Saya jadi teringat akan
ceramah yang disampaikan oleh Pdt. Stiffan Naim Ateek pada tanggal 31
Mei lalu di Montclair Presbyterian Church. Naim, begitu ia biasa
disapa oleh teman-temannya, seorang Palestina lulusan program Doctor
of Ministry di San Francisco Theological Seminary pada pertengahan
tahun 1980-an, kini menjadi Canon di St. George’s Cathedral,
sebuah gereja Anglikan, di Yerusalem. Ia kembali ke alma-maternya
bulan Mei lalu untuk mendapatkan kehormatan sebagai “alumni of the
year” karena peranannya yang amat besar dan penting untuk Gereja dan
bangsa Palestina.
Di Yerusalem, selain
menjadi pendeta jemaat, Naim juga aktif dalam sebuah lembaga bernama Sabil
yang bergerak dalam tiga tingkat. Pertama, pengembangan kerjasama
ekumenis dengan semua gereja yang ada di Palestina. Kedua, program
antar-iman, khususnya dengan pihak Islam. Dengan kelompok Yahudi tidak
begitu banyak, tetapi kelompok-kelompok sekular banyak mendukung Sabil.
Dan ketiga, perjuangan untuk keadilan demi perdamaian. Tulisannya yang
dihasilkan dalam program D.Min. di SFTS telah diterbitkan sebagai buku,
Justice, Only Justice: A Palestinian Theology of Liberation.
Buku ini banyak sekali dipergunakan di sekolah-sekolah teologi
khususnya untuk membahas masalah keadilan dan perdamaian di Palestina.
Naim menguraikan secara
singkat sejarah terbentuknya negara Israel. Sebelum tahun 1948, saat
dibentuknya negara Israel, jumlah orang Yahudi di Palestina kurang
dari 6%. Karena pengalaman mengerikan dengan Nazi Jerman, banyak orang
Yahudi yang ingin meninggalkan Eropa dan tinggal di negeri sendiri
yang aman, yaitu Israel. Saat itu, kaum Zionis tidak mengantisipasi
bahwa Eropa bisa berkembang menjadi bagian dunia yang demokratis.
Sekarang keadaannya justru terbalik. Israel yang diharapkan aman,
justru menjadi sangat tidak aman, hingga banyak orang Yahudi yang
justru ingin pindah ke Eropa.
Sekarang, jumlah orang
Yahudi di Israel telah mencapai 56%, terutama karena arus imigran dari
Eropa dan AS. Sementara itu, lebih dari 750.000 orang Palestina diusir
keluar ketika Israel terbentuk. Banyak di antara mereka yang hidup
sebagai pengungsi di berbagai negara tetangga Israel, seperti Libanon,
Suriah, dan terutama sekali di Yordania.
Ketika Israel terbentuk,
orang Yahudi berusaha untuk mencegah orang-orang Palestina kembali ke
negeri mereka. Banyak dari mereka yang dipaksa melarikan diri atau
dibunuh. Sekitar 450 desa di Palestina dimusnahkan. Pada tahun 2000
yang lalu, demikian kata Naim, seorang mahasiswa Yahudi di Universitas
Haifa ingin menulis tesis M.A.-nya dengan mengambil penelitian tentang
apa yang terjadi terhadap desa-desa Arab Palestina ketika Israel
terbentuk.
Dari hasil
penelitiannya, di daerah yang ditelitinya pernah ada 64 desa Arab,
namun sekarang hanya dua yang masih bertahan, sedangkan 62 lainnya
telah musnah. Ia melakukan wawancara terhadap sekitar 200 penduduk dan
tentara Yahudi di desa Tantur, antara Haifa dan Tel Aviv. Ia menemukan
bahwa pada tahun 1948 di situ pernah terjadi pembunuhan besar-besaran
terhadap para penduduknya, khususnya perempuan dan anak-anak.
Mahasiswa itu dipaksa untuk menyangkal hasil temuannya, namun kini
kasusnya masih berada di Mahkamah Agung Israel. Alain Pape, seorang
profesor di universitas itu, menyebut bahwa ini adalah original sin
orang Israel.
Kini, seperti yang
digambarkan oleh hasil konferensi puncak negara-negara Arab bulan Mei
lalu, Palestina dan bangsa-bangsa Arab lainnya bersedia mengakui
keberadaan negara Israel dengan batas-batas yang ditentukan oleh PBB,
yaitu sebelum Perang Enam Hari pada tahun 1967. Menurut keputusan
dunia internasional, pendudukan Israel atas jalur Gaza dan Tepi Barat
tidaklah sah. Namun apa yang terjadi sekarang pemerintah Israel malah
membangun pemukiman-pemukiman baru di daerah Tepi Barat yang
jelas-jelas tidak sah. Saat ini terdapat 250 pemukiman dengan 400.000
pemukim Yahudi yang umumnya terdiri dari orang-orang Yahudi Zionis
sayap kanan.
Apa yang dapat
dilakukan sekarang? Israel tidak mau menarik diri dari pendudukannya
atas Gaza dan Tepi Barat, tuntutan keadilan yang paling minimal dari
bangsa Palestina. Sebaliknya Israel ingin membentuk pemerintah otonomi
Palestina di bawah kendali negara Israel. Inilah yang menyebabkan
begitu banyak pemuda Palestina yang putus asa sehingga merelakan
dirinya menjadi bom bunuh diri. Apa yang mereka lakukan adalah
terorisme perlawanan terhadap terorisme negara yang dilakukan oleh
pemerintah Israel, khususnya di bawah Ariel Sharon sekarang. Dalam
menghadapi hal ini, PBB tidak berdaya karena AS menguasai sebagian
besar sumber keuangannya. Itulah sebabnya, sejak perang tahun 1967, AS
telah melanggar lebih dari 69 resolusi PBB.
Keadaan yang terjadi
saat ini sangat menyedihkan, begitu kata Naim. Tentara Israel yang
menyerang ke Ramallah, Jenin, dan Nablus bertindak dengan
sewenang-wenang. Mereka merusak rumah-rumah penduduk sipil. Seorang
ibu yang dikunjungi Naim dkk. beberapa waktu setelah tentara Israel
menarik diri mengisahkan betapa mereka merobek-robek foto-foto
keluarga, merusakkan tirai jendela, dan berbagai tindakan lainnya yang
sama sekali tidak berhubungan dengan peperangan. “Pendudukan ini
harus berakhir,” kata Naim, “demi kebaikan bangsa Palestina dan
Israel sendiri.”
Untuk itu, Naim
mengajukan usul-usulnya: (1) Bush harus mengumumkan dibentuknya negara
Palestina; (2) AS harus mendesak Israel agar menarik diri dari Tepi
Barat dan Jalur Gaza dan digantikan oleh pasukan internasional untuk
membantu Israel dan Palestina; (3) Arafat harus dinyatakan sebagai
presiden pertama negara Palestina, kemudian diadakan pemilihan umum
yang bebas untuk mengangkat presiden baru Palestina, dan Arafat boleh
pensiun sesudah itu; (4) kelompok-kelompok bersenjata Palestina harus
menghentikan semua tindakan kekerasan, termasuk bom bunuh diri; (5)
dilangsungkan diplomasi tingkat tinggi.
Naim juga menambahkan,
orang Israel yang tidak mau meninggalkan daerah pemukimannya, boleh
menjadi warga negara Palestina, sementara bangsa Palestina yang berada
di pengungsian boleh kembali ke Palestina.