:: home :: index ::

 

Minggu, 14/04/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Tentang Perpustakaan (1)
Dari Berkeley Memahami Dunia

“Berapa jumlah perpustakaan umum di Jakarta,” tanya Miles, seorang pengunjung tetap Gereja Montclair, ketika ia mengantarkan saya dan Gita pulang dari kebaktian pada hari Minggu awal Januari itu. Saat itu cuaca masih terlalu dingin untuk Dini dan Reina sehingga mereka tidak ikut kebaktian. Lagi pula, karena masih terlalu kecil, Reina harus duduk di car-seat, sesuai de­ngan UU Lalu Lintas di sini. Kami kuatir kalau Dini dan Reina ikut, mobil Miles akan terlalu padat, apabila Mary Ellen, istrinya, juga ikut.

Miles, seorang bekas pendeta Unitarian Universalist, yang kemudian beralih menjadi dosen, sudah cukup lanjut usia. Kini mereka aktif di Montclair Presbyterian Church. Kedua suami-istri itu tinggal tidak begitu jauh dari rumah kami, sehingga sering kami minta bantuan untuk tumpangan ke gereja. Saat itu kami belum punya mobil. Hari Sabtu kemarinnya kebetulan saya berjumpa Miles di perpustakaan cabang di Benvenue dekat rumah kami sedang meminjam buku.

Berapa jumlah perpustakaan umum di Jakarta? Adakah pembaca yang mengetahuinya? Inilah salah satu fasilitas publik yang sangat langka di Jakarta, apalagi di kota-kota lainnya di Indonesia. Seingat saya di Jakarta ada Perpustakaan Nasional di Jl. Salemba Raya yang tidak pernah saya masuki. Lain dari itu, saya tidak pernah mendengar keberadaan perpustakaan umum lainnya. Memang ada juga perpustakaan milik PPIA di Jl. Pramuka, atau milik British Council di Gedung Widjojo di Jl. Sudirman. Lalu perpustakaan Erasmus Huis, Pusat Kebuda­yaan Prancis, Pusat Kebudayaan India di Jl. Imam Bonjol. Masih ada pula sejumlah perpustakaan lain milik sejumlah kedutaan besar, seperti Kedubes Rusia, Polandia, Jerman, Jepang, dll. Oh ya, sudah tentu, harus saya sebutkan pula sejumlah perpustakaan milik gereja-gereja di Jakarta, walaupun koleksinya sangat terbatas dalam jumlah dan temanya. Mungkin tidak banyak dari kita yang menyadari keberadaan perpustakaan-perpustakaan itu, apalagi memanfaatkan kehadirannya.

Joseph Campbell, seorang ahli antropologi yang cukup terkemuka di AS, pernah berta­nya, “Bagaimana caranya mengetahui ‘jiwa’ suatu masyarakat?” Mudah, katanya. Lihat saja, gedung apa yang paling banyak atau paling tinggi di lingkungan itu. Di Abad Pertengahan di banyak kota Eropa, bangunan-bangunan yang paling menonjol adalah gereja-gereja. Pada saat itu, kekristenan menjadi pusat kehidupan dan jiwa masyarakat. Gereja menjadi lembaga yang paling berwibawa dan dihormati. Namun kini wajah banyak kota di dunia telah banyak berubah. Gereja atau lembaga-lembaga agama bukan lagi yang paling berwibawa. Itulah sebabnya pada tanggal 11 September 2001 lalu di AS ini bukan gereja yang dihancurkan, melainkan World Trade Center dan Pentagon – dua pusat kekuatan yang dibanggakan AS, yaitu keuangan dan militer. 

Di Berkeley, landmark atau ciri utama kota ini adalah menara lonceng di UCB (University of California, Berkeley). Dari sini dapat kita simpulkan bahwa memang kekuatan utama Berkeley adalah pendidikan. Itulah sebabnya kota Berkeley yang mungkin tidak lebih besar dari Kecamat­an Pulo Gadung, mempunyai banyak perpustakaan. Di setiap bagian kota ada perpustakaan – Cabang Utara, Selatan, Barat, Timur, dan Pusat. Belum lagi perpustakaan milik UCB dan GTU sendiri.

Untuk menjadi anggota di perpustakaan umum itu, kita cukup membawa bukti identitas diri sebagai penduduk kota Berkeley, dan salah satu bukti lainnya, misalnya rekening telepon, listrik, gas, air, sampah, dll. Anak-anak juga bisa menjadi anggota perpustakaan. Semuanya tanpa bayar. Pengurusannya juga hanya membutuhkan waktu sekitar 5 menit. Setelah itu kita mendapatkan kartu anggota. Kartu anggota ini berlaku untuk semua perpustakaan umum kota. Kita bisa meminjam buku di manapun juga, dan mengembalikannya di salah satu cabang perpustakaan itu. Jadi, saya tidak usah berpayah-payah mengembalikan buku pinjaman saya ke perpustakaan tempat saya meminjamnya. Para petugas perpustakaan sendiri yang akan meme­riksa asal-usul buku itu, lalu mengembalikannya langsung. Sungguh fasilitas yang sangat me­nyenangkan. 

Perpustakaan cabang di Benvenue, tidak begitu besar. Mungkin sedikit lebih besar daripada gedung gereja GKI Gading Indah. Namun koleksinya cukup lumayan. Ada banyak majalah dan surat kabar. Ada bermacam-macam buku, fiksi maupun non-fiksi. Ada koleksi khusus untuk anak-anak dan remaja. Ada koleksi CD dan video kaset untuk dewasa, anak-anak maupun remaja. Setiap kali kita bisa meminjam sampai tiga minggu – 3 buku, 3 majalah, 4 CD, dll. Bila belum bisa mengembalikannya, kita pun bisa menelepon langsung perpustakaan itu untuk memperpanjang buku, majalah, CD atau video pinjaman itu. Keterlambatan pengembalian akan dikenai denda 10 sen per minggu untuk setiap barang, namun anak-anak tidak dikenai den­da. Tidak mengherankan bila perpustakaan ini selalu penuh dengan pengunjung. Suasana ruang baca juga sangat menyenangkan, karena setiap orang paham betul aturan-aturan perpustakaan itu.

Melihat fasilitas yang sangat menggalakkan orang untuk membaca, saya sungguh jadi sangat tergiur. Kapan kita bisa memiliki begitu banyak perpustakaan dan melihat begitu banyak orang yang memanfaatkannya? Saya berteori: Masyarakat Barat, khususnya di AS telah meng­alami lompatan, dari masyarakat membaca menjadi masyarakat penonton. Dari kebiasaan membaca buku ke kebiasaan menonton TV. Sementara di Indonesia, masyarakat kita melompat dari masyarakat petutur (tradisi lisan) ke masyarakat menonton. Kalaupun pernah menjadi masyarakat pembaca, maka periode itu sangat singkat sekali, sehingga kebiasaan itu tidak melekat kuat di kalangan masyarakat kita. Padahal, perpustakaan dan buku akan menjadi sarana yang paling bagus kalau kita mau mengenal dunia dengan murah. ***


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814