:: home :: index ::

 

Minggu, 26/05/2002
Oleh: Trisno S. Sutanto

Pendeta Modern...?

Seandainya ada jabatan yang patut dikasihani pada zaman modern ini, saya kira, salah satunya adalah jabatan sebagai pendeta.

Tunggu dulu. Saya tidak bermaksud menghina jabatan pendeta. Setidaknya, mertua saya seorang pendeta. Jadi, izinkan saya menjelaskan kesimpulan saya di atas. Begini. Dalam pengamatan saya yang amat sangat terbatas, menjadi pendeta merupakan pekerjaan yang luar biasa sulit. Bahkan, kalau mau jujur, suatu pekerjaan yang mustahil. Saya selalu ingat, bagaimana para pendeta jadi manusia-manusia “super” yang harus – entah darimana keharusan ini asalnya! – mampu melakukan segalanya. Seperti Tuhan saja, laiknya.

Segalanya? Iya. Bayangkan saja: Pertama-tama, sebagai “pendeta yang baik dan benar”, sudah tentu, dia harus menguasai seluk beluk Alkitab agar mampu menafsirkan dengan baik. Karena itulah dia harus menggondol ijasah “Sarjana Teologi”. Kemudian dia juga seorang “orator” yang mempesona, kalau perlu seperti Bung Karno, agar jemaat tidak terkantuk-kantuk mendengar khotbahnya. Dan, karena dia harus menjadi “gembala” (ini asal makna “pastor”), maka dia harus memahami tingkah laku, perasaan, gejolak kejiwaan dan soal-soal psikologis lain yang sering dikeluhkan jemaatnya. Jadi, dia pun harus mendalami psikologi.

Cukup? Belum. Karena tugasnya juga termasuk mengelola gereja, maka setidaknya dia harus memahami prinsip-prinsip manajemen modern. Lha, kalau tidak, ‘kan gereja nantinya dikelola bak mengelola warung rokok. Maka dia harus tahu bagaimana SDM dikelola, bagaimana menyusun proyeksi anggaran tahunan gereja, bagaimana menulis surat yang sesuai dengan tata krama pergaulan modern, memahami apa artinya “Seven Habits of Highly Effective People” supaya tidak melongo saat salah seorang jemaatnya, manajer perusahaan multinasional, minta nasihat bagaimana mencapai win-win solution, dan seterusnya.

Sudah selesai? Ternyata masih belum juga. Dia harus memahami pergolakan politik, apa yang sedang diperdebatkan oleh para wakil rakyat di DPR/MPR akhir-akhir ini agar khotbahnya tidak melulu tentang kedatangan Yesus yang keduakalinya di masa akan datang. Kalau perlu dia juga harus tahu sedikit banyak perkembangan teknologi kontemporer, agar dapat mengambil sikap teologis yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap pertentangan pro-choice vs. pro-life, dan mengapa cloning sebaiknya ditentang atau didukung; mengapa perkembangan internet sekaligus berkah dan tantangan bagi iman Kristen; bagaimana menjelaskan dua bab pertama kitab Kejadian sekaligus menghargai temuan revolusioner Stephen Hawking maupun “A.I.”, film science fiction menggemparkan karya Steven Spielberg.

Daftar kemampuan yang seyogianya dipunyai sang pendeta di atas, agar dia mampu menjadi “pendeta yang baik dan benar”, baru semacam “pra-syarat” untuk pendeta yang melayani jemaat metropolitan. Di pedesaan, syaratnya bisa lebih absurd: sang pendeta juga harus mampu memberi nasihat obat apa yang baik dan murah untuk sakit ayan, mendoakan agar panen bisa berjalan baik, menolong jemaat yang harus melahirkan anak sementara mantri kesehatan belum kunjung datang, menengahi perebutan harta warisan, ikut rapat-rapat Rukun Kampung … termasuk menebak nomor “togel” yang akan keluar.

Pokoknya, pendeta adalah makhluk super. Sejenis Superman, tapi tidak bisa terbang. Dia harus mengetahui segalanya, amat sangat bijaksana dalam memberi pertimbangan, penuh welas asih hingga siap menolong siapapun dan kapanpun dibutuhkan, berpenampilan selalu rapi (karena “kerapihan sebagian dari iman”), penuh sopan santun … Oh iya, kalau dia pendeta perempuan, juga selalu siap menjalani “peran-beban ganda”: tidak hanya melayani Tuhan dan jemaat, tetapi juga sang suami yang minta dipijat dan anak-anak yang merengek karena uang jajannya kurang.

Itulah sebabnya, saya kira, jabatan pendeta adalah jabatan yang paling patut dikasihani di zaman modern. Sebab, ketika masyarakat sekitarnya “sudah modern”, jabatan pendeta tetap dipandang bagaikan “tetua adat” zaman baheula yang harus mampu menangani segalanya. Padahal, dalam zaman mo-dern, yang berlaku justru “diferensiasi sektor-sektor kehidupan”: soal ekonomi diurus ekonom, soal hukum oleh ahli hukum, dstnya. Tidak ada "Bapak-yang-tahu-segalanya-dan-mengurus-segalanya”, karena dunia-kehidupan zaman modern memang makin kompleks dan makin terpisah-pisah. Mau tak mau.

Jadi, sebaiknya kita mulai perlu memperbincangkan secara serius, wilayah kehidupan mana yang memang menjadi “garapan” pendeta, dan tidak membebani pendeta dengan urusan macam-macam. Agar jabatan itu tidak lagi menjadi jabatan yang paling patut dikasihani pada zaman modern ini. www


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814