:: home :: index ::

 

Minggu, 02/06/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Manusia dan Lingkungannya (4)
Menghidupkan Makhluk Lain

Hari Minggu, 19 Mei lalu, adalah perayaan hari Waisak di “Temple of 10.000 Buddhas” di Ukiah. Komunitas Buddhis Ch’an (Zen) ini dimulai oleh Guru Hsuan Hua yang berasal dari Tiongkok. Selain biara, saat ini di tempat ini juga dikembangkan program pendidikan dari tingkat dasar sampai universitas dengan jurusan Studi dan Praktek Buddhisme, Terjemahan, dan Studi Sastra dan Budaya Tionghoa. Pada tingkat magister juga ditawarkan program pendidikan Buddhis.

Bersama kelas Antar-Iman, saya berangkat pada Minggu pagi itu dalam perjalanan sekitar 2 jam. Setiba di sana, kuil itu sudah penuh dengan umat dan tamu yang jumlahnya mungkin sekitar 1000-an orang. Setelah pembacaan doa yang sudah dimulai sejak pk. 6.00 pagi, semua pengunjung diajak ke ruang makan. Makanan yang disediakan semuanya vegetarian, terbuat dari sayuran, alias “cia cai”. Di tempat itu juga terdapat sebuah restoran Tionghoa yang hanya menyediakan makanan vegetarian. Memang, salah satu disiplin dalam biara itu adalah makanan vegetarian.

Puncak acara perayaan Waisak di tempat itu adalah pelepasan burung sejumlah lima keranjang. Bila satu keranjang berisi sekitar 15-20 ekor burung, maka jumlah burung yang dilepaskan hari itu tentulah sekitar 100 ekor. Burung-burung itu dibeli dari tukang jagal yang siap menyembelihnya. Namun hari itu burung-burung itu memperoleh kemerdekaannya. Macam-macam jenisnya, merpati, pheasant (sejenis ayam hutan), dan berjenis-jenis lainnya yang saya tidak kenal. Ketika penutup kandang dibuka, sebagian burung itu beterbangan. Ada yang ke semak-semak, ada pula yang terbang tinggi ke angkasa. Namun beberapa ekor di antaranya tampak kebingungan. Sejumlah orang berusaha mengusiknya supaya meninggalkan tempat itu, namun mereka tampak justru semakin cemas. Tampaknya burung-burung itu sudah terlalu lama hidup di kandang, sehingga kemerdekaan menjadi sebuah bahasa asing bagi mereka. Kemerdekaan memang bukan sesuatu yang mudah. Setelah terbebas dari mangsa manusia, apakah mereka akan terjamin aman di dalam kehidupan yang baru di alam bebas? Bagaimana dengan makanan mereka? Apakah sumber makanan mereka akan terjamin seperti yang selama ini mereka alami? Kemerdekaan memang kadang-kadang menakutkan. Tapi, itulah kehidupan. Penuh tantangan, bahaya, tetapi juga kesempatan untuk memulai sesuatu yang baru.

* * *

Di negara kaya seperti AS dan Eropa nasib binatang seringkali tampaknya lebih baik daripada nasib banyak orang, khususnya kaum miskin dan tidak berumah di sini, apalagi di Dunia Ketiga, seperti Indonesia. Di televisi ada promosi susu yang menggambarkan bagaimana seorang anak memberikan selai kacang yang ada di sendoknya kepada anjingnya, sementara ia sendiri menikmati segelas susu. Ada pula sepasang suami-istri yang asyik mandi bersama sambil memandikan anjing kesayangannya di bath tub di rumahnya. “Kalau anda mencintai binatang kesayangan anda seperti ini, selayaknyalah anda pergi ke Toko Anu. Supermarket untuk manusia, tetapi Toko Anu khusus untuk binatang kesayangan anda,” begitu bunyi promosinya.

Hubungan antara manusia dan makhluk lain, khususnya binatang, memang sangat khusus. Setiap petang ada banyak orang yang berjalan-jalan dengan anjing kesayangannya. Sebagian lagi menggunakan anjing sebagai teman pembimbingnya, karena memang mata mereka tidak dapat digunakan lagi. Ada pula yang memeliharanya untuk melindungi dan menjaga keamanan. Pada Januari tahun lalu, dua ekor anjing Presario Canary menyerang dan menggigit dan mencabik-cabik Dianne Whipple sampai mati di apartemennya. Kejadian ini banyak disoroti media, khususnya karena kedua anjing itu kemudian dihukum mati dengan suntikan maut, meskipun si pemilik, yang kemudian juga dijatuhi hukuman penjara, bersikeras mengatakan bahwa kedua anjingnya itu cinta damai. Konon kabarnya, setelah kejadian ini banyak toko binatang yang kebanjiran permintaan Presario Canary yang terkenal paling buas. Untuk apa? Ada dugaan, pesanan terbanyak datang dari mereka yang terlibat dalam perdagangan obat bius.

* * *

Saat ini semakin disadari rentannya, namun juga sekaligus pentingnya, hubungan antara manusia dan binatang serta segala makhluk hidup lainnya. Sebagai makhluk yang dikaruniai akal budi, manusia diperhadapkan dengan pilihan-pilihan yang sangat menentukan bagi masa depan kehidupan segenap makhluk di muka bumi ini.

Dalam wacana teologi lingkungan selama beberapa dekade terakhir ini acapkali dilontarkan kritik pedas dan tajam terhadap teologi Kristen yang dituduh telah mengakibatkan kerusakan lingkungan. Bukankah dalam Kejadian 1:28 Allah memerintahkan kepada manusia “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Perintah ini dipahami sebagai mandat untuk manusia bertindak sewenang-wenang atas bumi dan segala isinya. Krisis kehidupan yang diakibatkan oleh rusaknya lingkungan kita telah disadari sebagai salah satu ancaman paling serius yang dihadapi oleh manusia. Benarkah kita telah keliru memahami perintah Allah di dalam Kitab Kejadian itu?

Di pihak lain, Kitab Kejadian menunjukkan betapa eratnya hubungan antara manusia dan binatang, seperti yang kita temukan dalam 9:4. Di situ tegas-tegas dinyatakan bahwa binatang juga mempunyai “nyawa”, yang dalam bahasa Ibrani ditulis “nefesy haya” atau “napas kehidupan”, sebuah unsur yang dihembuskan Allah kepada manusia ketika Ia menciptakan kita semua. Di Sekolah Minggu seringkali kita mendengar ajaran yang sangat berbeda – manusia tidak sama atau sederajat dengan binatang. Kita lebih tinggi daripada mereka. Bukankah binatang diciptakan hanya dengan perintah Allah, sementara Allah menciptakan manusia dengan cara yang khusus: menghembuskan napas kehidupan-Nya ke dalam debu tanah yang telah diolah-Nya? (Tanpa menyadari bahwa sebetulnya kita sedang mencampur-adukkan dua versi kisah penciptaan yang berbeda!). Benarkah binatang mempunyai napas kehidupan yang sama dengan apa yang dimiliki manusia? Mungkinkah si penulis melakukan kesalahan di sini?

Dalam lingkaran kehidupan yang semakin rentan, tampaknya semakin mendesak pula tuntutan untuk mengembangkan teologi yang lebih bertanggungjawab, yang memberikan kehidupan kepada lingkungan kita. www


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814