:: home :: index ::

 

Minggu, 28/04/2002

Ketika Pendeta Angkat Suara

WARTA JEMAAT - Setelah penelusuran singkat tentang penyembuhan alternatif, khususnya yang memanfaatkan “energi alam semesta” atau yang dikenal juga dengan istilah chi atau ki, rasanya tak salah kalau kita mendengar komentar Pendeta mengenai hal ini. Bukan karena mereka lebih tahu soal chi, tapi agar kita bisa mengambil sikap etis yang tepat.

Rasanya benar bahwa tidak ada satu pendapat pun yang bisa memuaskan semua pihak. Apalagi ketika kita berbicara mengenai penyembuhan alternatif yang boleh dibilang “baru” bagi kita—atau kalau tidak mau dibilang begitu, setidaknya bisa dikatakan bahwa metode alternatif ini masih belum diterima secara umum.

Tentunya masalah pengobatan alternatif ini tidak akan terlalu menjadi masalah, apabila metode yang ditawarkan jelas-jelas berbau klenik atau okultisme atau perdukunan. Dengan cepat kita bisa mengatakan bahwa kita tidak akan menempuh cara-cara itu. Namun, masalahnya menjadi lebih rumit, ketika metode penyembuhan itu bukan klenik, tapi juga masih cukup “misterius” untuk dikategorikan ilmiah, macam Prana dan Reiki. Boleh dibilang, metode-metode ini berada di dalam grey area yang membutuhkan pertimbangan etis yang lebih serius.

Ambil contoh, Bp. Johnny Wijaya, anggota jemaat GKI Gading Indah, dalam Warta Jemaat Bulanan yang lalu mengaku telah memilih untuk menempuh cara alternatif itu. Dan baginya, metode pengobatan dengan Reiki sangat terasa manfaatnya.

Namun begitu, Sekretaris Umum Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS) GKI Pdt. Yahya Sunarya, MTh, dengan tegas mengatakan tidak setuju dengan metode pengobatan alternatif macam itu. Menurutnya, jangan sampai karena upaya penyembuhan, orang Kristen jatuh menyembah allah lain.  Sejauh tidak terbukti secara rasional, ia menolak metode pengobatan alternatif. Ia berprinsip, lebih baik sakit daripada menyangkal Tuhan. Namun, apakah dengan menempuh metode alternatif, otomatis seorang Kristen jadi menyangkal Tuhan?

Pdt. Joas Adiprasetya, MTh. dari GKI Pondok Indah mengutarakan pendapat yang agak berbeda. Urusan seperti ini, menurutnya, bukan soal boleh atau tidak, berdosa atau tidak . “Jadi pertanyaannya yang salah,” ujarnya. Baginya, urusan etika adalah urusan tanggung jawab. “Sebagai orang Kristen, kita bisa melakukan apa saja, asalkan kita bisa mempertanggungjawabkannya di depan Tuhan,” katanya lagi. Pendeknya, iman kita jangan sampai terganggu dengan menempuh jalur alternatif itu.

Namun Pdt. Joas mengakui, untuk praktek-praktek yang jelas-jelas berbau klenik dan demonik (mengarah pada kuasa kegelapan—red.) alternatif apapun harus dihindari. Dalam hal ini, rasionalitas yang diajukan oleh Pdt. Yahya memainkan peranan penting untuk suatu upaya “pengujian roh” (discernment of the spirits).

Lebih lanjut, dosen STT Jakarta yang akan segera melanjutkan studi doktoral di Boston ini, setuju kalau dikatakan bahwa alternatif pengobatan macam Prana dan Reiki itu “tidak kristiani”. Namun, menurutnya, itu bukan berarti tidak boleh digunakan. Alasannya? “Pertama-tama adalah karena tidak ada pengobatan kristiani. Sama seperti tidak ada matematika kritiani,” ujarnya. “Kedua, segala sesuatu yang baik bisa digunakan Allah sebagai alatNya. Dan ketiga, orang Kristen yang dewasa, saya yakini, memiliki keterarahan kepada Allah. Yang pada gilirannya membuatnya peka untuk memutuskan pilihan hidupnya, termasuk pengobatan yang akan ia pilih.”

Ia pun berpendapat bahwa soal rasional dan tidak rasional itu sangat tergantung pada padangan komunitas tertentu. Yang rasional bagi satu kelompok bisa jadi tidak rasional bagi kelompok lain. “Apakah pengobatan Barat bisa dibuktikan memiliki landasan alkitabiah dan teologis yang lebih sah dari cara-cara masyarakat Timur?” tanyanya. “Paradigma, atau kerangka berpikirnya, memang berbeda. Apabila pengobatan Timur memakai paradigma energi (chi atau ki) atau Yin-Yang, maka pendekatan Barat memakai paradigma kimiawi. Keduanya berbeda dan tidak dapat dipertentangkan,” ujarnya berfilsafat. Karena itu, baginya, orang Kristen tidak perlu alergi terhadap model alternatif “energi alam semesta” seperti itu, karena Allah jauh lebih besar dari itu semua. “Allah kita adalah Allah yang memampukan anak-anak-Nya untuk menikmati alam semesta ciptaanNya, dengan tetap mengarahkan hati kepada Dia,” yakinnya lagi.

Lagi pula, bukankah penyembuhan alternatif ini tidak menjamin kesembuhan apa-apa? Toh tidak berarti dengan mengikuti Reiki, misalnya, semua pe-nyakit langsung sirna tak berbekas. Metode penyembuhan alternatif tetap saja sekadar upaya manusia—yang bisa berhasil dan bisa juga gagal. Keputusan akhir tetap ada di tangan Bapa, Sang Khalik alam semesta ini.

Seperti apa yang diungkapkan oleh Pdt. Yahya, kesembuhan bukanlah segala-galanya. Rasul Paulus pun sakit, dan Tuhan membiarkan sakit itu tetap ada pada dirinya. Dan, setelah berkali-kali memohon kesembuhan, Paulus toh menerimanya sebagai bagian dari rencana agung Allah bagi dirnya. (MHS/SS)


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814