:: home :: index ::

 

Minggu, 14/07/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Seputar Masalah Teologi (4)
Hati-hati Kalau Minum Kopi

Anda suka minum kopi? Hati-hatilah karena itu tidak baik untuk jantung anda. Tapi, kalau anda datang ke Berkeley, anda harus ekstra hati-hati. Mengapa? Sebab beberapa anggota Dewan Kota ini sedang mengusulkan sebuah undang-undang yang bisa menjatuhkan hukuman kepada orang yang salah minum kopi. Entah hukuman denda atau hukuman badan, saya belum mendengarnya secara lebih terinci. Tapi mungkin ada yang bertanya, “Apa maksudnya, salah minum kopi?” Ya, undang-undang ini berusaha untuk menggalakkan orang agar membeli dan meminum kopi yang dijual secara adil – fair trade coffee.

Berbeda dengan orang Inggris yang lebih suka minum teh, kopi memang minuman utama orang Amerika. Makan pagi harus minum kopi. Istirahat pk. 10 pagi, minum kopi. Makan siang dan malam ditutup dengan kopi. Bukan cuma itu, kopi yang biasa mereka minum adalah kopi hitam, artinya tanpa gula. Bangun pagi tanpa minum kopi rasanya hidup belum lengkap, kata mereka.

Di sini ada banyak sekali jenis kopi yang dijual. Beberapa yang paling terkenal adalah kopi Columbia, kopi Prancis, kopi Jawa. Entah betulan kopi dari Jawa atau malah dari Lampung atau Toraja, saya kurang paham. Namun nama Java coffee itu memang sangat terkenal. Sebuah program komputer diberi nama Java justru karena nama Java coffee itu.

Namun masalahnya, kopi yang merupakan salah satu komoditas terbesar dalam dunia perdagangan di AS ini seringkali dibeli dari pengusaha-pengusaha kopi yang berlaku tidak adil kepada para pekerjanya. Kopi yang dijual beberapa dollar per kilogram (di sini berarti sekitar 2,2 pound), diproduksi hanya dengan biaya beberapa sen saja – itu semua untuk biaya buruh – yang biasanya ditekan dengan sangat rendah, menanam, memetik, mengolah dan mendatangkannya ke AS. Belum lagi diperhitungkan biaya kerusakan tanah, air dan udara karena pestisida, pupuk buatan, dll. Semuanya itu tidak menjadi kepedulian para pembeli kopi dari AS. Kepentingan mereka hanyalah mendapatkan kopi yang baik dengan harga serendah-rendahnya dan menjualnya dengan harga yang kompetitif kepada masyarakat di sini. Itu tidak berarti harga yang tinggi, melainkan harga yang masih dapat terjangkau, sehingga kenikmatan minum kopi tidak perlu merobekkan dompet kita.

Inilah masalahnya. Kalau kita mau bertanggungjawab atas tanah, air dan udara, maka harga tidak bisa dijaga tetap rendah, melainkan malah harus lebih tinggi. Kalau kita mau membayar para buruh Dunia Ketiga dengan gaji yang layak agar mereka masih bisa hidup layak pula, harga mau tidak mau harus lebih tinggi daripada harga yang dibayar para penikmat kopi sekarang ini. Padahal prinsip ekonomi berkata, pembeli hanya mau membeli dengan harga serendah-rendahnya. Hanya apabila angka yang diminta pembeli dan penjual itu bertemu, maka terjadilah harga. Bagaimana kita bisa menetapkan harga yang baik apabila penjual meminta angka yang lebih tinggi, sementara pembeli menuntut harga yang lebih rendah?

Dalam keadaan seperti ini, mereka yang bisa bekerja dengan “efisien” akan bertahan, sementara yang “tidak efisien” akan tersingkir. Begitu kata hukum ekonomi menurut Adam Smith. Ada tangan yang tidak kelihatan, yang mengatur mekanisme pasar, katanya. Tapi apakah artinya itu? Ini berarti pengusaha yang tidak harus mengeluarkan biaya pemeliharaan tanah, air, dan udara, dan mereka yang mampu menekan upah buruh serendah-rendahnya, akan mampu menjual barangnya dan menyingkirkan mereka yang tidak “efisien”. Dengan kata lain, supaya kita bisa tetap menikmati gaya hidup yang menyenangkan, harus ada orang lain yang berkorban dan hidup dalam taraf yang tidak menyenangkan. Ah, untuk mereka itu sudah cukup menyenangkan, kok, begitu kilah kita untuk membenarkan gaya hidup kita.

Inilah masalah yang dilihat oleh para pejuang hak-hak asasi manusia di seluruh penjuru dunia. Dalam salah satu sistem pemikiran tentang keadilan, situasi ini tidak adil, karena tidak semua orang bisa menikmati taraf kehidupan yang menyenangkan dalam taraf yang paling minimal. Seringkali para buruh yang sudah bekerja membanting tulang, tetap harus hidup di bawah garis kemiskinan, tidak mampu mengongkosi biaya pendidikan dasar dan kesehatan anggota keluarganya.

Saya jadi teringat akan peraturan hukum agama Israel yang melarang orang Israel memakan darah binatang. Mengapa? Karena ada keyakinan bahwa di dalam darah ada kehidupan. “Ah, tapi kita kan hidup di masa Perjanjian Baru, sehingga tidak ada lagi larangan-larangan begituan,” kata sebagian dari kita. Betul sekali! Karena Petrus mendapatkan penglihatan di dekat kota Yope, untuk tidak berpantang apapun. Namun kalau kita mengamati benda-benda yang kita miliki, maka mau tidak mau kita harus akui bahwa banyak di antaranya dihasilkan dengan cucuran keringat dan darah para buruh yang dibayar dengan sangat rendah. Karena itulah Gereja seharusnya mendukung perjuangan membela hak-hak asasi manusia.

Perjuangan ini pula yang menjadi dasar pemikiran sejumlah anggota Dewan Kota Berkeley untuk mengusulkan undang-undang yang akan menghukum orang yang membeli kopi yang dijual secara tidak adil. Ada orang yang tidak setuju dengan undang-undang ini. Seharusnya orang melakukan pendidikan dahulu kepada masyarakat agar tidak membeli kopi yang bukan berasal dari fair trade. Seharusnya diberikan penjelasan dulu, mana kopi yang dijual dengan adil dan mana yang tidak.

Terlepas dari semua argumen itu, tampaknya orang sudah harus berpikir secara lebih serius tentang minum kopi. Sebelumnya telah banyak orang yang memboikot penjualan ikan tuna karena penangkapannya membahayakan ikan lumba-lumba, penjualan baju-baju yang diproduksi secara murah oleh para buruh di Dunia Ketiga, dan sepatu-sepatu olahraga, seperti Nike, Reebok, dll. Semua upaya boikot itu telah cukup berhasil. Kini tampaknya orang akan lebih berhati-hati untuk minum kopi. Memang, tanpa kita sadari, setiap gerak kehidupan kita ternyata mempunyai dampak teologis yang cukup berarti. www


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814