Minggu, 09/06/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.
Manusia
dan Lingkungannya
(5)
California Food
Ada banyak toko makanan
dekat tempat tinggal kami – Safeway, Albertsons, Berkeley Bowl,
Andronico’s. Namun yang paling dekat adalah Whole Foods, yang
jaraknya hanya dua blok atau sekitar tiga menit jalan kaki. Kami
jarang ke situ, kalau tidak terpaksa. Mungkin pembaca dapat menerkanya.
Ya, harga bahan makanan di Whole Foods umumnya lebih mahal daripada di
tempat-tempat lain, meskipun kadang-kadang ada juga yang lebih murah.
Misalnya, tauge.
Anda mungkin bertanya,
tauge? Ya. Tauge, tahu dan tempe bisa diperoleh di sini. Tidak sulit.
Jadi, pembaca yang tidak terbiasa dengan makanan Barat tidak perlu
kuatir kalau berkunjung ke California, sebab kita tetap bisa menemukan
makanan yang ramah dengan lidah dan perut Melayu. Berbagai bumbu Asia
dan Indonesia pun bisa ditemukan di daerah Pecinan di Oakland, atau di
Pacific Mall di Richmond, sekitar 20 menit dengan mobil dari Berkeley.
Sejak pertengahan tahun
1960-an, dengan munculnya kaum hippie, orang California memang telah
banyak berubah. Bukan hanya karena persentase orang Asia yang semakin
banyak, tetapi mereka semakin sadar akan pentingnya makanan yang sehat.
Dengan demikian maka pola makan mereka pun berubah. Tauge, tahu dan
tempe hanyalah sebagian kecil dari makanan Asia yang masuk ke dalam
menu mereka, meskipun tempe yang dijual kebanyakan adalah tempe
burger, pengganti daging dalam hamburger. Masih ada banyak jenis
makanan Asia lainnya, khususnya sayuran dan buah-buahan. Misalnya pek
cai, sawi, kangkung, rumput laut. Maka muncullah apa yang
dinamakan “makanan California” yang umumnya terdiri atas salad,
makanan laut, daging ayam yang “putih” – atau yang biasa disebut
sebagai white meat. White meat biasanya terdiri atas ikan, dada
ayam, atau daging babi minus lemaknya. Sementara red meat atau
daging merah adalah daging sapi, kambing, atau paha ayam yang bisa
mengundang kolesterol tinggi.
Selain itu, California
food juga biasanya terdiri atas sayuran, buah-buahan atau daging
– sesedikit mungkin – yang dikembangkan secara organik. Saya tidak
tahu apakah demam makanan organik sudah melanda Jakarta, tetapi di
California banyak orang yang hanya mau makan makanan organik, atau
malah menjadi vegetarian. Telur organik dihasilkan oleh ayam yang
hanya diberikan makanan organik, tanpa campuran bahan kimia yang
merangsang produksi telur. Bahkan ada telur yang dipasarkan dengan
catatan tambahan “dihasilkan oleh ayam yang tidak dikandangi”. Wah,
ini sih mirip ayam kampung di Indonesia! Mungkin pesan yang mau
disampaikan oleh si penjual ialah bahwa mereka telah memperlakukan
ayam-ayam itu dengan peri kebinatangan.
Begitu juga daging sapi
organik dihasilkan oleh sapi yang dikembang-biakkan tanpa
suntikan-suntikan hormon penggemuk. Kita tentu masih ingat wabah “sapi
gila” yang melanda Eropa beberapa tahun lalu. Konon kabarnya
sapi-sapi itu memang banyak diberikan suntikan hormon penggemuk dan
sumber-sumber protein yang diragukan. Salah satu peternakan ayam
terbesar di AS baru-baru ini diberitakan memberikan protein ke dalam
makanan ayam-ayamnya. Masalahnya, sumber protein itu adalah sesamanya
yang telah mati. Daripada dibuang sayang, mendingan diolah lagi, jadi
makanan. Ayam-ayam itu dibina menjadi kanibal! Soal ini sempat
dikuatirkan para pakar peternakan – ayam-ayam itu bisa jadi ayam
gila, seperti yang terjadi dengan sapi-sapi gila itu.
Sayuran dan buah-buahan
organik dihasilkan tanpa pupuk kimia, melainkan pupuk alam. Para
petani pun menghindarkan diri dari penggunaan pestisida untuk
menangkal serangan hama. Saya tidak tahu apa yang mereka gunakan untuk
menangkal hama, namun saya pernah melihat pohon-pohon yang digantungi
kertas lem lalat atau jebakan hama tanaman lainnya.
Di Berkeley ada
beberapa restoran yang menjual makanan organik. Namun jangan ditanya
harganya. Seorang teman saya menceritakan pengalamannya makan di
restoran seperti itu untuk merayakan akhir studi mereka baru-baru ini.
Ia memesan steak ikan halibut. Setelah makan, ia membayar
sekitar $18, sementara kalau dihitung total, rata-rata membayar
sekitar $30. Dengan $30 dua atau tiga orang bisa makan di restoran di
sini. Betapapun, orang California rela membayar lebih mahal untuk
makanan sehat. Itulah sebabnya, Whole Foods, toko makanan itu pun
tidak kekurangan pelanggan. Malah boleh dikata toko itu sangat laris.
Pembelinya selalu banyak. Dibandingkan dengan Safeway, toko yang biasa
kami kunjungi, Whole Foods mungkin mempunyai lebih banyak pembeli.
Makanan sehat tidak
harus mahal. Istri seorang staf Konsulat Jenderal RI di San Francisco
ternyata pandai membuat tempe. Ia membawa raginya dari Jakarta, dan di
sini tinggal membeli kacang kedelainya. Tempe seukuran sekitar 15x20
cm dijual seharga $1.00. Sesekali ia juga mengajarkan ibu-ibu PKK di
Konsulat bagaimana membuat tempe.
Pola makanan orang
Amerika umumnya memang tidak sehat, lebih banyak terdapat daging dan
kalori dalam bentuk pasta, pizza, kue-kue dan minuman ringan seperti coca
cola. Tidak mengherankan banyak remaja yang berusia belasan tahun
dengan tinggi badan 165 cm, namun beratnya hampir 100 kg. Pemerintah
California saat ini sedang merencanakan untuk melarang minuman ringan
dan junk food (pizza, hamburger, hotdog, dll.) disajikan di
kantin sekolah. Saya tidak tahu, seberapa jauh program mengembangkan
makanan sehat yang dilakukan oleh pemerintah California ataupun
pihak-pihak lain yang prihatin terhadap masalah ini akan berhasil.
Tapi, inilah ironi dunia kita. Sementara sebagian orang bertanya-tanya,
“Makan apa sekarang?” sebagian besar lainnya – termasuk di
Amerika, tetapi terutama sekali di Dunia Ketiga – harus bertanya,
“Apa sekarang kita bisa makan?” www |