:: home :: index ::

 

Minggu, 10/03/2002
Oleh: PntK. Stephen Suleeman, MATh, ThM.

Gereja Indonesia di Amerika Serikat (2)
Mangan Orang Mangan Ngangger Mangan

Ketika saya pergi ke Amsterdam tahun 2000 yang lalu, saya melihat banyak sekali restoran Indonesia di sana. Uniknya, restoran Indonesia di sana selalu didampingi dengan restoran Tionghoa. Meskipun kadang-kadang juga ada pula restoran Indonesia dan Suriname, walaupun hubungan di antara kedua bangsa itu mungkin hanya tercipta karena adanya sejumlah besar orang Jawa yang didatangkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bekerja di perkebunan mereka di sana.

Beberapa waktu yang lalu, seingat saya, saya pernah menyebutkan kehadiran restoran Indonesia di San Francisco. Kalau tidak salah ada 3 jumlahnya, dan harga makanannya pun lumayan – sedikit lebih mahal dari kebanyakan restoran Vietnam atau Thai. Di Berkeley pun konon pernah juga ada restoran Indonesia, namun sudah lama tutup. Mungkin peminatnya kurang begitu banyak dibandingkan dengan restoran Thai atau Jepang yang cukup melimpah di sini.

Jadi ke mana harus pergi untuk mencari makanan Indonesia? Untuk sebagian orang Indonesia di sini, tempatnya adalah di Gereja Indonesia. Saya kurang tahu tentang gereja-gereja Indonesia lainnya, namun di GKI San Francisco, setiap kebaktian selalu ditutup dengan makan bersama. Mungkin inilah bagian dari persekutuan yang sangat dinanti-nantikan oleh kebanyak­an pengunjung dan jemaat di situ.

Makanan ini biasanya disediakan oleh salah satu (atau dua) orang anggota atau pengun­jung tetap di jemaat itu. Ada seseorang yang ditunjuk untuk menjadi koordinator acara makan bersama persekutuan ini, yang mencari dan mendaftarkan nama-nama orang yang bersedia menyumbangkan makanan untuk hari-hari Minggu tertentu. Tugas ini tampaknya remeh, na­mun kenyataannya tidak mudah mengatur seperti itu, sebab kadang-kadang orang ingin me­nyumbang makanan dalam kaitannya dengan hari-hari istimewa dalam kehidupan pribadi atau keluarganya. Misalnya, pengucapan syukur untuk kesembuhan salah seorang anggota keluarga yang sakit atau mendapatkan kecelakaan. Atau perayaan ulang tahun. Dengan demi­kian, kadang-kadang dalam satu hari Minggu boleh jadi penyumbang makanannya bisa kebanyakan, sementara hari Minggu lainnya agak minim.

Yang paling mengecewakan pengunjung, biasanya, kalau ternyata makanan yang disaji­kan bukan makanan Indonesia, melainkan makanan barat. Ini pernah terjadi beberapa bulan yang lalu ketika salah seorang anggota jemaat yang kebetulan seorang Amerika yang menikah dengan seorang Indonesia dari jemaat itu menyumbangkan roti, sausage, dan salad. Beberapa minggu lalu juga hal yang hampir sama terjadi. Salah seorang anggota menyumbang­kan pasta (semacam makaroni), sehingga beberapa orang berkomentar, “Kok makanannya makanan bule nih?” Tapi, sudahlah, hal itu tidak perlu terlalu dimasalahkan. Yang penting makan, atau mangan ora mangan, ngangger mangan.

Soal makan ini saya pikir memang menarik. Pada perayaan Natal, misalnya, makanan yang disediakan oleh GKI San Francisco cukup melimpah. Uniknya, begitu kata salah seorang anggota jemaat di situ, ada sepasang suami-istri yang biasanya muncul di GKI San Francisco hanya pada pertengahan November sampai Desember, untuk mengantisipasi pengucapan syukur hari jadi dan perayaan Natal jemaat di situ. Selesai perayaan pengucapan syukur dan Natal, kedua orang itu pun menghilang kembali ke gerejanya sendiri, untuk kembali lagi ke GKI San Francisco pada tahun berikutnya.

Sementara ini, pengunjung kebaktian di GKI San Francisco memang masih terbatas – belum di atas 100 orang. Dalam satu hari Minggu biasanya ada sekitar 50-70 orang pengunjung. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana acara persekutuan itu bisa dilangsungkan apabila pengunjung kebaktiannya mencapai lebih dari 100 orang – atau sampai 1.000-an orang seperti di GKI Gading Indah.

Beberapa bulan lalu saya bertemu dengan seorang mahasiswa dalam program Master of Divinity dari Afrika Selatan. Ia belajar di Pacific Lutheran Theological Seminary. Biasanya orang yang belajar di program M.Div. mempunyai latar belakang B.A. atau B.Sc. dalam bidang-bidang seperti filsafat, bahasa, psikologi, pendidikan, sosiologi, atau ilmu-ilmu pasti. Namun teman ini, uniknya, datang dengan latar belakang pendidikan cullinary art, alias seni memasak. Di Indone­sia mungkin pendidikan seperti ini hanya diperoleh lewat sekolah perhotelan.

Di balik semua itu, saya berpendapat kita perlu memikirkan dikembangkannya sebuah “teologi makanan”. Mengapa? Karena soal makan ini sebetulnya mempunyai tempat yang menon­jol di dalam Alkitab. Abraham dan Melkisedek – raja yang sangat misterius itu – duduk bersama dan makan sebelum Melki­sedek memberikan berkat kepada Abraham. Yesus makan bersama dengan orang Farisi, dengan rakyat jelata, bahkan dengan para pemungut cukai dan pelacur. Dan makan bersama pula yang menjadi peristiwa persekutuan terakhir yang dialami-Nya dengan murid-murid-Nya. Kini makan bersama ini, selain pencucian kaki, menjadi hampir satu-satunya pengalaman Yesus bersama murid-murid-Nya yang diulangi di kebanyakan gereja kita. Duduk makan bersama mempunyai makna yang sangat mendalam, sebab di situlah terjalin persekutuan. Dua orang yang bermusuhan tidak mungkin bisa duduk makan bersama, kecuali bila ada niat-niat lain di belakangnya, seperti yang dialami oleh Theys H. Eluay yang dibunuh setelah pulang dari sebuah jamuan makan.

(Jadi ingat perjamuan kasih di jemaat kita, red.) ***
 


::
home :: index ::

 

: Kirim Berita Anda : Kontak Webservant :

Copyright ©1999-2002, Gereja Kristen Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.
Address: Jl. Gading Indah III NF-1/20, Kelapa Gading Permai, Jakarta, Indonesia.
Phone: 62 21 4530971 : Fax: 62 21 4502814