:: home :: index ::

 

Minggu, 12/05/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Manusia dan LIngkungannya (1)
Peri Kebinatangan

“Anjing menggigit orang itu bukan berita. Kalau orang menggigit anjing, nah itu baru berita.” Itulah pelajaran pertama yang biasanya diterima mahasiswa jurnalistik tentang bagaimana mencari dan menulis berita. Barangkali pelajaran seperti ini tidak relevan untuk Indonesia, sebab di mana-mana kita bisa dengan mudah menemukan orang-orang yang menggigit-gigit bahkan mengunyah anjing. Maksud saya, daging anjing. Kalau tidak percaya, cobalah sekali-sekali pergi ke lapo, atau ke restoran “Andy Watung” di Jl. A. Yani, dekat Rawasari.

Maaf, saya tidak tahu apakah restoran itu masih ada di Jl. A. Yani atau tidak, karena sudah hampir dua tahun saya berada di AS. Maaf juga, saya tidak bermaksud melakukan promosi untuk restoran itu, sebab saya sendiri belum pernah ke sana, dan sama sekali tidak mengenal si pemiliknya. Namun yang ingin saya katakan ialah berita tentang orang makan anjing bukanlah sesuatu yang aneh untuk orang Indonesia. Sebaliknya, untuk orang Barat sungguh tidak masuk akal kalau ada manusia yang makan anjing. Bukan cuma tidak masuk akal, malah hal ini dianggap sebagai tanda-tanda kurang beradabnya masyarakat itu.

Saya teringat cerita yang pernah saya dengar dari teman-teman di STT Jakarta. Ketika itu asrama mahasiswa masih terletak di lantai 3 dan 4 di kampus Proklamasi. Sementara lantai 2 dari sudah lama, bahkan sampai sekarang, dijadikan wisma tamu (guest house) untuk sekadar menambah pemasukan STT Jakarta. Suatu kali seekor anjing tersesat masuk ke kompleks itu. Tidak ayal lagi, sejumlah mahasiswa dari barat dan timur (maksudnya, teman-teman dari Tapanuli dan Sulawesi Utara dan Maluku) menangkap anjing yang malang itu. Dalam tempo beberapa menit, anjing itu sudah menghembuskan napasnya yang terakhir dan beberapa jam kemudian mengalami transformasi menjadi ekstra-voeding untuk mahasiswa yang sebagian memang harus bergumul dan berjuang untuk bisa melihat terwujudnya bagian dari Doa Bapa Kami, “… dan berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.”

Kebetulan kejadian ini sempat disaksikan oleh sejumlah tamu Barat (yang ini betul-betulan dari Dunia Barat – entah Eropa atau Amerika), yang sedang menginap di wisma tamu itu. “Sungguh biadab,” komentar mereka yang melihat peristiwa itu.

Binatang peliharaan, khususnya untuk orang Amerika, adalah bagian penting dari hidupnya. Bila di Alkitab kita menemukan ayat yang mengatakan bahwa Allah baru menemukan kesempurnaan bagi manusia ketika Adam memperoleh Hawa sebagai pendampingnya, maka di AS mungkin ayat itu harus “direvisi”. Sebabnya, ada banyak orang yang merasakan dirinya baru sempurna karena hidupnya didampingi oleh binatang peliharaan, khususnya anjing dan kucing. Di AS hampir tidak ada keluarga yang tidak memiliki binatang peliharaan.

* * *

Namanya Joel Parrot. Laki-laki berusia setengah baya itu cukup terkenal di lingkungan Montclair Presbyterian Church, meskipun baru tahun lalu ia dan keluarganya menjadi anggota jemaat tersebut. Entah kebetulan, entah karena berganti nama, nama keluarga Joel, yaitu Parrot atau burung kakaktua, sungguh cocok dengan pekerjaannya sebagai direktur Kebun Binatang Oakland, kota kedua terbesar di California Utara ini. Joel telah berulang kali membawa binatang dalam acara kebaktian di Montclair. Hari Minggu 21 April lalu, yang kebetulan adalah Hari Lingkungan se-Dunia, Joel datang membawa aye-aye seekor binatang sebesar tupai, asli dari Madagaskar. Makanan utama binatang ini adalah serangga. Minggu pagi itu Joel memperkenalkan aye-aye kepada anak-anak Sekolah Minggu yang memperhatikannya dengan penuh rasa ingin tahu.

Sehubungan dengan perayaan Hari Lingkungan Hidup itu, kebaktian Minggu kali ini dipusatkan pada pemikiran ulang pada apa dampak cara hidup masyarakat AS yang serba konsumtif terhadap lingkungan hidup – flora, fauna, pendeknya seluruh makhluk hidup dan alam benda yang ada di sekitar kita. Termasuk pula aye-aye yang tergolong salah satu binatang yang terancam hidupnya karena semakin bertambahnya jumlah manusia yang menghancurkan lingkungan binatang itu.

Dalam dunia yang semakin canggih ini kita semakin disadarkan akan kesaling-terkaitan kita dengan lingkungan hidup kita. Setiap tindakan kita, kecil dan besar, mempunyai dampak terhadap setiap aspek kehidupan kita – baik yang hidup maupun yang (kita anggap) mati. Hubungan manusia dengan binatang yang seringkali dianggap remeh dan tidak perlu terlalu dianggap penting, misalnya, kian disadari sangat rentan terhadap kehancuran dan perusakan. Saya jadi teringat akan perayaan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia tahun lalu di Louisville. Hari itu, Louisville Presbyterian Theological Seminary mengadakan kebaktian khusus. Yang sangat khusus dengan kebaktian itu bukan hanya liturginya, tetapi juga hadirinnya, sebab mereka yang datang bukan hanya anggota komunitas kampus, tetapi juga siapa saja yang berminat menghadirinya – bersama binatang kesayangannya. Pada hari itu, diadakan acara pemberkatan khusus untuk binatang-binatang kesayangan.

Saya, seperti juga sebagian dari pembaca, saya pikir, sempat kaget dan bertanya-tanya, “Adakah tempat untuk binatang dalam kebaktian kita?” Kita ingat bahwa dalam tradisi Israel kuno, bahkan sampai pada masa Yesus, binatang punya tempat dalam kebaktian, yakni sebagai kurban, pelengkap penderita. Bukan sebagai “peserta aktif”—kalaupun bisa dikatakan demikian. Dalam pemahaman Kristen, khususnya dalam tradisi Calvin, titik sentral kebaktian adalah perjumpaan Allah dan manusia. Tidak ada tempat untuk makhluk-makhluk lain. Tetapi akibatnya, hidup kita jadi terpusat kepada manusia, meskipun kita lebih suka mengatakan bahwa hidup kita terpusat kepada Allah. Padahal kalau kita membaca dengan cermat, dalam tradisi Perjanjian Lama temukan bahwa ikatan perjanjian Allah dengan Israel juga melibatkan binatang, sehingga binatang pun harus mendapatkan istirahat penuh pada hari Sabat. “Tetaplah ingat dan kuduskanlah hari Sabat… maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki,…atau hewanmu yang manapun… (Ul. 5:12-14). Pertobatan bukan hanya dilakukan oleh manusia, tetapi juga oleh binatang (Yun. 3:7-8). Sebaliknya, dalam peperangan, bukan hanya suatu bangsa yang dimusnahkan tetapi juga binatang ternaknya. Jadi, pemikiran Alkitab memang utuh, holistik. Karena itu, peri kemanusiaan saja memang tidak cukup. Perlu juga peri kebinatangan. www


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814