:: home :: index ::

 

Minggu, 24/03/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Gereja Indonesia di Amerika Serikat (4)
Mencari Identitas di Negeri Orang

Sewaktu masih belajar teologi di Trinity College, Singapura, saya pernah ditempatkan di sebuah gereja HKBP di Short Street yang dekat sekali dari kampus dan asrama kami. Gereja itu sudah lama berdiri, kalau tidak salah pada akhir tahun 1940-an, setelah Perang Dunia II selesai. Sejumlah suku Batak yang kebetulan tinggal di negara kota itu berkumpul dan membentuk je­maat sendiri, karena kerinduan mereka untuk saling bertemu dan berbakti dalam bahasa mereka sendiri. Mengapa saya ditempatkan di situ?

Jelas sekali pihak sekolah tidak paham bahwa saya bukan orang Batak dan sesama orang Indonesia tidak otomatis memahami bahasa Batak. Karena itu, selama dua term (sekitar 6 bulan) saya ditempatkan di sana, saya hanya berhasil menangkap beberapa patah kata saja, seperti “Jonjong ma hita,” atau “Duduk ma hita.” Juga kata-kata “Tuhan Debata” dan “durung-durung.” Lain dari itu, saya sama sekali tidak paham seluruh kebaktian di situ.

Sebagai makhluk sosial manusia memang selalu berusaha mencari teman, khususnya yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Semakin tinggi kesamaan itu, semakin tinggi pula tingkat keakraban di antara mereka. Kebutuhan itu tidak hanya terdapat di kalangan orang Indonesia, tetapi juga setiap bangsa. Oleh karena itu, orang di Amerika Serikat sering berkata bahwa hari Minggu pk. 11 adalah waktu yang paling tersegregasi di AS ini. Artinya, pada jam itu, sebagian besar orang di AS akan berkumpul dengan bangsanya masing-masing. Yang Polandia pergi ke gereja Polandia, yang Serbia pergi ke gereja Serbia, yang Filipina, Taiwan, Thai, dll. semuanya pergi ke gerejanya sendiri-sendiri. Itulah sebabnya, orang Indonesia di mana-mana juga tidak mau ketinggalan, sehingga terbentuklah gereja Indonesia di Singapura, Hongkong, Australia, Belanda, Jerman, AS, dll. Semuanya terbentuk bukan sekadar untuk memberikan makanan rohani kepada orang Indonesia, melainkan sebagai penyalur kepuasan sosial bagi masing-masing anggotanya.

Karena itulah, di GKI San Francisco ada juga anggota yang berasal dari tempat-tempat lain, seperti Palo Alto dan Petaluma yang jaraknya sekitar 60-90 menit perjalanan. Atau bahkan juga dari Sacramento yang membutuhkan jarak tempuh hampir 2 ½ jam ke San Francisco.

Bicara soal Sacramento, kabarnya di sana ada sebuah jemaat Indonesia, khususnya di kalangan masyarakat Minahasa yang banyak tinggal di sana. Namun saya baru mendengar bahwa jemaat itu diasuh oleh sebuah jemaat Indonesia lainnya yang juga sama-sama berada di naungan PC(USA) yang berada di Fullerton, dekat Los Angeles. Nah, ini lebih dahsyat lagi. Jarak Fullerton-Sacramento mungkin sekitar 9-10 jam. Bagaimana jemaat Fulerton itu bisa menangani pelayanan di Sacramento? Teka-teki ini belum terjawab, karena saya belum sempat menelepon pendeta di Fullerton yang kebetulan saya kenal.

Dari gambaran di atas, saya kira cukup jelas betapa kerinduan untuk bertemu dan ber­kumpul dengan sesama orang Indonesia terasa begitu tinggi di kalangan para perantau di negeri asing. Namun persoalannya, tidak semua orang bisa menemukan jemaat yang serupa dengan je­maat di tempat asalnya. Dengan demikian tidak mengherankan apabila kadang kala orang begi­tu saja masuk ke sebuah jemaat, tanpa terlebih dulu mempelajari perbedaan dan persamaannya dengan jemaat asalnya. “Pokoknya di sana banyak orang Indonesia,” begitu kira-kira pikiran sebagian orang. “Lagi pula, semua gereja kan sama saja!” mungkin sebagian orang lagi berpen­dapat demikian, mengikuti nyanyian yang begitu sering dinyanyikan di kalangan persekutuan gado-gado yang sering dinamai persekutuan oikumene itu, sehingga arti kata oikumene sudah tidak jelas lagi.

Beberapa bulan lalu, selesai memimpin kebaktian di GKI San Francisco saya disapa oleh salah seorang pengunjung. Ternyata dia adalah seorang anggota jemaat di salah satu GKI di Jakarta. Hari itu kebetulan ia mengantarkan kedua orangtuanya yang sedang menjenguknya di San Francisco. “Tapi biasanya saya ke Gereja Nazarene Indonesia,” tambahnya lagi. Katanya, kakaknya menjadi anggota majelis di gereja itu. Nah, gereja apakah Nazarene itu? Ini adalah sebuah sempalan dari Gereja Metodis yang didirikan oleh orang-orang yang merasa bahwa Gereja Metodis—yang dimulai sebagai gerakan protes terhadap Gereja Anglikan, yang diwarnai oleh semangat pietisme yang sangat menekankan hidup saleh—ternyata digugat dan dianggap masih kurang saleh. Maka muncullah Gereja Nazarene yang teologinya cenderung legalistis: orang Kristen tidak boleh ini, tidak boleh itu. Sewaktu saya masih di Indonesia, saya mendengar dari seorang kolega saya di Yogyakarta bahwa di kota itu juga sudah berdiri sebuah Gereja Nazarene. Nah lho… Gereja Yesus Kristus di Indonesia semakin rupa-rupa warnanya, seperti “Balonku”.

Pertengahan Februari yang lalu saya bertemu dengan beberapa teman lama yang kini tinggal di Dallas, Texas. Mereka juga kabarnya sudah membentuk jemaat Indonesia, di antara sekian jemaat Indonesia lainnya yang umumnya berafiliasi dengan Bethany dan gerakan Karis­matik. “Tapi kami tidak mau mengikuti mereka. Kami memilih berafiliasi dengan gereja Southern Baptist, karena itu adalah gereja arus utama.” Nah lho… sekali lagi saya terkaget-kaget. Di peta “pergerejaan”, Southern Baptist tidak pernah dikelompokkan ke dalam arus utama. Lihat saja teologinya: orang yang mau masuk ke situ biasanya harus dibaptis ulang. Beberapa tahun lalu Gereja itu memutuskan untuk menolak dan membatalkan tahbisan untuk kaum perempuan karena dianggap tidak alkitabiah. Mereka juga menganut paham infalibilitas dan ineransi Alkitab. Itu semua adalah ciri-ciri dari gereja yang menentang arus utama.

Eh, tapi tunggu dulu. Siapa tahu, Gereja Southern Baptist di Texas agak berbeda? Tahun lalu saya membaca berita bahwa Gereja Southern Baptist di Texas dan sejumlah jemaat lainnya memutuskan untuk memboikot Sinode mereka. Mereka memutuskan untuk menghentikan pengiriman dukungan finansial mereka kepada seminari-seminari Baptis milik Southern Baptist karena teologi mereka yang menolak penahbisan terhadap perempuan. Mereka juga membentuk kelompok jemaat-jemaat pembangkang. Betapapun juga, saya pikir, pengetahuan tentang tradisi dan konfesi gereja penting dikuasai oleh jemaat kita, supaya mereka tidak sembarangan masuk gereja. Bukan dengan prinsip  “Pokoknya di sana banyak orang Indonesia.” ***
 


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814