:: home :: index ::

 

Minggu, 17/03/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Gereja Indonesia di Amerika Serikat (3)
Menjual Nama GKI

Pernahkah terlintas dalam benak anda betapa lakunya nama Gereja Kristen Indonesia? Bayangkan, selain GKI Jawa Barat, Tengah dan Timur, yaitu gereja-gereja yang dulunya memakai nama Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee, nama ini dipakai juga di Sumatera Utara oleh sebuah sinode anggota PGI, yaitu GKI Sumut. Ada lagi GKI Irja di Papua yang namanya mungkin sudah berubah menjadi GKI Papua. Namun harus dicatat bahwa GKI di sini artinya Gereja Kristen Injili.

Di sini bukan berarti mereka ikut-ikutan gejala “meng-injili” yang populer di kalangan sebagian gereja sekarang, melainkan mengikuti tradisi Eropa Barat sejak Martin Luther dulu yang mengartikan “Injili” (Evangelische) tidak lebih daripada “Protestan”.

Di Belanda juga ada GKI Nederland. Konon gereja yang didirikan sekelompok orang asal Indonesia (yang sebagian anggotanya berasal dari GKI di Indonesia) pernah berniat berafiliasi dengan GKI kita, namun ditolak. Akhirnya hubungannya hanyalah sebatas sebagai “saudara” atau dalam bahasa Inggris biasa disebut fraternal. Dalam status itu, sesekali mereka diundang untuk menghadiri acara-acara GKI.

Di Los Angeles ada sebuah gereja yang cukup besar yang bahkan juga sudah “beranak-pinak” sejumlah jemaat lainnya. Asyiknya, eh, anehnya, si pendiri gereja ini bukan berasal dari GKI. Namun ketika tiba di Amerika Serikat ia dengan santainya mengambil nama GKI (Gereja Kristen Indonesia) dan “mempatenkan”-nya di sini. Banyak orang dari Indonesia yang datang ke AS tidak pernah tahu-menahu tentang  asal-usul gereja ini dan mengira bahwa mereka telah “membeli barang yang asli.” Padahal kalau orang cukup paham tentang teologi, tentu ia bisa membe­dakan mana yang GKI “beneran” – yang biasanya menganut teologi arus tengah atau arus utama, dengan GKI “tetiron” yang menganut dan mengembangkan teologi yang lain. Sayangnya, perbedaan seperti itu tidak selalu segera kelihatan. Mungkin karena pandainya mereka menampilkan diri sebagai GKI, atau kelemahan kita sendiri yang kurang “mengarus-utamakan” diri sendiri. 

Di mata pemerintah AS rupanya nama GKI tidak lebih dan tidak kurang daripada seka­dar sebuah merek. Apa boleh buat. Bagi pemerintah di sini,  siapa yang mendaftar duluan, dialah pemilik merek yang sah. Persis dengan soal rebutan merek dagang yang banyak sekali terjadi di Indonesia.

Itulah yang terjadi ketika GKI San Francisco mau dibentuk. Para anggota pendirinya, yang merasa sebagai orang-orang GKI – lahir dan dibesarkan di lingkungan GKI – juga merasa bahwa mereka punya hak untuk memakai merek GKI bagi gerejanya. Namun karena merek ini sudah dipatenkan oleh orang lain di Los Angeles, maka mereka pun terpaksa harus minta izin kepada si pemilik merek. Dengan surat tidak keberatan dari gereja di Los Angeles itu, maka GKI San Francisco pun diberikan izin untuk menggunakan nama GKI pada namanya.

Jadi, GKI San Francisco ini sebetulnya gereja apa? GKI-kah atau bukan? Suasana gereja ini memang menunjukkan ciri-ciri GKI, khususnya liturgi yang dipakai setiap minggu. Seperti yang telah saya ceritakan sebelumnya, GKI SF juga berafiliasi dengan GKI Jateng. Hubungan ini, meskipun tidak bersifat organik, tampaknya cukup intensif. Namun me­reka juga dianjurkan untuk bernaung di bawah gereja setempat dan karena itu GKI SF memilih PC(USA) yang dari ajaran dan tata gerejanya paling dekat dengan GKI. Bulan Oktober-Novem­ber tahun 2001 lalu, tiga orang pendeta GKI (W) Jateng datang ke sini untuk membantu GKI SF dalam menerjemah­kan Book of Order atau Tata Gereja PC (USA) ke dalam bahasa Indonesia. Sejauh pengetahuan saya, inilah satu-satunya terjemahan Book of Order dalam bahasa asing.

Nama GKI yang dipakai jemaat ini memang tampaknya mempermudah orang-orang Indonesia yang sedang berada di AS, khususnya di daerah San Francisco ini. Saya pernah berjumpa dengan seorang ibu yang berbakti di GKI SF karena melihat papan namanya. “Saya berasal dari GKP di Bandung, dan saya melihat papan nama GKI. Itulah sebabnya saya ke sini, sebab saya pikir GKI tidak jauh berbeda dengan GKP.”

Memang di AS ada banyak sekali denominasi, yang umumnya tidak dikenal di Indo­nesia. Akibatnya, ka­dang-kadang orang masuk begitu saja ke salah satu gereja, tanpa pertim­bangan lebih mendalam mengenai ajarannya. Dan nama GKI paling tidak memudahkan orang untuk mengidentifikasikan suatu gereja tertentu. Saya berjumpa dengan seorang anggota sebuah jemaat GKI di Jakarta yang di sini berbakti di sebuah Gereja Nazarene. Ini adalah sebuah denominasi sempalan dari Gereja Metodis yang merasa bahwa gereja itu masih kurang saleh. Karena itu, gereja ini juga seringkali disebut sebagai “Gereja Kesucian”.

Dalam judul tulisan ini saya mengatakan ada banyak orang yang ber­usaha “menjual” nama GKI, entah dengan maksud baik atau kurang baik. Beberapa bulan lalu saya membaca sebuah berita menarik di sebuah majalah Indonesia yang terbit di California ini. Sebuah delegasi dari salah satu gereja di California ini, dipimpin oleh pendetanya, berkunjung ke kantor Sinode GKI (w) Jabar. Konon kabarnya mereka mendapatkan persetujuan dari pimpinan Sinode untuk menggunakan nama GKI. Oleh karena itu, sepulangnya dari Indonesia, mereka mengganti nama gereja mereka menjadi GKI.

Saya cukup kaget membaca berita itu. Mengapa? Pertama, karena sejak dulu GKI tidak mau membuka pos di luar Jawa Barat dan Lampung. (Meskipun keputusan ini dilanggar atau “ter”langgar ketika GKI membuka jemaat di Batam). Kedua, si pendeta jemaat itu, setahu saya, tidak mempunyai latar belakang pendidikan teologi. Kebetulan memang ia berasal dari GKI, tetapi di Jakarta ia bekerja sebagai guru (matematika?) di salah satu SMU. Saya kuatir, berita kunjungan delegasi gereja itu ke Sinode GKI (w) Jabar dan foto mereka bersama pimpinan Sinode GKI telah dimanipulasi untuk – apa lagi? – menjual nama GKI. ***
 


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814