:: home :: index ::

 

Minggu, 07/07/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Seputar Masalah Teologi (3)
Palestina di Mata Orang Palestina

Hari Senin tanggal 24 Juni lalu George Bush, Jr., membentangkan usulnya untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah, khususnya antara Palestina dan Israel. Banyak reaksi pro dan kontra terhadap usul ini.

Saya jadi teringat akan ceramah yang disampaikan oleh Pdt. Stiffan Naim Ateek pada tanggal 31 Mei lalu di Montclair Presbyterian Church. Naim, begitu ia biasa disapa oleh teman-temannya, seorang Palestina lulusan program Doctor of Ministry di San Francisco Theological Seminary pada pertengahan tahun 1980-an, kini menjadi Canon di St. George’s Cathedral, sebuah gereja Anglikan, di Yerusalem. Ia kembali ke alma-maternya bulan Mei lalu untuk mendapatkan kehormatan sebagai “alumni of the year” karena peranannya yang amat besar dan penting untuk Gereja dan bangsa Palestina.

Di Yerusalem, selain menjadi pendeta jemaat, Naim juga aktif dalam sebuah lembaga bernama Sabil yang bergerak dalam tiga tingkat. Pertama, pengembangan kerjasama ekumenis dengan semua gereja yang ada di Palestina. Kedua, program antar-iman, khususnya dengan pihak Islam. Dengan kelompok Yahudi tidak begitu banyak, tetapi kelompok-kelompok sekular banyak mendukung Sabil. Dan ketiga, perjuangan untuk keadilan demi perdamaian. Tulisannya yang dihasilkan dalam program D.Min. di SFTS telah diterbitkan sebagai buku, Justice, Only Justice: A Palestinian Theology of Liberation. Buku ini banyak sekali dipergunakan di sekolah-sekolah teologi khususnya untuk membahas masalah keadilan dan perdamaian di Palestina.

Naim menguraikan secara singkat sejarah terbentuknya negara Israel. Sebelum tahun 1948, saat dibentuknya negara Israel, jumlah orang Yahudi di Palestina kurang dari 6%. Karena pengalaman mengerikan dengan Nazi Jerman, banyak orang Yahudi yang ingin meninggalkan Eropa dan tinggal di negeri sendiri yang aman, yaitu Israel. Saat itu, kaum Zionis tidak mengantisipasi bahwa Eropa bisa berkembang menjadi bagian dunia yang demokratis. Sekarang keadaannya justru terbalik. Israel yang diharapkan aman, justru menjadi sangat tidak aman, hingga banyak orang Yahudi yang justru ingin pindah ke Eropa.

Sekarang, jumlah orang Yahudi di Israel telah mencapai 56%, terutama karena arus imigran dari Eropa dan AS. Sementara itu, lebih dari 750.000 orang Palestina diusir keluar ketika Israel terbentuk. Banyak di antara mereka yang hidup sebagai pengungsi di berbagai negara tetangga Israel, seperti Libanon, Suriah, dan terutama sekali di Yordania.

Ketika Israel terbentuk, orang Yahudi berusaha untuk mencegah orang-orang Palestina kembali ke negeri mereka. Banyak dari mereka yang dipaksa melarikan diri atau dibunuh. Sekitar 450 desa di Palestina dimusnahkan. Pada tahun 2000 yang lalu, demikian kata Naim, seorang mahasiswa Yahudi di Universitas Haifa ingin menulis tesis M.A.-nya dengan mengambil penelitian tentang apa yang terjadi terhadap desa-desa Arab Palestina ketika Israel terbentuk.

Dari hasil penelitiannya, di daerah yang ditelitinya pernah ada 64 desa Arab, namun sekarang hanya dua yang masih bertahan, sedangkan 62 lainnya telah musnah. Ia melakukan wawancara terhadap sekitar 200 penduduk dan tentara Yahudi di desa Tantur, antara Haifa dan Tel Aviv. Ia menemukan bahwa pada tahun 1948 di situ pernah terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap para penduduknya, khususnya perempuan dan anak-anak. Mahasiswa itu dipaksa untuk menyangkal hasil temuannya, namun kini kasusnya masih berada di Mahkamah Agung Israel. Alain Pape, seorang profesor di universitas itu, menyebut bahwa ini adalah original sin orang Israel.

Kini, seperti yang digambarkan oleh hasil konferensi puncak negara-negara Arab bulan Mei lalu, Palestina dan bangsa-bangsa Arab lainnya bersedia mengakui keberadaan negara Israel dengan batas-batas yang ditentukan oleh PBB, yaitu sebelum Perang Enam Hari pada tahun 1967. Menurut keputusan dunia internasional, pendudukan Israel atas jalur Gaza dan Tepi Barat tidaklah sah. Namun apa yang terjadi sekarang pemerintah Israel malah membangun pemukiman-pemukiman baru di daerah Tepi Barat yang jelas-jelas tidak sah. Saat ini terdapat 250 pemukiman dengan 400.000 pemukim Yahudi yang umumnya terdiri dari orang-orang Yahudi Zionis sayap kanan.

Apa yang dapat dilakukan sekarang? Israel tidak mau menarik diri dari pendudukannya atas Gaza dan Tepi Barat, tuntutan keadilan yang paling minimal dari bangsa Palestina. Sebaliknya Israel ingin membentuk pemerintah otonomi Palestina di bawah kendali negara Israel. Inilah yang menyebabkan begitu banyak pemuda Palestina yang putus asa sehingga merelakan dirinya menjadi bom bunuh diri. Apa yang mereka lakukan adalah terorisme perlawanan terhadap terorisme negara yang dilakukan oleh pemerintah Israel, khususnya di bawah Ariel Sharon sekarang. Dalam menghadapi hal ini, PBB tidak berdaya karena AS menguasai sebagian besar sumber keuangannya. Itulah sebabnya, sejak perang tahun 1967, AS telah melanggar lebih dari 69 resolusi PBB.

Keadaan yang terjadi saat ini sangat menyedihkan, begitu kata Naim. Tentara Israel yang menyerang ke Ramallah, Jenin, dan Nablus bertindak dengan sewenang-wenang. Mereka merusak rumah-rumah penduduk sipil. Seorang ibu yang dikunjungi Naim dkk. beberapa waktu setelah tentara Israel menarik diri mengisahkan betapa mereka merobek-robek foto-foto keluarga, merusakkan tirai jendela, dan berbagai tindakan lainnya yang sama sekali tidak berhubungan dengan peperangan. “Pendudukan ini harus berakhir,” kata Naim, “demi kebaikan bangsa Palestina dan Israel sendiri.”

Untuk itu, Naim mengajukan usul-usulnya: (1) Bush harus mengumumkan dibentuknya negara Palestina; (2) AS harus mendesak Israel agar menarik diri dari Tepi Barat dan Jalur Gaza dan digantikan oleh pasukan internasional untuk membantu Israel dan Palestina; (3) Arafat harus dinyatakan sebagai presiden pertama negara Palestina, kemudian diadakan pemilihan umum yang bebas untuk mengangkat presiden baru Palestina, dan Arafat boleh pensiun sesudah itu; (4) kelompok-kelompok bersenjata Palestina harus menghentikan semua tindakan kekerasan, termasuk bom bunuh diri; (5) dilangsungkan diplomasi tingkat tinggi.

Naim juga menambahkan, orang Israel yang tidak mau meninggalkan daerah pemukimannya, boleh menjadi warga negara Palestina, sementara bangsa Palestina yang berada di pengungsian boleh kembali ke Palestina.

Bukankah ini masalah politik, dan bukan masalah teologis? Begitu mungkin sebagian pembaca bertanya. Saya pikir memang betul ini masalah politik, tetapi sekaligus juga masalah teologis, karena di sinilah kita ditantang untuk mengambil sikap membela mereka yang tertindas. Kalau dulu Israel ditindas di Mesir dan di Jerman oleh Hitler, bukankah sekarang mereka telah berbalik menjadi penindas terhadap bangsa-bangsa lain? www


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814