:: home :: index ::

 

Minggu, 30/06/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Seputar Masalah Teologi (1-2)
Clash of Civilization?

Tanggal 5 April lalu saya menghadiri ceramah tentang Benturan Peradaban yang dibawakan oleh Prof. Syed Hussein Nasr, seorang pemikir Islam paling terkemuka di Barat saat ini. Tema ceramah ini diambil dari artikel oleh Samuel Huntington beberapa tahun lalu yang berjudul The Clash of Civilization. Huntington, seorang ahli politik, mengatakan bahwa ancaman paling serius di masa mendatang adalah benturan peradaban antara Islam dan Barat.

TELAH banyak tanggapan pro dan kontra yang ditulis tentang artikel ini, namun saya pikir tanggapan Nasr menarik untuk dikaji kembali. Apalagi setelah Tragedi 11 September, isu ini tampaknya kembali mencuat, karena banyak orang membayangkan inilah awal dari Benturan Peradaban itu. Baiklah saya mencoba menuliskan kembali pemikiran Prof. Nasr di bawah ini, dengan harapan mudah-mudahan bisa mengundang diskusi yang menarik.

Menurut Nasr, istilah "Islam" dan "Barat" dalam tesis Huntington bukanlah suatu perbandingan yang sejajar karena Islam di sini diacu sebagai agama, sementara Barat adalah wilayah. Sementara dalam sejarah dunia pernah dikenal Dunia Kristen, Islam tidak pernah menjadi Dunia Islam di mana Islam hidup sebagai agama dan wilayah. Dunia Barat yang kita kenal sekarang tidak dapat lagi disebut sebagai Dunia Kristen, karena Barat telah memilih sekularisme dan melepaskan diri dari kekristenan. Oleh karena itu, demikian Nasr, apa yang tersirat dari tesis Huntington ini adalah benturan antara peradaban Islam dan peradaban Barat yang mengandung sejumlah unsur Kristen.

Dengan kata lain, begitu kata Nasr, tesis Huntington ini agak tendensius, karena kelihatannya berusaha mengadu Islam dan Kekristenan. Padahal Islam telah lama mengenal Kekristenan, namun perjumpaan antara Islam dan Kekristenan Barat tidak sama dengan Kekristenan yang pertama-tama dikenal Islam, yaitu Kekristenan Bizantium.

Ada tiga periode penting yang patut dicatat: pertama-tama, Abad Pertengahan. Abad Pertengahan ini sering pula disebut sebagai Zaman Kekafiran, Zaman Kegelapan. Menurut pemahaman Barat, sejak abad VII, Kekristenan mengalami Zaman Pertengahan sampai tahun 1500, yang sesungguhnya tidak begitu gelap. Namun periode ini perlu dicatat karena Abad Pertengahan Eropa ini terjadi berbarengan dengan datangnya Islam ke benua itu. Bukan suatu kebetulan bahwa kedatangan Islam ke Barat itu dibarengi dengan penyatuan dan pengkristenan Eropa oleh Karl Agung (Charlemagne). Sementara di pihak lain, Islam juga dipersatukan di bawah Kekalifahan Umayyad.

Pada saat itu, Dunia Barat dikelilingi oleh Dunia Islam, namun yang sebaliknya tidak terjadi. "Dunia lain" satu-satunya yang dikenal oleh Barat adalah Islam, sementara di Bagdad, Islam mengenal akrab Manikheanisme, Buddhisme, Hinduisme, Konfusianisme, Zoroastrianisme, Afria, dll. Jadi, ada sikap yang sangat berbeda antara Dunia Barat dan Islam. Islam tidak merasa terancam oleh dunia, sementara yang sebaliknya terjadi pada Barat. Itulah sebabnya, orang Barat selalu merasa ketakutan terhadap Islam. Mereka ketakutan, memusuhi Islam, namun mereka menaruh penghargaan yang mendalam terhadap ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh Islam. Kita tidak boleh lupa bahwa ilmu pengetahuan seperti ilmu kimia, aljabar, geometri, filsafat, ilmu kedokteran, dll. - semuanya berkembang di Barat setelah Perang Salib. Ketika itu orang-orang Barat menemukan semua ilmu pengetahuan itu dalam bahasa Arab, setelah sumber-sumber aslinya dalam bahasa Yunani -  yang sudah diterjemahkan oleh orang-orang Islam, Yahudi dan Kristen ke dalam bahasa Arab - lenyap.

Pada periode kedua, umat Islam melakukan kekeliruan yang besar. Mereka menjadi hamba kekuasaan. Seorang sarjana Muslim India mengatakan bahwa Dunia Barat menjadi perkasa setelah Renaisans, sementara Islam memang berjasa karena telah memberikan kekuasaan melalui Renaisans. Namun pada saat yang sama juga berkembang sikap bermusuhan terhadap Islam. Perasaan ini menetap sampai akhir Masa Kolonialisme. Renaisans pun tidak menaruh hormat terhadap Islam.

Arsitektur Islam yang besar pun memudar. Orang tidak menaruh minat untuk belajar terhadap sufisme. Hal ini sangat berbeda dengan masa sebelum - seperti Spanyol di zaman kekuasaan Islam, misalnya. Sampai tahun 1945, peradaban Islam mulai merosot, penguasa Arab banyak yang menjadi korup, dan Islam pun mengalami kemunduran budaya maupun intelektual. Kemerosotan ini terus terjadi dan semakin parah pada abad XIX dan XX.

Tahap ketiga dalam sejarah perjumpaan Islam dan Barat terjadi pada tahun 1945 sampai sekarang. Tahap ini dimulai dengan kebangkitan kembali budaya Islam, kemerdekaan bangsa-bangsa di Dunia Ketiga yang tadinya merupakan daerah jajahan Barat. Muncullah Pakistan, negara dengan jumlah penduduk Islam terbesar di dunia yang kemudian digantikan oleh Indonesia sejak terbentuknya Bangla Desh. Negara-negara Arab pun bangkit kembali - Mesir, Yordania, Iraq, Iran, Aljazair, Libya, dll. Sejak tahun 1945 ini pula terjadi kebangkitan kembali peradaban Islam. Di sejumlah negara Arab, seperti Aljazair, terjadi pergeseran budaya. Di tahun 1960-an pengaruh Prancis sangat terasa di negeri itu. Banyak orang muda mengenakan jins, memainkan musik Barat, dan menggunakan berbagai produk Barat, namun keadaan ini telah berubah sekarang.

Di tahun 1930-an banyak orang meramalkan bahwa Islam akan mati, akan tetapi sekarang ternyata peradaban Islam berhasil bangkit kembali. Bukan cuma itu, tetapi banyak juga negara non-Islam lainnya yang berhasil bangkit memerdekakan diri dari penjajahan Barat. Pada saat yang sama, negara-negara itu juga menunjukkan identitasnya sendiri terpisah dari Barat, seperti Indonesia, Jepang, dan Tiongkok. Semuanya menegaskan dirinya berada di luar lingkaran geopolitik Barat, namun sekaligus juga non-Islam. Karena itu, Benturan Peradaban Barat dan Islam sebagai skenario satu-satunya yang ada dalam pikiran Huntington tidak tepat, sebab ada juga kekuatan-kekuatan lain di luar hegemoni Barat.

Masalah yang seringkali disoroti dunia saat ini adalah pergolakan di daerah-daerah di mana Islam merupakan kekuatan mayoritas. Hal ini, demikian Nasr, sering dipahami sebagai perlawanan Islam terhadap kekuatan Barat. Untuk mengilustrasikan pemikirannya, Nasr mengutip berbagai kejadian di dunia seperti Palestina, Chechnya, Kashmir, Filipina, dan Tiongkok Barat.

Di Palestina, Inggris tidak mendapatkan mandat PBB untuk membagi-bagi Palestina. Namun yang terjadi sekarang, 78% itu dikuasai Israel, sementara hanya 22% hanya dikuasai Palestina. Ketimpangan inilah yang menyebabkan bangsa Palestina terus melawan, menuntut hak-hak mereka. Chechnya selama puluhan tahun menjadi jajahan Rusia. Bangsa itu jelas sangat berbeda dengan bangsa Rusia: warna mata mereka tidak biru, rambut mereka tidak pirang, agama mereka bukan Ortodoks Rusia, bahasa mereka bukan Rusia. Di Kashmir, lebih dari 70% penduduknya beragama Islam dan lebih dari 20% Hindu. PBB telah lama meminta supaya di Kashmir diadakan referendum, namun hal itu tidak pernah terjadi. Filipina yang pada mulanya adalah sebuah kesultanan Islam, jatuh ke tangan Spanyol pada abad XVI. Menurut sumber-sumber Spanyol, setelah Sultan Ibrahim dihukum mati, rakyatnya diharuskan memilih menjadi Katolik atau dibunuh. Sebagian dari mereka berhasil melarikan diri ke Mindanao. Inilah yang menjadi akar pemberontakan bangsa Moro di Filipina Selatan. Di Tiongkok Barat penindasan terhadap orang-orang Islam, terus berlangsung di bawah rezim komunis. Baru-baru ini seorang ulama Islam dihukum gantung oleh pemerintah Tiongkok. Semua ini tidak pernah kita dengar, karena sejarah ditulis dari perspektif Barat.

Huntington menggambarkan semua ini sebagai agresivitas Islam melawan kekuatan Barat, namun yang sesungguhnya terjadi adalah upaya peradaban Islam untuk menegaskan kembali identitas dan realitasnya sendiri. Perjuangan ini bukanlah upaya perebutan wilayah, seperti yang terjadi dengan Perang Meksiko yang dilakukan oleh Amerika yang berakhir dengan perebutan California, Texas, dll.

Apa yang ditulis oleh Huntington, demikian Nasr, bukanlah suatu karya ilmiah melainkan sebuah rencana aksi yang merupakan “self-fulfilling prophecy” – suatu ramalan yang akan terjadi karena memang direncanakan untuk terjadi. Masalah ini menjadi semakin serius setelah Tragedi 11 September lalu. Lebih parah lagi, ada pihak-pihak tertentu, baik di Barat maupun di kalangan Islam sendiri, yang memang menghendaki terjadinya Benturan Peradaban tersebut. Ini sangat berbahaya, kata Nasr.

Namun demikian, peradaban itu bukan mustahil terjadi, sebab AS memandang dirinya sebagai pengawal ideologi yang berkuasa di barat saat ini, yaitu materialisme, sekularisme, modernisme, ditambah lagi dengan gagasan tentang demokrasi yang dalam prakteknya tidak lain daripada kekuatan pasar yang mencoba menguasai dunia. Dari semua ideologi, agama dan filsafat yang pernah ada di dalam dunia, kata Nasr, tidak ada satupun yang demikian eksklusif seperti modernisme. Modernisme tidak bisa menerima perlawanan atau saingan dari kekuatan manapun. Pluralisme pun dipahaminya dalam pemahamannya sendiri. Bila modernisme pergi ke India, ia akan memodernisasi Hinduisme. Ke dunia Islam, ia akan memodernisasikan Islam. Ke Jepang, ia akan memodernisasikan Jepang. Akhirnya, ke manapun modernisme pergi, ia akan berusaha menaklukkan dunia sekitarnya.

Untuk mempertahankan dominasi Barat dan nilai-nilainya – modernisme, sekularisme, materialisme – itulah maka dicetuskan gagasan tentang benturan peradaban antara Barat dan Islam. Agar dollar bisa bertahan kuat seperti sekarang, AS harus menguasai sumber-sumber energi dunia, seperti di Timur Tengah, Asia Tengah, Venezuela, Meksiko, dll. Untuk tetap bisa mengkonsumsi 25% sumber-sumber dunia, struktur kekuasaan yang ada sekarang harus tetap bisa dipertahankan.

Lebih jauh, ada masalah rohani berupa kehampaan jiwa banyak orang di AS sekarang ini. Nasr menunjuk pada kehadiran Pusat Zen, Vedanta, Yoga, Sufi, dll. yang membuktikan pencarian banyak orang akan hidup yang lebih bermakna. Kekosongan ini tidak dapat diisi dengan materialisme, tidak juga melalui benturan peradaban. Nasr berkata, “Manusia tidak hidup dengan roti saja, begitu kata Kristus, meskipun roti itu dibuat oleh McDonald.”

Jadi bagaimana seharusnya kita memahami benturan peradaban ini? Berbicara tentang benturan peradaban, kata Nasr, sesungguhnya berbicara tentang pembinasaan seluruh umat manusia. Dan tak seorangpun yang berakal sehat akan menyetujui hal ini. Ini adalah tugas seluruh umat manusia, khususnya umat Islam, kata Nasr, untuk mempertahankan seluruh kehidupan manusia. Terorisme yang dilakukan oleh berbagai organisasi Islam bukanlah suatu tindakan yang khas dilakukan oleh orang Islam. Para pelakunya adalah orang-orang yang putus asa, dan orang yang putus asa akan melakukan tindakan yang nekad. Sekitar 3000 tahun yang lalu, kata Nasr, Simson, seorang Ibrani, melakukan tindakan yang serupa dengan meruntuhkan kuil Dagon dan membunuh sekitar 3.300 orang Filistin bersama dirinya, karena mereka menindas dirinya dan bangsanya.

Bila kita memahami bahaya yang dikandung dalam gagasan mengenai benturan peradaban ini, maka kita harus menjauhkan diri dari gagasan itu. Dunia tidak bisa menanggung akibat yang mengerikan dari benturan seperti ini. Dunia tidak bisa dilihat terbagi-bagi antara Barat dan Islam, dst. Di Barat ada banyak orang Islam, sementara di negara-negara Islam ada orang-orang yang beragama lain dan mereka yang berorientasi kepada Barat. Oleh karena itulah maka kita perlu membangun saling pengertian yang didasarkan pada pemahaman keagamaan, kata Nasr. Hanya melalui saling pengertian inilah, kita bisa menghindari benturan antar-agama yang akan menghancurkan peradaban manusia. www


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814