapan sebagian orang, gereja-gereja di AS masih banyak dikunjungi anggotanya. Seorang teman menyebutkan bahwa di Menlo Park, di selatan San Francisco, ada sebuah jemaat Presbyterian Church (USA) yang setiap Minggu dihadiri oleh rata-rata 5.000 anggota.

Namun sekitar dua minggu lalu seorang hakim di Circuit Court (kira-kira setingkat dengan Pengadilan Tinggi) San Francisco memutuskan bahwa pengucapan “under God” dalam janji kesetiaan itu tidak sah dan bahkan melanggar hukum. Alasannya, AS didirikan atas dasar prinsip pemisahan antara Gereja dan negara, pemisahan antara agama dan kekuasaan politik. Karena itu, dengan menetapkan pengucapan “under God” dalam janji kesetiaan itu, maka pemerintah AS telah mencampuradukkan apa yang telah dipisahkan oleh para pendiri negara ini. Memang, kata-kata “under God” ini baru muncul belakangan di bawah pemerintahan presiden Eisenhower, sekitar tahun 1950-an. Konon kabarnya, frase itu disisipkan oleh Eisenhower untuk menunjukkan perbedaan antara AS dengan Uni Soviet yang komunis. Kebetulan pada waktu itu kedua negara ini terlibat dalam perang dingin. Dengan kata-kata “under God”, AS ingin menunjukkan bahwa negara ini berada dalam jalan Allah dalam memerangi komunisme.

Namun kini muncul keberatan dari seorang ayah yang ateis yang merasa bahwa anak perempuannya tertekan di sekolah ketika kata-kata “under God” itu diucapkan oleh teman-temannya. Menurut peraturan, janji kesetiaan ini memang tidak usah diucapkan oleh mereka yang merasa keberatan. Artinya, mereka bisa diam saja ketika orang lain mengucapkannya dengan penuh khidmat.

Sang ayah itu mengajukan keberatan kepada hakim di Circuit Court dengan alasan bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan dukungan kepada suatu agama tertentu. Artinya, bisa saja kata itu diganti dengan kata-kata lain, misalnya “di bawah Wisnu,” “di bawah Buddha”, dst. Bukankah kemungkinan sekali orang yang tidak beragama Hindu atau Buddha juga akan keberatan?

Masalahnya memang agak rumit. Ketika orang-orang kulit putih pertama datang untuk menetap di AS, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Puritan yang membentuk suatu gerakan di lingkungan Gereja Inggris pada abad XVI. Mereka menuntut agar Gereja diperbarui dengan lebih radikal dalam doktrin dan ibadahnya. Mereka juga menuntut agar disiplin Gereja diperketat. Yang terjadi kemudian, kaum Puritan mengalami penindasan dari pemerintah yang dipergunakan oleh Gereja Inggris. Itulah sebabnya banyak dari mereka melarikan diri ke AS dengan cita-cita membentuk suatu komunitas baru dengan kebebasan beragama sebagai salah satu dasarnya. Untuk maksud itu, maka kaum Puritan mengadakan pemisahan antara Gereja dan negara, dengan tujuan agar Gereja tidak mendominasi negara hingga bisa menggunakan kekuasaan negara untuk mencapai tujuan-tujuannya. Sebaliknya, negara tidak akan mendominasi Gereja sehingga Gereja tidak lagi bisa bersikap kritis terhadap penyelewengan-penyelewengan kekuasaan yang terjadi dalam dunia politik.

Dengan memahami latar belakang ini, maka kita bisa menangkap jiwa dari praktek pemisahan kekuasaan antara Gereja dan negara, antara agama dan pemerintah. Idealnya, pemerintah bukannya terlepas sama sekali dari agama atau sebaliknya, sebab kalau itu terjadi maka bisa-bisa agama atau Gereja tidak bisa lagi memberikan sumbangan yang positif kepada masyarakat. Bisa-bisa itu dituduh sebagai campur tangan agama terhadap kehidupan masyarakat. Sebaliknya, memang negara diharapkan tidak memberikan dukungan kepada salah satu agama saja, melainkan secara merata dan adil ikut mendukung keberadaan agama-agama demi kemaslahatan masyarakat pada umumnya. Itulah sebabnya, pemerintah AS mulai memberikan tempat kepada agama Islam, misalnya. Seorang imam Islam juga diundang untuk berdoa pada pembukaan tahun kerja Kongres dan Senat AS, bukan hanya pendeta dan rabi Yahudi saja. Itu berarti perdebatan tentang “one nation, under God” ini bukanlah sebuah masalah hitam-putih yang dapat dilihat “ini atau itu.”

“One nation, under God” bukan berarti sekadar mengatakan “God bless you all” atau “God bless America” seperti yang menjadi kebiasaan untuk diucapkan oleh presiden AS sejak Ronald Reagan berkuasa, melainkan bagaimana menempatkan suatu pemerintahan – baik AS maupun Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa itu – dalam ketaatan kepada Allah sehingga selalu terbuka kepada koreksi dan teguran dari Allah melalui orang-orang yang telah dipilih-Nya. Hal terakhir inilah yang kelihatannya banyak dilupakan dan diabaikan. Banyak pemimpin dunia, AS, Indonesia, ataupun negara-negara lainnya, yang sering-sering menyebut nama Allah, tetapi pada prakteknya tetap korup dan tidak peduli terhadap penderitaan rakyat kecil. www


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814