TELAH banyak tanggapan
pro dan kontra yang ditulis tentang artikel ini, namun saya pikir
tanggapan Nasr menarik untuk dikaji kembali. Apalagi setelah Tragedi
11 September, isu ini tampaknya kembali mencuat, karena banyak orang
membayangkan inilah awal dari Benturan Peradaban itu. Baiklah saya
mencoba menuliskan kembali pemikiran Prof. Nasr di bawah ini, dengan
harapan mudah-mudahan bisa mengundang diskusi yang menarik.
Menurut Nasr, istilah
"Islam" dan "Barat" dalam tesis Huntington
bukanlah suatu perbandingan yang sejajar karena Islam di sini diacu
sebagai agama, sementara Barat adalah wilayah. Sementara dalam sejarah
dunia pernah dikenal Dunia Kristen, Islam tidak pernah menjadi Dunia
Islam di mana Islam hidup sebagai agama dan wilayah. Dunia Barat yang
kita kenal sekarang tidak dapat lagi disebut sebagai Dunia Kristen,
karena Barat telah memilih sekularisme dan melepaskan diri dari
kekristenan. Oleh karena itu, demikian Nasr, apa yang tersirat dari
tesis Huntington ini adalah benturan antara peradaban Islam dan
peradaban Barat yang mengandung sejumlah unsur Kristen.
Dengan kata lain,
begitu kata Nasr, tesis Huntington ini agak tendensius, karena
kelihatannya berusaha mengadu Islam dan Kekristenan. Padahal Islam
telah lama mengenal Kekristenan, namun perjumpaan antara Islam dan
Kekristenan Barat tidak sama dengan Kekristenan yang pertama-tama
dikenal Islam, yaitu Kekristenan Bizantium.
Ada tiga periode
penting yang patut dicatat: pertama-tama, Abad Pertengahan. Abad
Pertengahan ini sering pula disebut sebagai Zaman Kekafiran, Zaman
Kegelapan. Menurut pemahaman Barat, sejak abad VII, Kekristenan
mengalami Zaman Pertengahan sampai tahun 1500, yang sesungguhnya tidak
begitu gelap. Namun periode ini perlu dicatat karena Abad Pertengahan
Eropa ini terjadi berbarengan dengan datangnya Islam ke benua itu.
Bukan suatu kebetulan bahwa kedatangan Islam ke Barat itu dibarengi
dengan penyatuan dan pengkristenan Eropa oleh Karl Agung
(Charlemagne). Sementara di pihak lain, Islam juga dipersatukan di
bawah Kekalifahan Umayyad.
Pada saat itu, Dunia
Barat dikelilingi oleh Dunia Islam, namun yang sebaliknya tidak
terjadi. "Dunia lain" satu-satunya yang dikenal oleh Barat
adalah Islam, sementara di Bagdad, Islam mengenal akrab Manikheanisme,
Buddhisme, Hinduisme, Konfusianisme, Zoroastrianisme, Afria, dll. Jadi,
ada sikap yang sangat berbeda antara Dunia Barat dan Islam. Islam
tidak merasa terancam oleh dunia, sementara yang sebaliknya terjadi
pada Barat. Itulah sebabnya, orang Barat selalu merasa ketakutan
terhadap Islam. Mereka ketakutan, memusuhi Islam, namun mereka menaruh
penghargaan yang mendalam terhadap ilmu pengetahuan yang dihasilkan
oleh Islam. Kita tidak boleh lupa bahwa ilmu pengetahuan seperti ilmu
kimia, aljabar, geometri, filsafat, ilmu kedokteran, dll. - semuanya
berkembang di Barat setelah Perang Salib. Ketika itu orang-orang Barat
menemukan semua ilmu pengetahuan itu dalam bahasa Arab, setelah
sumber-sumber aslinya dalam bahasa Yunani - yang sudah
diterjemahkan oleh orang-orang Islam, Yahudi dan Kristen ke dalam
bahasa Arab - lenyap.
Pada periode kedua,
umat Islam melakukan kekeliruan yang besar. Mereka menjadi hamba
kekuasaan. Seorang sarjana Muslim India mengatakan bahwa Dunia Barat
menjadi perkasa setelah Renaisans, sementara Islam memang berjasa
karena telah memberikan kekuasaan melalui Renaisans. Namun pada saat
yang sama juga berkembang sikap bermusuhan terhadap Islam. Perasaan
ini menetap sampai akhir Masa Kolonialisme. Renaisans pun tidak
menaruh hormat terhadap Islam.
Arsitektur Islam yang
besar pun memudar. Orang tidak menaruh minat untuk belajar terhadap
sufisme. Hal ini sangat berbeda dengan masa sebelum - seperti Spanyol
di zaman kekuasaan Islam, misalnya. Sampai tahun 1945, peradaban Islam
mulai merosot, penguasa Arab banyak yang menjadi korup, dan Islam pun
mengalami kemunduran budaya maupun intelektual. Kemerosotan ini terus
terjadi dan semakin parah pada abad XIX dan XX.
Tahap ketiga dalam
sejarah perjumpaan Islam dan Barat terjadi pada tahun 1945 sampai
sekarang. Tahap ini dimulai dengan kebangkitan kembali budaya Islam,
kemerdekaan bangsa-bangsa di Dunia Ketiga yang tadinya merupakan
daerah jajahan Barat. Muncullah Pakistan, negara dengan jumlah
penduduk Islam terbesar di dunia yang kemudian digantikan oleh
Indonesia sejak terbentuknya Bangla Desh. Negara-negara Arab pun
bangkit kembali - Mesir, Yordania, Iraq, Iran, Aljazair, Libya, dll.
Sejak tahun 1945 ini pula terjadi kebangkitan kembali peradaban Islam.
Di sejumlah negara Arab, seperti Aljazair, terjadi pergeseran budaya.
Di tahun 1960-an pengaruh Prancis sangat terasa di negeri itu. Banyak
orang muda mengenakan jins, memainkan musik Barat, dan menggunakan
berbagai produk Barat, namun keadaan ini telah berubah sekarang.
Di tahun 1930-an banyak
orang meramalkan bahwa Islam akan mati, akan tetapi sekarang ternyata
peradaban Islam berhasil bangkit kembali. Bukan cuma itu, tetapi
banyak juga negara non-Islam lainnya yang berhasil bangkit
memerdekakan diri dari penjajahan Barat. Pada saat yang sama,
negara-negara itu juga menunjukkan identitasnya sendiri terpisah dari
Barat, seperti Indonesia, Jepang, dan Tiongkok. Semuanya menegaskan
dirinya berada di luar lingkaran geopolitik Barat, namun sekaligus
juga non-Islam. Karena itu, Benturan Peradaban Barat dan Islam sebagai
skenario satu-satunya yang ada dalam pikiran Huntington tidak tepat,
sebab ada juga kekuatan-kekuatan lain di luar hegemoni Barat.
Masalah yang seringkali disoroti dunia
saat ini adalah pergolakan di daerah-daerah di mana Islam merupakan
kekuatan mayoritas. Hal ini, demikian Nasr, sering dipahami sebagai
perlawanan Islam terhadap kekuatan Barat. Untuk mengilustrasikan
pemikirannya, Nasr mengutip berbagai kejadian di dunia seperti
Palestina, Chechnya, Kashmir, Filipina, dan Tiongkok Barat.
Di Palestina, Inggris tidak mendapatkan
mandat PBB untuk membagi-bagi Palestina. Namun yang terjadi sekarang,
78% itu dikuasai Israel, sementara hanya 22% hanya dikuasai Palestina.
Ketimpangan inilah yang menyebabkan bangsa Palestina terus melawan,
menuntut hak-hak mereka. Chechnya selama puluhan tahun menjadi jajahan
Rusia. Bangsa itu jelas sangat berbeda dengan bangsa Rusia: warna mata
mereka tidak biru, rambut mereka tidak pirang, agama mereka bukan
Ortodoks Rusia, bahasa mereka bukan Rusia. Di Kashmir, lebih dari 70%
penduduknya beragama Islam dan lebih dari 20% Hindu. PBB telah lama
meminta supaya di Kashmir diadakan referendum, namun hal itu tidak
pernah terjadi. Filipina yang pada mulanya adalah sebuah kesultanan
Islam, jatuh ke tangan Spanyol pada abad XVI. Menurut sumber-sumber
Spanyol, setelah Sultan Ibrahim dihukum mati, rakyatnya diharuskan
memilih menjadi Katolik atau dibunuh. Sebagian dari mereka berhasil
melarikan diri ke Mindanao. Inilah yang menjadi akar pemberontakan
bangsa Moro di Filipina Selatan. Di Tiongkok Barat penindasan terhadap
orang-orang Islam, terus berlangsung di bawah rezim komunis. Baru-baru
ini seorang ulama Islam dihukum gantung oleh pemerintah Tiongkok.
Semua ini tidak pernah kita dengar, karena sejarah ditulis dari
perspektif Barat.
Huntington menggambarkan semua ini
sebagai agresivitas Islam melawan kekuatan Barat, namun yang
sesungguhnya terjadi adalah upaya peradaban Islam untuk menegaskan
kembali identitas dan realitasnya sendiri. Perjuangan ini bukanlah
upaya perebutan wilayah, seperti yang terjadi dengan Perang Meksiko
yang dilakukan oleh Amerika yang berakhir dengan perebutan California,
Texas, dll.
Apa yang ditulis oleh Huntington,
demikian Nasr, bukanlah suatu karya ilmiah melainkan sebuah rencana
aksi yang merupakan “self-fulfilling prophecy” – suatu
ramalan yang akan terjadi karena memang direncanakan untuk terjadi.
Masalah ini menjadi semakin serius setelah Tragedi 11 September lalu.
Lebih parah lagi, ada pihak-pihak tertentu, baik di Barat maupun di
kalangan Islam sendiri, yang memang menghendaki terjadinya Benturan
Peradaban tersebut. Ini sangat berbahaya, kata Nasr.
Namun demikian, peradaban itu bukan
mustahil terjadi, sebab AS memandang dirinya sebagai pengawal ideologi
yang berkuasa di barat saat ini, yaitu materialisme, sekularisme,
modernisme, ditambah lagi dengan gagasan tentang demokrasi yang dalam
prakteknya tidak lain daripada kekuatan pasar yang mencoba menguasai
dunia. Dari semua ideologi, agama dan filsafat yang pernah ada di
dalam dunia, kata Nasr, tidak ada satupun yang demikian eksklusif
seperti modernisme. Modernisme tidak bisa menerima perlawanan atau
saingan dari kekuatan manapun. Pluralisme pun dipahaminya dalam
pemahamannya sendiri. Bila modernisme pergi ke India, ia akan
memodernisasi Hinduisme. Ke dunia Islam, ia akan memodernisasikan
Islam. Ke Jepang, ia akan memodernisasikan Jepang. Akhirnya, ke
manapun modernisme pergi, ia akan berusaha menaklukkan dunia
sekitarnya.
Untuk mempertahankan dominasi Barat dan
nilai-nilainya – modernisme, sekularisme, materialisme – itulah
maka dicetuskan gagasan tentang benturan peradaban antara Barat dan
Islam. Agar dollar bisa bertahan kuat seperti sekarang, AS harus
menguasai sumber-sumber energi dunia, seperti di Timur Tengah, Asia
Tengah, Venezuela, Meksiko, dll. Untuk tetap bisa mengkonsumsi 25%
sumber-sumber dunia, struktur kekuasaan yang ada sekarang harus tetap
bisa dipertahankan.
Lebih jauh, ada masalah rohani berupa
kehampaan jiwa banyak orang di AS sekarang ini. Nasr menunjuk pada
kehadiran Pusat Zen, Vedanta, Yoga, Sufi, dll. yang membuktikan
pencarian banyak orang akan hidup yang lebih bermakna. Kekosongan ini
tidak dapat diisi dengan materialisme, tidak juga melalui benturan
peradaban. Nasr berkata, “Manusia tidak hidup dengan roti saja,
begitu kata Kristus, meskipun roti itu dibuat oleh McDonald.”
Jadi bagaimana seharusnya kita memahami
benturan peradaban ini? Berbicara tentang benturan peradaban, kata
Nasr, sesungguhnya berbicara tentang pembinasaan seluruh umat manusia.
Dan tak seorangpun yang berakal sehat akan menyetujui hal ini. Ini
adalah tugas seluruh umat manusia, khususnya umat Islam, kata Nasr,
untuk mempertahankan seluruh kehidupan manusia. Terorisme yang
dilakukan oleh berbagai organisasi Islam bukanlah suatu tindakan yang
khas dilakukan oleh orang Islam. Para pelakunya adalah orang-orang
yang putus asa, dan orang yang putus asa akan melakukan tindakan yang
nekad. Sekitar 3000 tahun yang lalu, kata Nasr, Simson, seorang Ibrani,
melakukan tindakan yang serupa dengan meruntuhkan kuil Dagon dan
membunuh sekitar 3.300 orang Filistin bersama dirinya, karena mereka
menindas dirinya dan bangsanya.
Bila kita memahami bahaya yang
dikandung dalam gagasan mengenai benturan peradaban ini, maka kita
harus menjauhkan diri dari gagasan itu. Dunia tidak bisa menanggung
akibat yang mengerikan dari benturan seperti ini. Dunia tidak bisa
dilihat terbagi-bagi antara Barat dan Islam, dst. Di Barat ada banyak
orang Islam, sementara di negara-negara Islam ada orang-orang yang
beragama lain dan mereka yang berorientasi kepada Barat. Oleh karena
itulah maka kita perlu membangun saling pengertian yang didasarkan
pada pemahaman keagamaan, kata Nasr. Hanya melalui saling pengertian
inilah, kita bisa menghindari benturan antar-agama yang akan
menghancurkan peradaban manusia. www